Pelibatan TNI Harus Tetap Atas Perintah Presiden

Rabu, 07 Oktober 2020 - 14:30 WIB
loading...
Pelibatan TNI Harus Tetap Atas Perintah Presiden
Komisi I DPR menegaskan pelibatan kekuatan TNI tetap harus berdasarkan perintah Presiden, sebagaimana ketentuan Operasi Militer Selain Perang dalam Undang-undang TNI. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Mayjen TNI Purn TB Hasanuddin mendorong agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) tetap menjaga profesionalitasnya ketika dilibatkan dalam penanganan aksi terorisme, sebagaimana diatur oleh Undang-undang TNI.

Menurut dia, pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme agar tidak bertentangan dengan Undang-undang TNI memerlukan persetujuan dan kendali otoritas politik sipil.

Pernyataan TB Hasanuddin disampaikan dalam kegiatan Webinar dengan tema Pancasila, Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Program Doktor Hukum (IKA-PDH) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Selasa 6 Oktober 2020.

Selain memberikan paparan yang komprehensif tentang Pancasila, intoleransi, radikalisme dan terorisme, TB Hasanuddin juga memaparkan pandangan Komisi I DPR terkait pembahasan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme yang saat ini dibahas di DPR.

“Komisi I DPR menegaskan pelibatan kekuatan TNI tetap harus berdasarkan perintah Presiden, sebagaimana ketentuan Operasi Militer Selain Perang dalam Undang-undang TNI. Komisi I juga meminta sumber anggaran hanya APBN dan tugas TNI mengacu pada criminal justice system,” kata anggota Fraksi PDIP ini.

Selanjutnya TB Hasanuddin mengatakan, Komisi I tetap menginginkan profesionalitas TNI sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang, termasuk dalam melaksanakan penanganan aksi terorisme.

Selain itu juga hadir dalam acara Seminar, Irjen Pol Purn Ansyaad Mbai, Kepala BNPT periode 2010-2014). Selain mengangkat tema tentang ancaman radikalisme dan terorisme global, Asnyaad juga memberikan pandangan tentang peran militer.

“Radikalisme-terorisme menjadi suatu ancaman politik/ideologi karena motif kekerasan dan serangan yang dilakukan berlatar belakang tujuan politik dan ideologi tertentu. Terorisme tidak berhenti dengan adanya operasi militer, bahkan cenderung menunggu adanya operasi tersebut karena itulah tujuan mereka untuk memprovokasi negara, sehingga kebanggaan mereka naik dengan menghadapi militer," tuturnya.( )

Oleh karena itu, lanjut dia, pendekatan militer merupakan solusi terakhir ketika semua pendekatan lain tidak mungkin lagi dilakukan. Ansyaad juga mengingatkan untuk menangkal penyebaran radikalisme, hendaknya para politisi berhati-hati dalam menggunakan isu-isu agama yang sensitif, agar tidak menjadi isu yang ditunggangi kelompok-kelompok ini.

Menurut dia, para agamawan juga hendaknya juga berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa untuk tujuan politik.

Webinar yang disiarkan secara live streaming melaluiYouTube ini juga menghadirkan Prof Dr Retno Saraswati (Dekan FH Universitas Diponegoro) yang dalam sambutannya menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan sarana membangun kesadaran dan ingatan akan pentingnya Pancasila serta ancaman terhadap degradasi Pancasila dalam bentuk aksi-aksi intoleransi, radikalisme dan terorisme.

Upaya tersebut, menurut dia, patut disambut baik dan menjadi gerakan bersama, dalam upaya membangun situasi nasional yang damai dan memulihkan masyarakat yang berpotensi terpecah belah akibat kehilangan pegangan penting yaitu Pancasila. (Baca: Mantan Kabais Minta Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Ditunda)

Senada dengan Prof Retno, Deputi Bidang Pengkajian dan Materi BPIP Profesor FX Adji Samekto juga mengingatkan Pancasila bukan pepesan kosong yang dipaksakan menjadi dasar negara.

Dia menegaskan Pancasila merupakan rumusan landasan filosofis yang disiapkan untuk mencapai satu tujuan negara Indonesia yang adil dan makmur.

“Saat ini Pancasila menghadapi tantangan, yaitu ‘hilangnya’ diskursus Pancasila dalam ranah publik ketika membicarakan landasan kepentingan dan tujuan Bersama. Termasuk juga dalam merumuskan regulasi dan kebijakan bagi kemaslahatan masyarakat,” tuturnya.

Selain figur-figur penting di atas, Webinar juga menghadirkan Ken Setiawan (Mantan NII, Ketua NII Center) sebagai salah satu pembicara yang menjelaskan kritik kerasnya terhadap situasi radikalisme yang berkembang di masyarakat.

Dia menyoroti figur-figur yang selama ini ditokohkan di masyarakat tetapi justru menjadi penyebar radikalisme melalui jalur ceramah dan distribusi informasi yang mengandung distorsi, hoaks dan ujaran kebencian.

Ken juga menjelaskan pengalamannya menjadi bagian dari NII dan bagaimana akhirnya ia memili keluar dari NII karena menyadari bahwa banyak hal yang secara prinsipiil bertentangan dengan keyakinan keagamaan yang dipelajarinya.

Sementara itu, Ustaz Haris yang merupakan mantan anggota NII dan tokoh dari organisasi-organisasi radikal seperti Jamaah Anshorussyariah memaparkan pengalaman pribadinya menjadi bagian dari gerakan ini selama kurang lebih 27 tahun, sampai akhirnya menyadari kekeliruannya jalannya paska penangkapan oleh Densus 88 pada tahun 2010.

Saat ini Ustaz Haris mendirikan Yayasan Hubbul Wathon, yang merupakan organisasi yang merangkul para napi kasus terorisme (napiter) yang insyaf dan mau berjuang untuk melakukan Pendidikan publik agar tidak terpapar gerakan radikalisme dan menulis buku berjudul Hijrah Dari Radikal Kepada Moderat.

Buku itu didedikasikan sebagai karya untuk mengingatkan publik agar waspada tentang bahaya radikalisme dan terorisme dengan memahami gerakan-gerakan mereka.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1811 seconds (0.1#10.140)