Mencari Solusi Layanan Kesehatan bagi Korban Tindak Pidana

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 14:36 WIB
loading...
Mencari Solusi Layanan...
Pemenuhan layanan kesehatan yang maksimal bagi seluruh warga negara termasuk para korban tindak pidana merupakan kewajiban negara. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemenuhan layanan kesehatan yang maksimal bagi seluruh warga negara termasuk para korban tindak pidana merupakan kewajiban negara. Khusus bagi para korban tindak pidana, berlaku ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Ketentuan itu mengatur tentang pelayanan kesehatan bagi korban empat jenis tindak pidana sudah tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Empat jenis tindak pidana itu, yakni korban kekerasan seksual, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, dan korban tindak pidana penganiayaan. Dengan berlakunya ketentuan itu, tanggung jawabnya beralih ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) .

Nyatanya di berbagai wilayah Indonesia, masih tetap muncul permasalahan implementasinya. LPSK tidak sanggup meng-cover seluruh korban tindak pidana termasuk semua yang mengajukan permohonan ke lembaga tersebut. Keterbatasan anggaran yang dimiliki LPSK menjadi salah satu muaranya. Lihat saja anggaran LPSK sepanjang 2018 hingga 2020.

Pada 2018 sejumlah Rp81,4 miliar, tapi malah menurun menjadi sebesar Rp65 miliar pada 2019 dan Rp54 miliar pada 2020. Di sisi lain, Komisi III DPR telah menyetujui usulan pagu anggaran LPSK untuk 2021 sejumlah Rp79,4 miliar dan usulan tambahan yang diajukan sebesar Rp129,1 miliar.( )

Bertambahnya tanggung jawab LPSK dan belum ada kejelasan realisasi anggaran layanan kesehatan korban harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Sejalan dengan itu, LPSK tidak boleh sekadar menunggu tanpa kreativitas. Inovasi dan terobosan harus dilakukan LPSK, caranya bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, intansi, organisasi filantropi, hingga pihak-pihak lain yang terkait.

Karena itu, sambung dia, ketersediaan anggaran serta inovasi, terobosan, dan kerja sama semestinya konsisten dan berkesinambungan semata untuk kepentingan penyintas.

Dari ujung sambungan telepon seluler, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias terdengar menarik napas panjang. Perempuan yang biasa dipanggil Susi ini lantas memutar ingatan ihwal pengesahan dan berlakunya ketentuan Pasal 52 ayat 1 huruf r Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Sekonyong-konyong, kata dia, tanggung jawab biaya atau bantuan bagi korban tindak pidana dibebankan ke LPSK dengan ketentuan tersebut.( )

Sebelum berlakunya ketentuan itu, pelayanan kesehatan bagi para korban dijamin BPJS Kesehatan. Susi sempat tertawa saat disinggung keterbatasan atau minimnya anggaran LPSK setiap tahun dibandingkan dengan penambahan tanggung jawab tersebut. Tapi suaranya terdengar getir.

Susi menegaskan, LPSK bukan mau menolak tanggung jawab itu. Terlebih siapa pun yang menjadi saksi maupun korban tindak pidana seharusnya mendapatkan haknya termasuk layanan kesehatan.

"Kita ini tidak dilibatkan waktu rancangan Perpres dibahas, tiba-tiba rancangan Perpres itu menjadi Perpres dan kemudian dibebankan kepada LPSK. Ini kan agak repot kemudian. Banyak yang mengajukan ke kami setelah Perpres itu berlaku sampai saat ini, tapi kami tidak bisa meng-cover semua," ujar Susi kepada SINDOnews.

Mantan staf ahli LPSK ini membeberkan, pihaknya memang berharap bahwa negara dalam hal ini pemerintah dapat memberikan kebutuhan anggaran untuk pemenuhan layanan atau bantuan bagi para korban termasuk dan tidak terbatas hanya pada layanan kesehatan bagi korban tindak pidana.

