ICW Ungkap Korelasi Biaya Pilkada Tinggi dengan Korupsi

Jum'at, 16 Oktober 2020 - 00:43 WIB
loading...
ICW Ungkap Korelasi Biaya Pilkada Tinggi dengan Korupsi
ICW mengungkapkan irisan antara pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan perilaku korupsi kepala daerah. Ada beberapa kasus korupsi yang membuktikan itu. Foto/SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan ada irisan antara pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan perilaku korupsi kepala daerah. Ada beberapa kasus korupsi yang membuktikan itu.

(Baca juga: Sembilan Anggota KAMI Tersangka, Polri: Tidak Ada Penangguhan)

Peneliti ICW Almas Sjafrina mengatakan, biasanya kepala daerah memiliki kepentingan untuk memenangkan pilkada kembali. Maka, mereka akan mengumpulkan dana untuk modal mengarungi pilkada, seperti kampanye dan mahar politik.

(Baca juga: Indonesia Termasuk 35 Negara dengan Risiko Bencana Tertinggi di Dunia)

Almas mencontohkan kasus korupsi yang menjerat mantan Walikota Cimahi, Jawa Barat, Atty Suharti merupakan gambaran nyata bagaimana kepala daerah mencari dana untuk pilkada. Menurutnya, dalam dakwaan dan putusan pengadilan disebutkan modal pilkada akan dikumpulkan dari proyek infrastruktur.

(Baca juga: Pengaruh Covid-19 pada Psikologi dan Kesehatan Jiwa di Masyarakat)

Korupsi seperti itu tidak hanya dalam pilkada, tetapi juga untuk kebutuhan mengikuti pemilihan legislatif (pileg). Masalah kontestasi politik di Indonesia, salah satunya politik uang dan kebutuhan kampanye yang tinggi.

"Kebutuhan pengeluaran yang legal dan ilegal akan membuat cost politik tinggi. Ini akan mendorong korupsi politik. Mantan Hakim Artidjo Alkostar mengatakan korupsi politi itu oleh pejabat atau kelas tinggi untuk partai dan pemilu," ujarnya dalam diskusid daring dengan tema 'Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada', Kamis (15/10/2020).

Bahkan, mahal pilkada memasuki Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua MK Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima uang untuk sengketa kasus pilkada.

Isu mahar politik kepada partai politik selalu menjadi cerita-cerita bawah tanah di kalangan masyarakat. Namun, ada juga yang terbuka ke publik walaupun tidak pernah terbukti, salah satunya, La Nyalla Mattalitti yang mengakui dimintai uang untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur.

Melihat banyak masalah dalam pilkada langsung, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pernah mengusulkan pelaksanaan pilkada asimetris. Artinya, ada daerah yang melaksanakan pilkada langsung dan tidak. Indikator Indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks kematangan demokrasi di daerah tersebut.

Almas menegaskan, korupsi tidak hanya disebabkan biaya politik yang mahal dan jual beli suara, tetapi ada komponen lain. ICW juga menilai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak lepas dari masalah korupsi.

Berdasarkan data ICW dari 2010-2019, ada sekitar 586 anggota dewan yang terlibat kasus korupsi. Pada tahun 2018 atau menjelang pemilu meningkat, yakni 127 orang anggota dewan yang terjerat kasus korupsi.

"Mewacanakan opsi tidak langsung atau dipilih DPRD, kita harus melihat apakah DPRD lembaga yang bersih dari korupsi? Atau hanya melempar bandul dari pemilih ke calon kepala daerah atau anggota DPRD dengan calon kepala daerah," pungkasnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2104 seconds (0.1#10.140)