Kasus Tembak Mati Laskar FPI Dibawa ke Mahkamah Internasional, Komnas HAM: Tak Akan Berhasil
loading...
A
A
A
(Baca: Amien Rais dkk Bakal Terbitkan Buku Putih Tewasnya 6 Laskar FPI)
Dari penjelasan ini, kasus tewasnya enam laskar FPI diperkirakan Taufan akan menemukan hambatan di Mahkamah Internasional. Pertama, Indonesia bukan negara anggota ICC/Mahkamah Internasional karena belum meratifikasi Statuta Roma. Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (State Party).
“Unsur unable dan unwilling tidak terpenuhi karena saat ini kasus tersebut masih diproses baik oleh polisi mau pun lembaga independen Komnas HAM RI. Dengan begitu, mekanisme peradilan kita tidak dalam keadaan kolaps sebagaimana disyararatkan pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 Statuta Roma,” bebernya.
Baca Juga: Pasokan Global Tersendat, Dubai Tunda Program Vaksin Covid-19
Hambatan lain, kasus ini tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Memang ada pihak yang mendesakkan dan membangun opini sejak awal bahwa kasus ini adalah pelanggaran HAM berat. Padahal berdasarkan data dan bukti yang dikumpulkan Komnas HAM, tidak ditemukan unsur-unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana dinyatakan Statuta Roma mau pun UU Nomor 26/2000.
Unsur-unsur tersebut antara lain adanya desain operasi yang direncanakan secara sistematis berdasarkan kebijakan institusi atau negara. Tidak ada kebijakan institusi Polri apalagi negara dalam hal ini pemerintahan Jokowi yang menyiapkan operasi penyerangan terhadap laskar FPI. Argumen sebaliknya dari TP3 yang bahkan mengaitkan ini ke Presiden Jokowi sangat mengada-ada dan tentu tidak mungkin menjadi bagian dari kesimpulan Komnas HAM.
“Kami tidak bisa memasukkan unsur seperti itu yang kami lihat sangat tendensius secara politik, tidak didukung oleh data dan bukti yang memadai. Justru akan fatal bagi Komnas HAM dan juga bangsa ini bila kami mengambil kesimpulan yang terlalu mengada-ada seperti itu,” jelasnya.
(Baca: Amien Rais dkk Bentuk Tim Kawal Kasus Tembak Mati 6 Laskar FPI)
Taufan menjelaskan, unsur lain yang dibutuhkan dalam kategori pelanggaran HAM berat adalah adanya pola serangan yang berulang sehingga dampak korbannya juga meluas. Unsur ini juga tidak ditemukan. ”Kesimpulan kami berdasarkan data yang akurat tentang adanya tindakan pidana unlawfull killing yakni pembunuhan yang bertentangan dengan hukum yang bisa disebut kejahatan serius,” katanya.
“Jadi, kami meyakini langkah mengadukan ke Mahkamah Internasional adalah langkah yang tidak akan membawa hasil. Kami mesti menyampaikan ini kepada masyarakat luas, agar masyarakat benar-benar memahami konteks dan substansinya dan tidak membangun imajinasi tak berdasar,” katanya.
Dari penjelasan ini, kasus tewasnya enam laskar FPI diperkirakan Taufan akan menemukan hambatan di Mahkamah Internasional. Pertama, Indonesia bukan negara anggota ICC/Mahkamah Internasional karena belum meratifikasi Statuta Roma. Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (State Party).
“Unsur unable dan unwilling tidak terpenuhi karena saat ini kasus tersebut masih diproses baik oleh polisi mau pun lembaga independen Komnas HAM RI. Dengan begitu, mekanisme peradilan kita tidak dalam keadaan kolaps sebagaimana disyararatkan pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 Statuta Roma,” bebernya.
Baca Juga: Pasokan Global Tersendat, Dubai Tunda Program Vaksin Covid-19
Hambatan lain, kasus ini tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Memang ada pihak yang mendesakkan dan membangun opini sejak awal bahwa kasus ini adalah pelanggaran HAM berat. Padahal berdasarkan data dan bukti yang dikumpulkan Komnas HAM, tidak ditemukan unsur-unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana dinyatakan Statuta Roma mau pun UU Nomor 26/2000.
Unsur-unsur tersebut antara lain adanya desain operasi yang direncanakan secara sistematis berdasarkan kebijakan institusi atau negara. Tidak ada kebijakan institusi Polri apalagi negara dalam hal ini pemerintahan Jokowi yang menyiapkan operasi penyerangan terhadap laskar FPI. Argumen sebaliknya dari TP3 yang bahkan mengaitkan ini ke Presiden Jokowi sangat mengada-ada dan tentu tidak mungkin menjadi bagian dari kesimpulan Komnas HAM.
“Kami tidak bisa memasukkan unsur seperti itu yang kami lihat sangat tendensius secara politik, tidak didukung oleh data dan bukti yang memadai. Justru akan fatal bagi Komnas HAM dan juga bangsa ini bila kami mengambil kesimpulan yang terlalu mengada-ada seperti itu,” jelasnya.
(Baca: Amien Rais dkk Bentuk Tim Kawal Kasus Tembak Mati 6 Laskar FPI)
Taufan menjelaskan, unsur lain yang dibutuhkan dalam kategori pelanggaran HAM berat adalah adanya pola serangan yang berulang sehingga dampak korbannya juga meluas. Unsur ini juga tidak ditemukan. ”Kesimpulan kami berdasarkan data yang akurat tentang adanya tindakan pidana unlawfull killing yakni pembunuhan yang bertentangan dengan hukum yang bisa disebut kejahatan serius,” katanya.
“Jadi, kami meyakini langkah mengadukan ke Mahkamah Internasional adalah langkah yang tidak akan membawa hasil. Kami mesti menyampaikan ini kepada masyarakat luas, agar masyarakat benar-benar memahami konteks dan substansinya dan tidak membangun imajinasi tak berdasar,” katanya.