Musababnya, berdasarkan Perpres Nomor 82 Tahun 2018, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, hingga Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban, maka bantuan yang harus diberikan mencakup bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial, bantuan psikologis, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, serta beberapa aspek lainnya.

"Soal anggaran memang menyulitkan kita. Apalagi sejak pertama kali Perpres itu ditetapkan, sudah langsung muncul permohonan ke LPSK," katanya.

Susi menegaskan, LPSK termasuk para pimpinan LPSK tak patah arang atas berbagai hambatan yang ada termasuk keterbatasan anggaran untuk pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan bagi para korban tindak pidana penyiksaan, penganiayaan berat, kekerasan seksual, maupun korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Beberapa saat sejak berlakunya ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Perpres Nomor 82 Tahun 2018 hingga kini ada sejumlah upaya yang telah dan terus dilakukan LPSK.

Dia lantas menyebutkan sedikitnya empat upaya. Pertama, pada 2019, LPSK telah bertemu dengan Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek.

Bersama Menkes waktu itu sempat dibahas ihwal rancangan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) layanan kesehatan bagi korban tindak pidana. Menkes berencana juga ingin mengumpulkan pihak-pihak terkait. Tapi rencana itu belum terlaksana hingga pergantian Menkes dari Nila ke Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Terawan Agus Putranto.

"Kami belum sempat koordinasi lagi sampai sekarang ini dengan Pak Menteri yang baru. Apalagi Covid-19 kan, terus kemudian agak berat situasinya, karena kan tugasnya beliau ngurusin Covid ini kan nggak karu-karuan," ungkapnya.

Kedua, LPSK telah bertemu dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Selepas itu terjadi pertemuan LPSK dengan pihak-pihak terkait termasuk BPJS Kesehatan dengan difasilitasi oleh Mensesneg. Saat pertemuan, LPSK memprotes bahwa LPSK tidak dilibatkan waktu rancangan Perpres dibahas, tiba-tiba disahkan menjadi Perpres, dan kemudian dibebankan kepada LPSK.

"BPJS Kesehatan tetap sih pada keputusan bahwa memang itu tugas LPSK kan karena sudah diatur di undang-undang. Tapi kan itu jadi masalah kemudian. Nah sampai saat ini sih, kami belum kontak, belum koordinasi lagi dengan Mensesneg maupun BPJS," paparnya.

Ketiga, LPSK melakukan terobosan dalam beberapa kasus dengan menggandeng perusahaan BUMN, perusahaan atau pihak swasta lainnya, beberapa lembaga filantropi, maupun rumah sakit swasta dan RSUD untuk membantu pembiayaan bagi para korban karena keterbatasan anggaran LPSK. Perusahaan BUMN maupun swasta disasar karena memiliki CSR.

Seingat Susi, lembaga filantropi tersebut yakni Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu), Dompet Dhuafa, dan Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM).

Satu perusahaan BUMN yang telah beberapa kali memberikan bantuan adalah PT Pegadaian (Persero) termasuk untuk korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Ni Gusti Ayu Sriasih (21) di Bali pada November 2019.

Perusahaan BUMN yang sedang dijajaki LPSK untuk kerja sama adalah PT Pertamina (Persero). Selain itu, tutur Susi, ada juga Kementerian BUMN yang telah memberikan bantuan psikososial berupa biaya pendidikan bagi sejumlah korban.

"Jadi kita ajak mereka untuk membantu pembiayaan utamanya pembiayaan yang sebelum kita putuskan untuk kita lindungi. Ada beberapa kali. Untuk rumah sakit nggak hanya RSUD yang kita kerja sama, swasta juga kita kerja sama. Khusus untuk YIIM itu bantuan psikososial berupa pelatihan wirausaha bagi para korban," tuturnya.

Terakhir, kerja sama LPSK dengan pemerintah daerah khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Pemprov DKI sejak beberapa tahun terakhir banyak memberikan bantuan termasuk layanan medis dan biaya bagi korban penganiayaan atau penyiksaan seperti korban geng motor maupun korban KDRT. Syaratnya korban tersebut ber-KTP DKI Jakarta. Misalnya ketika ada korban geng motor di Jakarta Selatan kemudian dirawat di RSUD Pasar Minggu.

