Pembubaran Ormas Dalam Negara Demokrasi

Rabu, 06 Januari 2021 - 05:05 WIB
loading...
Pembubaran Ormas Dalam Negara Demokrasi
Jamaludin Ghafur (Foto: Istimewa)
A A A
Jamaludin Ghafur
Dosen dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta

PADA negara demokrasi, kebebasan berorganisasi merupakan sebuah keniscayaan karena organisasi merupakan salah satu sarana bagi warga negara untuk mengaktualisasi diri. Karena itu, hampir semua negara hukum yang demokratis–tidak terkecuali Indonesia–akan memberikan perlindungan maksimal atas hak ini melalui pengaturannya dalam hukum tertinggi negara, yaitu konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Perlunya hak ini dijamin dalam konstitusi dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa kemerdekaan berserikat (freedom of association) merupakan salah satu bentuk natural rights yang bersifat fundamental dan melekat dalam peri kehidupan bersama umat manusia. Sebagai makhluk sosial, setiap manusia pasti akan selalu mempunyai kecenderungan untuk berkumpul, bermasyarakat, dan berorganisasi.

Di pengujung 2020, secara mengejutkan pemerintah mengambil keputusan untuk membubarkan ormas Front Pembela Islam (FPI). Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT yang menjadi instrumen hukum membubarkan FPI, salah satu hal yang melandasi keputusan tersebut yakni ormas bersangkutan dianggap sering kali melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban umum, dan bertentangan dengan hukum.

Kasus pembubaran FPI ini mengingatkan kita pada tesis yang dikemukakan oleh Robert A Dahl (1982), seorang ahli politik dan ketatanegaraan, yang menyatakan bahwa jaminan atas kebebasan berorganisasi dalam sebuah negara demokrasi sebenarnya dalam situasi yang dilematis. Di satu sisi, salah satu nilai utama sistem pemerintahan demokratis adalah kebebasan, termasuk kebebasan dalam berorganisasi. Karenanya, kebebasan mendirikan dan menjadi anggota organisasi merupakan salah satu hak yang paling fundamental. Tidak ada negara yang dapat diidentifikasi sebagai negara demokrasi kecuali negara tersebut harus memberikan perlindungan atas hak ini.

Namun, di sisi yang lain, kemerdekaan ini rentan disalahgunakan yang dapat menimbulkan kerugian dan malapetaka. Atas nama kebebasan berorganisasi, tidak jarang sebagian orang justru melakukan tindakan-tindakan yang mengancam hak orang lain dan kepentingan publik yang lebih luas, bahkan melemahkan atau menghancurkan tatanan hukum dan demokrasi itu sendiri. Contoh kasus paling fenomenal dalam sejarah kehidupan manusia tentang penyimpangan ini dapat dirujuk pada kasus Nazi di Jerman. Dengan berlindung di balik kebebasan, Nazi menjadikannya sebagai alat untuk mengganggu dan menghancurkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

Pembatasan Hak
Oleh karena itu, pelaksanaan atas hak dan kebebasan apa pun–termasuk kebebasan berserikat—tidaklah bersifat mutlak tanpa batasan. Negara-negara demokrasi lazim menetapkan beberapa batasan yang tidak boleh dilanggar oleh organisasi apa pun. Pembatasan dimaksud biasanya dalam rangka melindungi demokrasi, ideologi negara, konstitusi dan hak-hak asasi manusia yang lebih fundamental.

Secara konstitusional, kewenangan pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Jika pembatasan dan larangan-larangan tersebut dilanggar, dapat berkonsekuensi pada pembubaran organisasi yang bersangkutan. Jadi, tindakan pemerintah membubarkan suatu organisasi tidak selalu harus dimaknai sebagai tindakan yang anti terhadap demokrasi. Sepanjang keputusan tersebut memang dilandasi oleh alasan-alasan hukum yang kuat, yaitu dalam rangka melindungi demokrasi, hukum dan konstitusi, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan.

