Mencari Solusi Layanan Kesehatan bagi Korban Tindak Pidana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemenuhan layanan kesehatan yang maksimal bagi seluruh warga negara termasuk para korban tindak pidana merupakan kewajiban negara. Khusus bagi para korban tindak pidana, berlaku ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Ketentuan itu mengatur tentang pelayanan kesehatan bagi korban empat jenis tindak pidana sudah tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Empat jenis tindak pidana itu, yakni korban kekerasan seksual, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, dan korban tindak pidana penganiayaan. Dengan berlakunya ketentuan itu, tanggung jawabnya beralih ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) .
Nyatanya di berbagai wilayah Indonesia, masih tetap muncul permasalahan implementasinya. LPSK tidak sanggup meng-cover seluruh korban tindak pidana termasuk semua yang mengajukan permohonan ke lembaga tersebut. Keterbatasan anggaran yang dimiliki LPSK menjadi salah satu muaranya. Lihat saja anggaran LPSK sepanjang 2018 hingga 2020.
Pada 2018 sejumlah Rp81,4 miliar, tapi malah menurun menjadi sebesar Rp65 miliar pada 2019 dan Rp54 miliar pada 2020. Di sisi lain, Komisi III DPR telah menyetujui usulan pagu anggaran LPSK untuk 2021 sejumlah Rp79,4 miliar dan usulan tambahan yang diajukan sebesar Rp129,1 miliar.( )
Bertambahnya tanggung jawab LPSK dan belum ada kejelasan realisasi anggaran layanan kesehatan korban harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Sejalan dengan itu, LPSK tidak boleh sekadar menunggu tanpa kreativitas. Inovasi dan terobosan harus dilakukan LPSK, caranya bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, intansi, organisasi filantropi, hingga pihak-pihak lain yang terkait.
Karena itu, sambung dia, ketersediaan anggaran serta inovasi, terobosan, dan kerja sama semestinya konsisten dan berkesinambungan semata untuk kepentingan penyintas.
Dari ujung sambungan telepon seluler, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias terdengar menarik napas panjang. Perempuan yang biasa dipanggil Susi ini lantas memutar ingatan ihwal pengesahan dan berlakunya ketentuan Pasal 52 ayat 1 huruf r Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Sekonyong-konyong, kata dia, tanggung jawab biaya atau bantuan bagi korban tindak pidana dibebankan ke LPSK dengan ketentuan tersebut.( )
Sebelum berlakunya ketentuan itu, pelayanan kesehatan bagi para korban dijamin BPJS Kesehatan. Susi sempat tertawa saat disinggung keterbatasan atau minimnya anggaran LPSK setiap tahun dibandingkan dengan penambahan tanggung jawab tersebut. Tapi suaranya terdengar getir.
Susi menegaskan, LPSK bukan mau menolak tanggung jawab itu. Terlebih siapa pun yang menjadi saksi maupun korban tindak pidana seharusnya mendapatkan haknya termasuk layanan kesehatan.
"Kita ini tidak dilibatkan waktu rancangan Perpres dibahas, tiba-tiba rancangan Perpres itu menjadi Perpres dan kemudian dibebankan kepada LPSK. Ini kan agak repot kemudian. Banyak yang mengajukan ke kami setelah Perpres itu berlaku sampai saat ini, tapi kami tidak bisa meng-cover semua," ujar Susi kepada SINDOnews.
Ketentuan itu mengatur tentang pelayanan kesehatan bagi korban empat jenis tindak pidana sudah tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Empat jenis tindak pidana itu, yakni korban kekerasan seksual, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, dan korban tindak pidana penganiayaan. Dengan berlakunya ketentuan itu, tanggung jawabnya beralih ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) .
Nyatanya di berbagai wilayah Indonesia, masih tetap muncul permasalahan implementasinya. LPSK tidak sanggup meng-cover seluruh korban tindak pidana termasuk semua yang mengajukan permohonan ke lembaga tersebut. Keterbatasan anggaran yang dimiliki LPSK menjadi salah satu muaranya. Lihat saja anggaran LPSK sepanjang 2018 hingga 2020.
Pada 2018 sejumlah Rp81,4 miliar, tapi malah menurun menjadi sebesar Rp65 miliar pada 2019 dan Rp54 miliar pada 2020. Di sisi lain, Komisi III DPR telah menyetujui usulan pagu anggaran LPSK untuk 2021 sejumlah Rp79,4 miliar dan usulan tambahan yang diajukan sebesar Rp129,1 miliar.( )
Bertambahnya tanggung jawab LPSK dan belum ada kejelasan realisasi anggaran layanan kesehatan korban harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Sejalan dengan itu, LPSK tidak boleh sekadar menunggu tanpa kreativitas. Inovasi dan terobosan harus dilakukan LPSK, caranya bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, intansi, organisasi filantropi, hingga pihak-pihak lain yang terkait.
Karena itu, sambung dia, ketersediaan anggaran serta inovasi, terobosan, dan kerja sama semestinya konsisten dan berkesinambungan semata untuk kepentingan penyintas.
Dari ujung sambungan telepon seluler, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias terdengar menarik napas panjang. Perempuan yang biasa dipanggil Susi ini lantas memutar ingatan ihwal pengesahan dan berlakunya ketentuan Pasal 52 ayat 1 huruf r Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Sekonyong-konyong, kata dia, tanggung jawab biaya atau bantuan bagi korban tindak pidana dibebankan ke LPSK dengan ketentuan tersebut.( )
Sebelum berlakunya ketentuan itu, pelayanan kesehatan bagi para korban dijamin BPJS Kesehatan. Susi sempat tertawa saat disinggung keterbatasan atau minimnya anggaran LPSK setiap tahun dibandingkan dengan penambahan tanggung jawab tersebut. Tapi suaranya terdengar getir.
Susi menegaskan, LPSK bukan mau menolak tanggung jawab itu. Terlebih siapa pun yang menjadi saksi maupun korban tindak pidana seharusnya mendapatkan haknya termasuk layanan kesehatan.
"Kita ini tidak dilibatkan waktu rancangan Perpres dibahas, tiba-tiba rancangan Perpres itu menjadi Perpres dan kemudian dibebankan kepada LPSK. Ini kan agak repot kemudian. Banyak yang mengajukan ke kami setelah Perpres itu berlaku sampai saat ini, tapi kami tidak bisa meng-cover semua," ujar Susi kepada SINDOnews.