Ray Rangkuti: Komunikasi Kabinet Jokowi Periode II Memang Buruk
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Jokowi menyebut komunikasi publik bawahannya buruk. Ini bisa dilihat dari simpang siurnya informasi soal kebijakan pemerintah yang diterima masyarakat. Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengakui secara umum komunikasi kabinet pemerintahan Jokowi di periode kedua ini memang buruk. Selain tidak jelas siapa yang menangani apa, kabinet Jokowi tidak memiliki strategi komunikasi, dan target yang dituju, dan cara yang dipakai.
Ray melihat buruknya komunikasi kabinet Jokowi ini sudah tampak pada fase awal pandemi Covid-19. Bahkan sampai kini komunikasi soal pandemi belum sepenuhnya berlangsung baik. Sekalipun begitu, dalam berbagai survei, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi dalam hal penanganan Covid-19 tetap tinggi.
(Baca juga : Tertarik Beasiswa Pendidikan Kursus Bahasa Turki, Segera Daftar di Sini )
Artinya masalahnya bukan semata-mata komunikasi tetapi apa yang sebenarnya yang dirasakan masyarakat di dalam kenyataan. Inilah yang paling menentukan. ”Bisa saja komunikasinya buruk, tapi penanganannya baik tetap akan menimbulkan tingkat kepuasan yang tinggi,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (23/10/2020).
(Baca: KSP Diminta Bangun Komunikasi Publik yang Dialogis)
Sebaliknya, lanjut Ray, penanganannya buruk tapi komunikasinya baik yang dirasa publik tetap saja sesuatu yang buruk. "Saya kira situasi inilah yang sebetulnya tengah dihadapi anggota kabinet Pak Jokowi," ujar Ray.
Ray menilai pada tingkat tertentu usaha komunikasi pemerintah mungkin sudah cukup baik. Sayangnya, kebijakan pemerintah secara umum berlangsung tidak baik sehingga hasilnya negatif. Sebut saja omnibus lawa UU Cipta Kerja.
Bagi Ray, polemik UU Cipta Kerja bukan hanya disebabkan soal sosialisasi. Lebih dari itu proses pembuatan dan substansinya telah menimbulkan beragam kritik yang luas. Dengan berbagai cara komunikasi sebaik apapun, bila proses demi proses yang dilihat dan dirasakan masyarakat berlangsung tidak baik, tidak akan menaikkan citra positif terhadap pemerintah.
"Mungkin karena itulah tingkat kepuasan publik terhadap tata cara penanganan pemerintah terkait dengan politik dan hukum jadi minus. Rata-rata tingkat kepuasannya di bawah 50%," ungkap dia.
(Baca: Pemerintah Diminta Perbaiki Pola Komunikasi Celometan)
Meski begitu, Ray menilai, kondisi ini terkait dengan banyak peristiwa. Selain akibat proses pembuatan undang-undang omnibus law yang banyak menimbulkan kesan dipaksakan, tapi juga respon aparat keamanan terhadap mereka yang melakukan kritik atas UU itu juga menimbulkan kesan negatif di masyarakat.
"Nah perpaduan inilah yang menyebabkan tingkat kepuasan menjadi rendah terhadap pemerintahan Jokowi, khususnya, di bidang politik dan hukum. Jadi semata-mata bukan persoalan komunikasi tetapi persoalan apa yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata," pungkas dia.
Ray melihat buruknya komunikasi kabinet Jokowi ini sudah tampak pada fase awal pandemi Covid-19. Bahkan sampai kini komunikasi soal pandemi belum sepenuhnya berlangsung baik. Sekalipun begitu, dalam berbagai survei, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi dalam hal penanganan Covid-19 tetap tinggi.
(Baca juga : Tertarik Beasiswa Pendidikan Kursus Bahasa Turki, Segera Daftar di Sini )
Artinya masalahnya bukan semata-mata komunikasi tetapi apa yang sebenarnya yang dirasakan masyarakat di dalam kenyataan. Inilah yang paling menentukan. ”Bisa saja komunikasinya buruk, tapi penanganannya baik tetap akan menimbulkan tingkat kepuasan yang tinggi,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (23/10/2020).
(Baca: KSP Diminta Bangun Komunikasi Publik yang Dialogis)
Sebaliknya, lanjut Ray, penanganannya buruk tapi komunikasinya baik yang dirasa publik tetap saja sesuatu yang buruk. "Saya kira situasi inilah yang sebetulnya tengah dihadapi anggota kabinet Pak Jokowi," ujar Ray.
Ray menilai pada tingkat tertentu usaha komunikasi pemerintah mungkin sudah cukup baik. Sayangnya, kebijakan pemerintah secara umum berlangsung tidak baik sehingga hasilnya negatif. Sebut saja omnibus lawa UU Cipta Kerja.
Bagi Ray, polemik UU Cipta Kerja bukan hanya disebabkan soal sosialisasi. Lebih dari itu proses pembuatan dan substansinya telah menimbulkan beragam kritik yang luas. Dengan berbagai cara komunikasi sebaik apapun, bila proses demi proses yang dilihat dan dirasakan masyarakat berlangsung tidak baik, tidak akan menaikkan citra positif terhadap pemerintah.
"Mungkin karena itulah tingkat kepuasan publik terhadap tata cara penanganan pemerintah terkait dengan politik dan hukum jadi minus. Rata-rata tingkat kepuasannya di bawah 50%," ungkap dia.
(Baca: Pemerintah Diminta Perbaiki Pola Komunikasi Celometan)
Meski begitu, Ray menilai, kondisi ini terkait dengan banyak peristiwa. Selain akibat proses pembuatan undang-undang omnibus law yang banyak menimbulkan kesan dipaksakan, tapi juga respon aparat keamanan terhadap mereka yang melakukan kritik atas UU itu juga menimbulkan kesan negatif di masyarakat.
"Nah perpaduan inilah yang menyebabkan tingkat kepuasan menjadi rendah terhadap pemerintahan Jokowi, khususnya, di bidang politik dan hukum. Jadi semata-mata bukan persoalan komunikasi tetapi persoalan apa yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata," pungkas dia.
(muh)