Mencari Solusi Layanan Kesehatan bagi Korban Tindak Pidana
loading...
A
A
A
Ketiga, LPSK melakukan terobosan dalam beberapa kasus dengan menggandeng perusahaan BUMN, perusahaan atau pihak swasta lainnya, beberapa lembaga filantropi, maupun rumah sakit swasta dan RSUD untuk membantu pembiayaan bagi para korban karena keterbatasan anggaran LPSK. Perusahaan BUMN maupun swasta disasar karena memiliki CSR.
Seingat Susi, lembaga filantropi tersebut yakni Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu), Dompet Dhuafa, dan Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM).
Satu perusahaan BUMN yang telah beberapa kali memberikan bantuan adalah PT Pegadaian (Persero) termasuk untuk korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Ni Gusti Ayu Sriasih (21) di Bali pada November 2019.
Perusahaan BUMN yang sedang dijajaki LPSK untuk kerja sama adalah PT Pertamina (Persero). Selain itu, tutur Susi, ada juga Kementerian BUMN yang telah memberikan bantuan psikososial berupa biaya pendidikan bagi sejumlah korban.
"Jadi kita ajak mereka untuk membantu pembiayaan utamanya pembiayaan yang sebelum kita putuskan untuk kita lindungi. Ada beberapa kali. Untuk rumah sakit nggak hanya RSUD yang kita kerja sama, swasta juga kita kerja sama. Khusus untuk YIIM itu bantuan psikososial berupa pelatihan wirausaha bagi para korban," tuturnya.
Terakhir, kerja sama LPSK dengan pemerintah daerah khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Pemprov DKI sejak beberapa tahun terakhir banyak memberikan bantuan termasuk layanan medis dan biaya bagi korban penganiayaan atau penyiksaan seperti korban geng motor maupun korban KDRT. Syaratnya korban tersebut ber-KTP DKI Jakarta. Misalnya ketika ada korban geng motor di Jakarta Selatan kemudian dirawat di RSUD Pasar Minggu.
"Kita itu hanya pendampingan hukumnya aja. Tapi untuk pembiayaan medisnya itu semuanya dibiayai Pemprov DKI, di-cover oleh Pemprov DKI. Kami kerja sama soal itu dengan Pemprov DKI. Kalau untuk pemda lain, ada keterbatasan pemda lain di anggaran itu kan," ucapnya.
Dia menambahkan, posisi BPJS Kesehatan yang tetap kukuh bahwa korban tindak pidana menjadi tanggung jawab LPSK untuk pembiayaan layanan kesehatan atau medisnya memang tidak salah juga. Di sisi lain, lanjut Susi, pihaknya telah mendengar dan membaca informasi atau berita bahwa akan ada pergantian direksi BPJS Kesehatan. LPSK memiliki harapan besar ke direksi baru nanti.
"Saya sih berharap dengan direksi yang baru mungkin bisa memikirkan untuk lebih jauh. Kalau perlu kita (LPSK dan BPJS Kesehatan) menggandeng BUMN (perusahaan BUMN) dan pihak swasta untuk membantu para korban yang tidak bisa dibantu oleh LPSK," kata Susi.
Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho menilai, ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Perpres Nomor 82 Tahun 2018 yang mengalihkan tanggung jawab pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban tindak pidana dari BPJS Kesehatan ke LPSK tidak disertai dengan pertimbangan yang matang. Pasalnya, kata dia, selama ini anggaran yang dimiliki LPSK atau disetujui oleh DPR dan pemerintah sangat terbatas.
Seingat Susi, lembaga filantropi tersebut yakni Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu), Dompet Dhuafa, dan Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM).
Satu perusahaan BUMN yang telah beberapa kali memberikan bantuan adalah PT Pegadaian (Persero) termasuk untuk korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Ni Gusti Ayu Sriasih (21) di Bali pada November 2019.
Perusahaan BUMN yang sedang dijajaki LPSK untuk kerja sama adalah PT Pertamina (Persero). Selain itu, tutur Susi, ada juga Kementerian BUMN yang telah memberikan bantuan psikososial berupa biaya pendidikan bagi sejumlah korban.
"Jadi kita ajak mereka untuk membantu pembiayaan utamanya pembiayaan yang sebelum kita putuskan untuk kita lindungi. Ada beberapa kali. Untuk rumah sakit nggak hanya RSUD yang kita kerja sama, swasta juga kita kerja sama. Khusus untuk YIIM itu bantuan psikososial berupa pelatihan wirausaha bagi para korban," tuturnya.
Terakhir, kerja sama LPSK dengan pemerintah daerah khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Pemprov DKI sejak beberapa tahun terakhir banyak memberikan bantuan termasuk layanan medis dan biaya bagi korban penganiayaan atau penyiksaan seperti korban geng motor maupun korban KDRT. Syaratnya korban tersebut ber-KTP DKI Jakarta. Misalnya ketika ada korban geng motor di Jakarta Selatan kemudian dirawat di RSUD Pasar Minggu.
"Kita itu hanya pendampingan hukumnya aja. Tapi untuk pembiayaan medisnya itu semuanya dibiayai Pemprov DKI, di-cover oleh Pemprov DKI. Kami kerja sama soal itu dengan Pemprov DKI. Kalau untuk pemda lain, ada keterbatasan pemda lain di anggaran itu kan," ucapnya.
Dia menambahkan, posisi BPJS Kesehatan yang tetap kukuh bahwa korban tindak pidana menjadi tanggung jawab LPSK untuk pembiayaan layanan kesehatan atau medisnya memang tidak salah juga. Di sisi lain, lanjut Susi, pihaknya telah mendengar dan membaca informasi atau berita bahwa akan ada pergantian direksi BPJS Kesehatan. LPSK memiliki harapan besar ke direksi baru nanti.
"Saya sih berharap dengan direksi yang baru mungkin bisa memikirkan untuk lebih jauh. Kalau perlu kita (LPSK dan BPJS Kesehatan) menggandeng BUMN (perusahaan BUMN) dan pihak swasta untuk membantu para korban yang tidak bisa dibantu oleh LPSK," kata Susi.
Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho menilai, ketentuan Pasal 52 Ayat 1 huruf r Perpres Nomor 82 Tahun 2018 yang mengalihkan tanggung jawab pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban tindak pidana dari BPJS Kesehatan ke LPSK tidak disertai dengan pertimbangan yang matang. Pasalnya, kata dia, selama ini anggaran yang dimiliki LPSK atau disetujui oleh DPR dan pemerintah sangat terbatas.