MK Sidangkan Putusan UU Perselisihan Hubungan Kerja dan Pengalihan Kepemilikan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengagendakan sidang pleno pembacaan putusan uji materi UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan UU Jaminan Fidusia (pengalihan hak kepemilikan) pada Kamis (17/12/2020).
Berdasarkan lansiran website resmi MK, tercantum uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap UUD 1945 teregister dengan perkara nomor: 89/PUU-XVIII/2020. Gugatan diajukan oleh mantan manajer logistik sekaligus mantan direktur PT Frina Lestari Nusantara Yok Sagita.
(Baca: Uji Materi UU Ciptaker, Wakil Ketua MPR Harap Hakim MK Memutus secara Adil)
Sementara uji materiil UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terhadap UUD 1945 terdaftar dengan perkara nomor: 99/PUU-XVIII/2020. Gugatan diajukan oleh Joshua Michael Djami (kolektor bersertifikasi di sebuah perusahaan finance).
"Acara: Pengucapan Putusan," bunyi informasi singkat di website resmi MK, seperti dikutip KORAN SINDO dan MNC News Portal, di Jakarta, Kamis (17/12/2020).
Berdasarkan berkas gugatan perkara nomor 89, Yok Sagita menguji ketentuan Pasal 55 UU Nomor 2 Tahun 2004. Pasal ini berbunyi, "Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum."
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Yok yang pernah bekerja selama 6 tahun di PT Frina Lestari Nusantara merasa telah kehilangan hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Yok berasalan tidak mendapat perlindungan dan kepastian hukum serta tidak memperoleh keadilan ketika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dan seketika kepada Yok tanpa melalui proses hukum, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
(Baca: Sidang Uji Materi UU Ciptaker, KSPSI Harap MK Menangkan Gugatan Pemohon)
Sedangkan pada berkas gugatan perkara nomor 99, Joshual Michael Djami menguji ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 1999. Pasal ini tertera bahwa, "Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
Joshua berargumentasi bahwa Joshua menjalankan tugas atau pekerjaannya selaku kolektor yang bersertifikasi di suatu perusahaan finance yaitu menagih kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi hak fidusia atau debitur. Jika tidak berhasil tertagih, maka diberi kuasa untuk mengambil objek jaminan fidusia terhadap pemberi hak fidusia (debitur).
(Baca: UU Mahkamah Konstitusi Hanya Akan Lahirkan Demokrasi Semu)
Dia menilai, dengan adanya ketentuan a quo menimbulkan bentuk-bentuk pelanggaran hak terhadap Joshua yang berkedudukan sebagai kolektor yang bertugas di bidang penagihan dan eksekusi agunan di perusahaan finance, sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD 1945. Joshua yang telah menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan sesuai prosedur serta dengan tidak melakukan suatu intimidasi ataupun kekerasan fisik.
Sebagai kolektor, Joshua melakukan negosiasi secara damai terlebih dahulu dalam melakukan penagihan dan eksekusi objek jaminan fidusia. Tapi di sisi lain, Joshua mendapatkan tanggapan yang berbanding terbalik dari pihak pemberi hak fidusia (debitur).
Selain itu menurut Joshua, tidak adanya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasalnya kata dia, telah tercipta kedudukan yang lebih berat pada satu pihak di mana kreditur harus membawa perkara ke pengadilan, sementara debitur tidak harus membawa perkara ke pengadilan.
Berdasarkan lansiran website resmi MK, tercantum uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terhadap UUD 1945 teregister dengan perkara nomor: 89/PUU-XVIII/2020. Gugatan diajukan oleh mantan manajer logistik sekaligus mantan direktur PT Frina Lestari Nusantara Yok Sagita.
(Baca: Uji Materi UU Ciptaker, Wakil Ketua MPR Harap Hakim MK Memutus secara Adil)
Sementara uji materiil UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terhadap UUD 1945 terdaftar dengan perkara nomor: 99/PUU-XVIII/2020. Gugatan diajukan oleh Joshua Michael Djami (kolektor bersertifikasi di sebuah perusahaan finance).
"Acara: Pengucapan Putusan," bunyi informasi singkat di website resmi MK, seperti dikutip KORAN SINDO dan MNC News Portal, di Jakarta, Kamis (17/12/2020).
Berdasarkan berkas gugatan perkara nomor 89, Yok Sagita menguji ketentuan Pasal 55 UU Nomor 2 Tahun 2004. Pasal ini berbunyi, "Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum."
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Yok yang pernah bekerja selama 6 tahun di PT Frina Lestari Nusantara merasa telah kehilangan hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Yok berasalan tidak mendapat perlindungan dan kepastian hukum serta tidak memperoleh keadilan ketika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dan seketika kepada Yok tanpa melalui proses hukum, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
(Baca: Sidang Uji Materi UU Ciptaker, KSPSI Harap MK Menangkan Gugatan Pemohon)
Sedangkan pada berkas gugatan perkara nomor 99, Joshual Michael Djami menguji ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 1999. Pasal ini tertera bahwa, "Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
Joshua berargumentasi bahwa Joshua menjalankan tugas atau pekerjaannya selaku kolektor yang bersertifikasi di suatu perusahaan finance yaitu menagih kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi hak fidusia atau debitur. Jika tidak berhasil tertagih, maka diberi kuasa untuk mengambil objek jaminan fidusia terhadap pemberi hak fidusia (debitur).
(Baca: UU Mahkamah Konstitusi Hanya Akan Lahirkan Demokrasi Semu)
Dia menilai, dengan adanya ketentuan a quo menimbulkan bentuk-bentuk pelanggaran hak terhadap Joshua yang berkedudukan sebagai kolektor yang bertugas di bidang penagihan dan eksekusi agunan di perusahaan finance, sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD 1945. Joshua yang telah menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan sesuai prosedur serta dengan tidak melakukan suatu intimidasi ataupun kekerasan fisik.
Sebagai kolektor, Joshua melakukan negosiasi secara damai terlebih dahulu dalam melakukan penagihan dan eksekusi objek jaminan fidusia. Tapi di sisi lain, Joshua mendapatkan tanggapan yang berbanding terbalik dari pihak pemberi hak fidusia (debitur).
Selain itu menurut Joshua, tidak adanya perlindungan hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasalnya kata dia, telah tercipta kedudukan yang lebih berat pada satu pihak di mana kreditur harus membawa perkara ke pengadilan, sementara debitur tidak harus membawa perkara ke pengadilan.
(muh)