Penataan Mekanisme Pembubaran Ormas
Secara garis besar, keberadaan organisasi di Indonesia dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu organisasi politik (parpol) dan organisasi nonpolitik. Berbeda dengan organisasi nonparpol, organisasi berbentuk parpol biasanya mendapatkan perlakukan yang lebih istimewa karena parpol dianggap sebagai pilar demokrasi perwakilan yang fungsi-fungsinya tidak bisa digantikan oleh organisasi apa pun. Karena posisinya yang sangat sentral dan strategis ini, tidak berlebihan bila parpol di hampir semua negara demokrasi modern disejajarkan dengan organ-organ konstitusional lainnya melalui mekanisme konstitusionalisasi, dalam arti parpol diatur secara langsung dalam konstitusi. Sementara organisasi nonparpol, tidak demikian, karena pengaturannya hanya di level undang-undang. Karenanya, tidak heran bila Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya Nomor 67/PUU-XVI/2018 secara tegas menyatakan partai politik merupakan organ yang memiliki urgensi konstitusional.

Implikasinya, dalam hal pembubarannya, parpol juga diistimewakan, yaitu harus melalui proses peradilan terlebih dahulu yang menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, harus berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Sementara pada organisasi nonparpol, mekanisme pembubarannya relatif menjadi lebih mudah dalam arti, jika organisasi tersebut melakukan pelanggaran hukum, pihak eksekutif bisa langsung membubarkan dan apabila para pihak menolaknya, keputusan pemerintah tersebut dapat digugat ke pengadilan. Tampaknya, kebijakan inilah yang diterapkan di Indonesia saat ini di mana UU Ormas memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas tertentu yang dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum tanpa harus melalui proses di pengadilan.

Pembedaan pembubaran parpol dan organisasi nonparpol yang saat ini diadopsi oleh hukum di Indonesia, sebenarnya bukan merupakan satu-satunya contoh. Sebagai perbandingan, di Jerman mengadopsi hal yang sama, yaitu untuk pembubaran parpol, menurut ketentuan Pasal 21 ayat (2) Konstitusi Jerman, harus berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, sementara asosiasi nonparpol, dapat dilarang atau dibubarkan hanya berdasarkan keputusan eksekutif tanpa tindakan yudisial sebelumnya, dan hanya tunduk pada banding berikutnya ke pengadilan administratif (Carl J Schneider: 1957).

Mekanisme pembubaran langsung oleh pemerintah tanpa melalui proses peradilan memang dibenarkan, tetapi melibatkan pengadilan terlebih dahulu sebelum pemerintah mengambil keputusan pembubaran merupakan cara yang lebih baik dalam rangka menghindari potensi terjadinya kesewenang-wenangan. Dulu, sebelum UU Ormas diubah, mekanisme inilah yang diadopsi di Indonesia. Pasal 70 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan berbunyi,“ Permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.”

Untuk itu, agar keputusan pemerintah dalam membubarkan ormas tidak dinilai merepresentasikan nilai-nilai otoritarianisme oleh khalayak umum yang dapat menyebabkan kegaduhan, sudah sepantasnya jika negara mengembalikan mekanisme pembubaran ini seperti dulu kala. Toh, pada akhirnya, dengan mekanisme yang ada saat ini sama sekali tidak menegaskan peran peradilan. Artinya, putusan pemerintah tentang pembubaran sebuah organisasi tetap bisa dipersoalkan di hadapan pengadilan. Cuma bedanya, jika dulu peran peradilan ditempatkan sebelum pemerintah mengambil keputusan, saat ini peran peradilan tersebut diposisikan setelah pemerintah mengambil tindakan pembubaran terlebih dahulu.

Jika ke depan peran peradilan ini akan kembali diaktifkan, sebaiknya kewenangan pembubaran ormas diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan yang mengemban fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), dan pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1028 seconds (0.1#10.140)