"Kita itu hanya pendampingan hukumnya aja. Tapi untuk pembiayaan medisnya itu semuanya dibiayai Pemprov DKI, di-cover oleh Pemprov DKI. Kami kerja sama soal itu dengan Pemprov DKI. Kalau untuk pemda lain, ada keterbatasan pemda lain di anggaran itu kan," ucapnya.

Dia menambahkan, posisi BPJS Kesehatan yang tetap kukuh bahwa korban tindak pidana menjadi tanggung jawab LPSK untuk pembiayaan layanan kesehatan atau medisnya memang tidak salah juga. Di sisi lain, lanjut Susi, pihaknya telah mendengar dan membaca informasi atau berita bahwa akan ada pergantian direksi BPJS Kesehatan. LPSK memiliki harapan besar ke direksi baru nanti.

"Saya sih berharap dengan direksi yang baru mungkin bisa memikirkan untuk lebih jauh. Kalau perlu kita (LPSK dan BPJS Kesehatan) menggandeng BUMN (perusahaan BUMN) dan pihak swasta untuk membantu para korban yang tidak bisa dibantu oleh LPSK," kata Susi.

Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho menilai, ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Perpres Nomor 82 Tahun 2018 yang mengalihkan tanggung jawab pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban tindak pidana dari BPJS Kesehatan ke LPSK tidak disertai dengan pertimbangan yang matang. Pasalnya, kata dia, selama ini anggaran yang dimiliki LPSK atau disetujui oleh DPR dan pemerintah sangat terbatas.

Karenanya, Jamal menegaskan, ketika tanggung jawab beralih ke LPSK, maka pemerintah pusat harus mengucurkan anggaran untuk pemenuhan bantuan medis, psikososial, dan psikologis bagi para korban tindak pidana penyiksaan, penganiayaan berat, kekerasan seksual, dan perdagangan orang. Anggaran itu di luar anggaran yang sudah ditetapkan untuk LPSK.

"Ketika dalam Perpres tanggung jawabnya beralih ke LPSK, mestinya sudah ada prediksi alokasi anggarannya untuk LPSK untuk dana kesehatan dan bantuan-bantuan itu. LPSK mendorong saja ke pemerintah untuk realisasi anggaran. Itu kan urusan negara, harus direalisasikan," tegas Jamal saat dihubungi KORAN SINDO.

Dia membeberkan, untuk mengatasi minimnya informasi yang diperoleh masyarakat maka pemerintah termasuk BPJS Kesehatan dan LPSK harus terus melakukan sosialisasi sehubungan dengan Perpres tersebut. Artinya, menurut Jamal, BPJS Kesehatan tidak boleh lepas tangan meskipun ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Perpres tadi telah berlaku. Berikutnya, LPSK pun harus duduk bersama dengan kementerian atau lembaga untuk memecahkan masalah yang masih terjadi.

"Dalam konteks ini, LPSK kan punya kepentingan. Harus duduk bersama dengan pihak-pihak terkait untuk terpenuhi hak-hak warga negara. Hak warga negara itu salah satunya adalah hak mendapatkan layanan medis dan perawatan manakala terjadi musibah ini dan itu," ujar Jamal.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca IP Panjaitan menyatakan, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan LPSK pada 16 September 2020 lalu, seluruh anggota Komisi III menyetujui kenaikan anggaran yang diajukan sebesar Rp129,1 miliar yang sebelumnya ditetapkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Keuangan.

Semoga, kata Hinca, hasil dari RDP tersebut memberikan secercah harapan agar pemerintah jauh lebih perduli mengenai persoalan perlindungan saksi dan korban.

Dia menegaskan, LPSK adalah "malaikat tanpa sayap" yang melindungi tapi tidak dilindungi. Saat beberapa kali rapat di Komisi III, Hinca menyampaikan sangat kecewa karena setiap tahunnya justru anggaran LPSK terus dipangkas. Bayangkan saja, dalam jangka waktu lima tahun, anggaran LPSK yang mulanya sebesar Rp150 miliar menjadi hanya sekitar Rp54 miliar.

