ASN Profetik dan Netralitas Birokrasi
loading...
A
A
A
ASN yang bervisi profetik akan menjalankan tugasnya tidak untuk memuaskan libido kuasa atasan atau membabi buta menghalalkan segala cara mengejar jabatan untuk dirinya. Namun, ASN justru mengemban tugas mengampanyekan sifat jujur (shiddiq), profesional dan berkomitmen (amanah), menyampaikan pesan mendidik (tabligh), serta cerdas penuh kebijaksanaan (fathanah).
Meminjam gagasan Kuntowijoyo, ASN dalam menjalankan visi profetiknya harus menerjemahkan tiga perannya, yaitu melakukan pencerahan (humanisasi), pembebasan (liberasi) dan spiritualitas (trasendensi). Dengan demikian, ASN akan lebih resisten dari segala bentuk intimidasi praktik pragmatisme politik. Sebaliknya, ASN dapat berperan sebagai watch dog transendental yang siap menjaga keberlangsungan teologi anti-penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi.
Untuk memantik visi profetik ASN terlebih pada tahun politik, negara perlu mengoptimalkan peran penyuluh dari Kementerian Agama. Penyuluh agama harus turun gunung memainkan perannya sebagai tenaga edukatif, konsultatif, dan advokatif untuk meningkatkan kematangan beragama setiap ASN. Konsep-konsep kepemimpinan spiritual atau kepemimpinan profetik perlu dibangun dalam manajemen ASN. Dalam konteks organisasi publik, Bush (2010) menjelaskan kepemimpinan etika atau spiritual muncul akibat respons ketidakpuasan terhadap asumsi rasional-birokrasi yang dominan pada paradigma kekuasaan. Jadi, implementasi puncak etika religius dalam kehidupan ASN mampu memotivasi ASN lebih profesional dan bertanggung jawab dalam bekerja serta mampu menjadi kekuatan pembaru mendobrak keajegan praktik subordinasi politik kepada birokrasi.
Selain itu, ASN Profetik juga akan mengembalikan khitah ASN sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat dan pemersatu bangsa sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5/2014 tentang ASN.
Meminjam gagasan Kuntowijoyo, ASN dalam menjalankan visi profetiknya harus menerjemahkan tiga perannya, yaitu melakukan pencerahan (humanisasi), pembebasan (liberasi) dan spiritualitas (trasendensi). Dengan demikian, ASN akan lebih resisten dari segala bentuk intimidasi praktik pragmatisme politik. Sebaliknya, ASN dapat berperan sebagai watch dog transendental yang siap menjaga keberlangsungan teologi anti-penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi.
Untuk memantik visi profetik ASN terlebih pada tahun politik, negara perlu mengoptimalkan peran penyuluh dari Kementerian Agama. Penyuluh agama harus turun gunung memainkan perannya sebagai tenaga edukatif, konsultatif, dan advokatif untuk meningkatkan kematangan beragama setiap ASN. Konsep-konsep kepemimpinan spiritual atau kepemimpinan profetik perlu dibangun dalam manajemen ASN. Dalam konteks organisasi publik, Bush (2010) menjelaskan kepemimpinan etika atau spiritual muncul akibat respons ketidakpuasan terhadap asumsi rasional-birokrasi yang dominan pada paradigma kekuasaan. Jadi, implementasi puncak etika religius dalam kehidupan ASN mampu memotivasi ASN lebih profesional dan bertanggung jawab dalam bekerja serta mampu menjadi kekuatan pembaru mendobrak keajegan praktik subordinasi politik kepada birokrasi.
Selain itu, ASN Profetik juga akan mengembalikan khitah ASN sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat dan pemersatu bangsa sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5/2014 tentang ASN.
(bmm)