Mencari Solusi Layanan Kesehatan bagi Korban Tindak Pidana
loading...
A
A
A
Anggaran untuk BPIP sempat mengalami kenaikan hingga enam kali lipat lebih pada tahun 2018. Meskipun, pada 2020 anggaran BPIP menurun tapi tetap saja angkanya menyentuh Rp260 miliar.
Selain itu, tutur Hinca, ada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa sejak awal periode Presiden Joko Widodo menjabat, pemerintah sudah menggelontorkan Rp1,32 triliun untuk keperluan aktivitas digital, media sosial, hingga influencer.
"Saya melihat pemerintah sedang kehilangan arah dalam mengambil sikap soal perlindungan saksi dan korban," paparnya.
Hinca menilai, pemerintah tidak mengetahui urgensi betapa pentingnya peranan LPSK dalam melindungi setiap nyawa dalam suatu pengungkapan tindak pidana. Padahal jelas tujuan Republik Indonesia didirikan adalah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia.
"Jadi silakan publik menilai apakah Pemerintah sudah menunjukan sikap melindungi segenap tumpah darah para saksi dan korban atau para influencer?" tuturnya.
Berkaitan dengan solusi terhadap kompensasi dan perawatan korban, Hinca berpendapat dan mendesak Pemerintah perlu memaksimalkan peranan LPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Artinya peranan LPSK perlu dimaksimalkan. Dengan catatan, proses administrasi harus berlangsung satu pintu sehingga tidak menimbulkan birokrasi yang berlapis.
"Mereka itu sudah menjadi korban tidak perlu dipersulit, mereka berhak mendapatkan apa yang negara wajib berikan. Satu lagi, Pemerintah harus berkomitmen menaikkan anggaran LPSK khusus dalam menangani kompensasi," ucap Hinca.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko Bidang PMK) Muhajir Effendy menyatakan, hakikatnya pemerintah berkomitmen dan terus melakukan upaya pemenuhan dan peningkatan layanan kesehatan bagi seluruh warga negara. Di sisi lain, Muhadjir mengaku tidak mengetahui proses pembahasan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 khususnya ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r saat masih menjadi rancangan dan alasan LPSK tidak diikutsertakan saat pembahasan. Alasannya, saat itu Muhadjir belum menjabat Menko Bidang PMK.
Lebih dari itu, Muhadjir mengatakan, sama sekali tidak mengetahui secara spesifik tentang apa pembahasan dan hasil pertemuan antara LPSK dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, dan pihak BPJS Kesehatan.
Menurut dia, pembahasan, hasil, dan tindaklanjutnya serta cara mengatasai ketimpangan maupun permasalahan bantuan dan layanan kesehatan bagi para korban bisa ditanyakan ke Kementerian Kesehatan.
Selain itu, tutur Hinca, ada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa sejak awal periode Presiden Joko Widodo menjabat, pemerintah sudah menggelontorkan Rp1,32 triliun untuk keperluan aktivitas digital, media sosial, hingga influencer.
"Saya melihat pemerintah sedang kehilangan arah dalam mengambil sikap soal perlindungan saksi dan korban," paparnya.
Hinca menilai, pemerintah tidak mengetahui urgensi betapa pentingnya peranan LPSK dalam melindungi setiap nyawa dalam suatu pengungkapan tindak pidana. Padahal jelas tujuan Republik Indonesia didirikan adalah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia.
"Jadi silakan publik menilai apakah Pemerintah sudah menunjukan sikap melindungi segenap tumpah darah para saksi dan korban atau para influencer?" tuturnya.
Berkaitan dengan solusi terhadap kompensasi dan perawatan korban, Hinca berpendapat dan mendesak Pemerintah perlu memaksimalkan peranan LPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Artinya peranan LPSK perlu dimaksimalkan. Dengan catatan, proses administrasi harus berlangsung satu pintu sehingga tidak menimbulkan birokrasi yang berlapis.
"Mereka itu sudah menjadi korban tidak perlu dipersulit, mereka berhak mendapatkan apa yang negara wajib berikan. Satu lagi, Pemerintah harus berkomitmen menaikkan anggaran LPSK khusus dalam menangani kompensasi," ucap Hinca.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko Bidang PMK) Muhajir Effendy menyatakan, hakikatnya pemerintah berkomitmen dan terus melakukan upaya pemenuhan dan peningkatan layanan kesehatan bagi seluruh warga negara. Di sisi lain, Muhadjir mengaku tidak mengetahui proses pembahasan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 khususnya ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r saat masih menjadi rancangan dan alasan LPSK tidak diikutsertakan saat pembahasan. Alasannya, saat itu Muhadjir belum menjabat Menko Bidang PMK.
Lebih dari itu, Muhadjir mengatakan, sama sekali tidak mengetahui secara spesifik tentang apa pembahasan dan hasil pertemuan antara LPSK dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, dan pihak BPJS Kesehatan.
Menurut dia, pembahasan, hasil, dan tindaklanjutnya serta cara mengatasai ketimpangan maupun permasalahan bantuan dan layanan kesehatan bagi para korban bisa ditanyakan ke Kementerian Kesehatan.