Untuk melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan korban serta kompensasi korban, LPSK hanya dianggarkan Rp12 miliar. Bahkan, tutur Hinca, karena situasi pandemi COVID-19, anggaran LPSK kembali dipangkas menjadi hanya Rp45 miliar.

"Saya melihat ini sebagai situasi yang ironis. Bagaimana bisa kita memberikan LPSK tanggung jawab yang besar sementara kita membiarkan LPSK lemah secara anggaran, ibarat kita meminta perlindungan terhadap malaikat yang sudah kehilangan sayapnya. Diminta memgemban misi mulia melindungi saksi dan korban, eh tapi tak dikasih bensin kata orang Asahan," ujar Hinca kepada SINDOnews.

Dia lantas mencontohkan, perbandingan anggaran LPSK serta alokasi untuk kepentingan perlindungan saksi dan korban serta kompensasi korban dengan anggaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Anggaran untuk BPIP sempat mengalami kenaikan hingga enam kali lipat lebih pada tahun 2018. Meskipun, pada 2020 anggaran BPIP menurun tapi tetap saja angkanya menyentuh Rp260 miliar.

Selain itu, tutur Hinca, ada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa sejak awal periode Presiden Joko Widodo menjabat, pemerintah sudah menggelontorkan Rp1,32 triliun untuk keperluan aktivitas digital, media sosial, hingga influencer.

"Saya melihat pemerintah sedang kehilangan arah dalam mengambil sikap soal perlindungan saksi dan korban," paparnya.

Hinca menilai, pemerintah tidak mengetahui urgensi betapa pentingnya peranan LPSK dalam melindungi setiap nyawa dalam suatu pengungkapan tindak pidana. Padahal jelas tujuan Republik Indonesia didirikan adalah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia.

"Jadi silakan publik menilai apakah Pemerintah sudah menunjukan sikap melindungi segenap tumpah darah para saksi dan korban atau para influencer?" tuturnya.

Berkaitan dengan solusi terhadap kompensasi dan perawatan korban, Hinca berpendapat dan mendesak Pemerintah perlu memaksimalkan peranan LPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Artinya peranan LPSK perlu dimaksimalkan. Dengan catatan, proses administrasi harus berlangsung satu pintu sehingga tidak menimbulkan birokrasi yang berlapis.

"Mereka itu sudah menjadi korban tidak perlu dipersulit, mereka berhak mendapatkan apa yang negara wajib berikan. Satu lagi, Pemerintah harus berkomitmen menaikkan anggaran LPSK khusus dalam menangani kompensasi," ucap Hinca.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko Bidang PMK) Muhajir Effendy menyatakan, hakikatnya pemerintah berkomitmen dan terus melakukan upaya pemenuhan dan peningkatan layanan kesehatan bagi seluruh warga negara. Di sisi lain, Muhadjir mengaku tidak mengetahui proses pembahasan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 khususnya ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r saat masih menjadi rancangan dan alasan LPSK tidak diikutsertakan saat pembahasan. Alasannya, saat itu Muhadjir belum menjabat Menko Bidang PMK.

Lebih dari itu, Muhadjir mengatakan, sama sekali tidak mengetahui secara spesifik tentang apa pembahasan dan hasil pertemuan antara LPSK dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, dan pihak BPJS Kesehatan.

Menurut dia, pembahasan, hasil, dan tindaklanjutnya serta cara mengatasai ketimpangan maupun permasalahan bantuan dan layanan kesehatan bagi para korban bisa ditanyakan ke Kementerian Kesehatan.

"Itu wilayahnya kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Detilnya silakan tanyakan ke Kemenkes, saya kira lebih tahu, termasuk hasil dan kelanjutan rapat sebelumnya," ujar Muhadjir saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta, Rabu 14 Oktober 2020 malam.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1203 seconds (0.1#10.140)