Kemudahan Investasi Akan Genjot Serapan Tenaga Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus menyatakan, kemudahan investasi yang digaungkan melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) akan menjadi stimulus untuk menyerap tenaga kerja.
(Baca juga: Fraksi Demokrat Kembali Masuk ke Panja RUU Cipta Kerja, Ini Dalihnya)
"Kalau dilihat rule-nya, pemerintah ingin buat lapangan kerja semakin banyak lewat jalur investasi, melalui RUU Cipta Kerja," kata Ahmad Heri, Jumat (28/8/2020). (Baca juga: PKS Minta Serikat Pekerja Terus Pelototi Pembahasan RUU Cipta Kerja)
Meski demikian, dirinya mengingatkan, kemudahan investai dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah. Kian banyak investasi yang datang bakal meningkatkan serapan tenaga kerja secara merata di dalam negeri.
Menurutnya, tantangan yang dihadapi juga kian besar. Karenanya, pemerintah harus segera menyeleksi investasi yang diizinkan masuk setelah RUU Ciptaker disahkan.
"Disarankan mengutamakan industri padat karya mengingat pengangguran menjadi persoalan yang tengah dihadapi. Kalau tidak, serapan tenaga kerjanya akan minim," jelasnya.
Heri mengungkapkan, rasio investasi di Indonesia kini tergolong besar terhadap produk domestik besar, sekitar 32%. Tertinggi pertama dari konsumsi rumah tangga (55%).
Sayangnya, ungkap dia, kontribusi investasi tersebut kurang siginifikan terhadap serapan tenaga kerja. Pangkalnya, sebagian besar tidak membutuhkan banyak sumber daya manusia (SDM), seperti industri digital dan keuangan.
"Investor yang di sektor manufaktur, contohnya sektor jasa dan barang, itu kontibusinya semakin kecil, semakin melandai," jelasnya.
Selain menyeleksi, pemerintah juga harus mampu dan optimal dalam mengarahkan investasi yang masuk. Pun mesti mengelola dana yang datang karena realitasnya kini belum maksimal.
"Untuk lihat realisasi investasi di Indonesia itu lewat icore (incremental capital output ratio atau tingkat efisiensi investasi) dan icore Indonesia itu cukup besar dibanding negara tetangga, sekitar 6,5," ujarnya.
"Artinya kalau kita buat suatu produk di Indonesia, handphone misalnya, itu icore-nya 6,5, maka di negara tetangga, seperti Vietnam-Malaysia, itu icore-nya cuma 4," lanjutnya.
Semakin tinggi nilai icore, tingkat efisiensi investasi memburuk. Tingginya icore membuat investor beranggapan Indonesia sebagai negara boros modal.
Tugas pemerintah berikutnya, bagi Heri, memastikan kualitas dan kemampuan SDM di dalam negeri. Jika tidak, investasi yang masuk takkan berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja.
"Jadi kalau skill dan kualitas SDM-nya, terutama di daerah-daerah itu tidak mumpuni, ya, percuma mereka tidak akan terserap. Yang ada malah perusahaan dibangun, tetapi yang kerja atau tenaga kerjanya tetap impor dari luar negeri, seperti dari China," urainya.
"Makanya, pemrintah harus jamin, beri masyarakat pelatihan kemampuan kerja, bekali mereka dengan keahlian tertentu seusai dengan kebutuhan investasi yang akan dibangun di daerah tersebut," tandasnya.
(Baca juga: Fraksi Demokrat Kembali Masuk ke Panja RUU Cipta Kerja, Ini Dalihnya)
"Kalau dilihat rule-nya, pemerintah ingin buat lapangan kerja semakin banyak lewat jalur investasi, melalui RUU Cipta Kerja," kata Ahmad Heri, Jumat (28/8/2020). (Baca juga: PKS Minta Serikat Pekerja Terus Pelototi Pembahasan RUU Cipta Kerja)
Meski demikian, dirinya mengingatkan, kemudahan investai dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah. Kian banyak investasi yang datang bakal meningkatkan serapan tenaga kerja secara merata di dalam negeri.
Menurutnya, tantangan yang dihadapi juga kian besar. Karenanya, pemerintah harus segera menyeleksi investasi yang diizinkan masuk setelah RUU Ciptaker disahkan.
"Disarankan mengutamakan industri padat karya mengingat pengangguran menjadi persoalan yang tengah dihadapi. Kalau tidak, serapan tenaga kerjanya akan minim," jelasnya.
Heri mengungkapkan, rasio investasi di Indonesia kini tergolong besar terhadap produk domestik besar, sekitar 32%. Tertinggi pertama dari konsumsi rumah tangga (55%).
Sayangnya, ungkap dia, kontribusi investasi tersebut kurang siginifikan terhadap serapan tenaga kerja. Pangkalnya, sebagian besar tidak membutuhkan banyak sumber daya manusia (SDM), seperti industri digital dan keuangan.
"Investor yang di sektor manufaktur, contohnya sektor jasa dan barang, itu kontibusinya semakin kecil, semakin melandai," jelasnya.
Selain menyeleksi, pemerintah juga harus mampu dan optimal dalam mengarahkan investasi yang masuk. Pun mesti mengelola dana yang datang karena realitasnya kini belum maksimal.
"Untuk lihat realisasi investasi di Indonesia itu lewat icore (incremental capital output ratio atau tingkat efisiensi investasi) dan icore Indonesia itu cukup besar dibanding negara tetangga, sekitar 6,5," ujarnya.
"Artinya kalau kita buat suatu produk di Indonesia, handphone misalnya, itu icore-nya 6,5, maka di negara tetangga, seperti Vietnam-Malaysia, itu icore-nya cuma 4," lanjutnya.
Semakin tinggi nilai icore, tingkat efisiensi investasi memburuk. Tingginya icore membuat investor beranggapan Indonesia sebagai negara boros modal.
Tugas pemerintah berikutnya, bagi Heri, memastikan kualitas dan kemampuan SDM di dalam negeri. Jika tidak, investasi yang masuk takkan berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja.
"Jadi kalau skill dan kualitas SDM-nya, terutama di daerah-daerah itu tidak mumpuni, ya, percuma mereka tidak akan terserap. Yang ada malah perusahaan dibangun, tetapi yang kerja atau tenaga kerjanya tetap impor dari luar negeri, seperti dari China," urainya.
"Makanya, pemrintah harus jamin, beri masyarakat pelatihan kemampuan kerja, bekali mereka dengan keahlian tertentu seusai dengan kebutuhan investasi yang akan dibangun di daerah tersebut," tandasnya.
(maf)