Jika RUU Ciptaker Disahkan, Pertanian Indonesia Bisa Bersaing dengan Asing
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi menilai, pertanian Indonesia bisa bersaing dengan negara lain, ketika Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) disahkan.
(Baca juga: Pemerintah Dinilai Paksakan Bahas Klaster Pendidikan di RUU Ciptaker)
Dia pun berbicara tentang munculnya penyederhanaan izin investasi di bidang pertanian, setelah RUU Cipta Kerja disahkan. "Bersaing pasti, karena itu tadi, ada efisiensi. Aturan tidak berbelit," kata Prima saat dihubungi awak media, Jumat (18/9/2020).
(Baca juga: Legislator Gerindra Nilai Kasus Kebakaran Kejagung Kejahatan Besar)
Prima mengatakan, realitas saat ini membuat investor enggan menanamkan modal di sektor pertanian. Izin berinvestasi di sektor pertanian masih berbelit dan belum satu pintu.
Dia pun mengalami sendiri, betapa sulitnya berinvestasi di sektor pertanian dengan aturan yang sekarang. Misalnya saat dia hendak impor benih dari China, prosesnya berbelit dan bisa membuat investor kabur.
"Dengan adanya RUU ini, diharapkan perizinan bisa jelas. Maksud saya begini, lewat satu pintu. Saya beberapa kali ketika mau mengimpor komoditas, walau impor benih untuk pangan, waktu itu bawang putih, itu dalam mengambil sampel benih itu dibawa dari China berbelit-belit dan lama, sehingga orang jadi malas," ucapnya.
Selain penyederhanaan izin, Prima berbicara tentang data valid investor ketika RUU Ciptaker disahkan. Sebab, setiap izin investasi sektor pertanian, nantinya diarahkan satu pintu melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
"Kemudian data valid karena semua lewat BKPM. Jadi tahu siapa saja investor pertanian di Indonesia, BKPM bisa kasih data. Kalau sekarang mau investasi harus tanya ke daerah, provinsi," ujarnya.
Namun, Prima mengingatkan tentang potensi kapitalisasi sektor pertanian jika RUU Cipta Kerja disahkan. Upaya kapitalisasi berpotensi berujung ke okupasi lahan di Indonesia.
"Ketika dia mengkapitalisasi di sektor pertanian, pasti akan mengopukasi lahan-lahan. Kenapa? Kalau investasi, kan harus meningkat. Caranya mengambil lahan. Jangan sampai, nanti pangan berlimpah, tetapi bukan milik negara ini," tegasnya.
"Kemudian soal bibit unggul. Indonesia punya bibit yang tidak ada di negara lain. Kalau investasi masuk ke Indonesia, mereka bisa ambil itu bibit, diberi nama di luar," tambah Prima yang merasa perlu ada aturan tentang itu.
(Baca juga: Pemerintah Dinilai Paksakan Bahas Klaster Pendidikan di RUU Ciptaker)
Dia pun berbicara tentang munculnya penyederhanaan izin investasi di bidang pertanian, setelah RUU Cipta Kerja disahkan. "Bersaing pasti, karena itu tadi, ada efisiensi. Aturan tidak berbelit," kata Prima saat dihubungi awak media, Jumat (18/9/2020).
(Baca juga: Legislator Gerindra Nilai Kasus Kebakaran Kejagung Kejahatan Besar)
Prima mengatakan, realitas saat ini membuat investor enggan menanamkan modal di sektor pertanian. Izin berinvestasi di sektor pertanian masih berbelit dan belum satu pintu.
Dia pun mengalami sendiri, betapa sulitnya berinvestasi di sektor pertanian dengan aturan yang sekarang. Misalnya saat dia hendak impor benih dari China, prosesnya berbelit dan bisa membuat investor kabur.
"Dengan adanya RUU ini, diharapkan perizinan bisa jelas. Maksud saya begini, lewat satu pintu. Saya beberapa kali ketika mau mengimpor komoditas, walau impor benih untuk pangan, waktu itu bawang putih, itu dalam mengambil sampel benih itu dibawa dari China berbelit-belit dan lama, sehingga orang jadi malas," ucapnya.
Selain penyederhanaan izin, Prima berbicara tentang data valid investor ketika RUU Ciptaker disahkan. Sebab, setiap izin investasi sektor pertanian, nantinya diarahkan satu pintu melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
"Kemudian data valid karena semua lewat BKPM. Jadi tahu siapa saja investor pertanian di Indonesia, BKPM bisa kasih data. Kalau sekarang mau investasi harus tanya ke daerah, provinsi," ujarnya.
Namun, Prima mengingatkan tentang potensi kapitalisasi sektor pertanian jika RUU Cipta Kerja disahkan. Upaya kapitalisasi berpotensi berujung ke okupasi lahan di Indonesia.
"Ketika dia mengkapitalisasi di sektor pertanian, pasti akan mengopukasi lahan-lahan. Kenapa? Kalau investasi, kan harus meningkat. Caranya mengambil lahan. Jangan sampai, nanti pangan berlimpah, tetapi bukan milik negara ini," tegasnya.
"Kemudian soal bibit unggul. Indonesia punya bibit yang tidak ada di negara lain. Kalau investasi masuk ke Indonesia, mereka bisa ambil itu bibit, diberi nama di luar," tambah Prima yang merasa perlu ada aturan tentang itu.
(maf)