Kasus Tembak Mati Laskar FPI Dibawa ke Mahkamah Internasional, Komnas HAM: Tak Akan Berhasil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komnas HAM menghargai setiap upaya hukum atas kasus penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh polisi. Setiap orang berhak memperjuangkan penyelesaian kasus ini, termasuk rencana untuk membawanya pengadilan internasional.
Baca Juga: Diklaim Mudah Habisi Jet F-35 AS Jika Duel, Ini 5 Fitur Canggih Su-57 Rusia
Meskipun begitu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan perlu ada penjelasan kepada masyarakat agar memahami substansi isu dan prosedur/mekanisme pengaduan ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda.
“Pasal 1 Statuta Roma paling tidak mengandung dua unsur penting yakni Mahkamah Internasional dibentuk untuk melaksanakan jurisdiksinya pada kasus kejahatan paling serius (the most serious crimes),” katanya, Minggu (24/1/2021).
(Baca: Soal Pengadilan HAM Kasus Tembak Mati Laskar FPI, Ini Kata Komnas HAM)
Kejahatan paling serius yang dimaksud dalam bidang HAM adalah pada kasus kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) serta kejahatan perang dan agresi.
Baca Juga: Mencegah Munculnya Zona Merah, Melalui Kelurahan Siaga
Taufan menuturkan, Mahkamah Internasional dibangun sebagai komplementari atau melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma. “Jadi, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi unable dan unwilling,” ungkapnya.
Baca Juga: Fadli Zon Bertemu Fadli Zon di Lokasi Banjir Bandang Gunung Mas
Unable artinya dianggap tidak mampu. Sesuai Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma yaitu apabila terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian sehingga negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum. Unwilling berarti tidak bersungguh-sungguh sebagaimna Pasal 17 ayat 2 Statuta Roma.
Baca Juga: Begini Bunda, Cara Daftar BLT Pelajar Sekolah Rp2,2 Juta
“Jadi, sesuai prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan/bekerja. Sebab Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional. Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman, apabila sistem peradilan nasional collapsed atau secara politis terjadi konpromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali,” tukasnya.
Baca Juga: Diklaim Mudah Habisi Jet F-35 AS Jika Duel, Ini 5 Fitur Canggih Su-57 Rusia
Meskipun begitu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan perlu ada penjelasan kepada masyarakat agar memahami substansi isu dan prosedur/mekanisme pengaduan ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda.
“Pasal 1 Statuta Roma paling tidak mengandung dua unsur penting yakni Mahkamah Internasional dibentuk untuk melaksanakan jurisdiksinya pada kasus kejahatan paling serius (the most serious crimes),” katanya, Minggu (24/1/2021).
(Baca: Soal Pengadilan HAM Kasus Tembak Mati Laskar FPI, Ini Kata Komnas HAM)
Kejahatan paling serius yang dimaksud dalam bidang HAM adalah pada kasus kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) serta kejahatan perang dan agresi.
Baca Juga: Mencegah Munculnya Zona Merah, Melalui Kelurahan Siaga
Taufan menuturkan, Mahkamah Internasional dibangun sebagai komplementari atau melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma. “Jadi, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi unable dan unwilling,” ungkapnya.
Baca Juga: Fadli Zon Bertemu Fadli Zon di Lokasi Banjir Bandang Gunung Mas
Unable artinya dianggap tidak mampu. Sesuai Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma yaitu apabila terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian sehingga negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum. Unwilling berarti tidak bersungguh-sungguh sebagaimna Pasal 17 ayat 2 Statuta Roma.
Baca Juga: Begini Bunda, Cara Daftar BLT Pelajar Sekolah Rp2,2 Juta
“Jadi, sesuai prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan/bekerja. Sebab Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional. Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman, apabila sistem peradilan nasional collapsed atau secara politis terjadi konpromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali,” tukasnya.