Turkifikasi Kapal Perang Indonesia
loading...
A
A
A
Kebijakan Turkifikasi kapal perang TNI AL merupakan perubahan drastis yang perlu dikaji lebih dalam. Beberapa pertimbangan dimaksud antara lain apakah layak alutsista Turki menjadi andalan kapal perang di tengah dinamika konflik Laut China Selatan yang memanas dan kemungkinan terlibatnya negara-negara besar dengan kualitas alutsista state of the art? Atau, apakah kebijakan menjadikan alutsista Turki sebagai ekosistem baru kapal perang TNI AL sekadar melepas ketergantungan dari alutsista barat atau diikuti dengan agenda lain yang lebih strategis?
Persahabatan Kokoh
Istilah Turkifikasi yang mengemuka dalam transaksi alutsista dengan Turki belakangan ini sejatinya sudah dikenal berabad lampau. Definisi merujuk perubahan yang terjadi di daratan Asia Kecil -atau dijuluki Antaolia bangsa Romawi dan Yunani- yang awalnya dihuni bangsa Hatti, Hurriyah, Iberia, Lydia, dan Galatia dengan segala kebudayaanya, menjadi hampir seluruhnya ditinggali masyarakat yang menyebut diri sebagai bangsa Turki.
baca juga: Menperin Rayu Perusahaan Turki Tambah Investasi di Indonesia
Dikutip dari tulisan Khazanah di Republika.co.id, proses Turkifikasi dimulai abad 11 kala pendiri Kesultanan Turki Seljuk, Tughril Beg, diperintah Khalifah al-Qaim dari Dinasti Abbasiyah membendung pengaruh Kekaisaran Bizantium di wilayah utara kekhalifahan Islam. Baru pada 1071, putra Tughril Beg, Alp Arslan berhasil menekuk pasukan Bizantium. Sejak momen itulah, Kesultanan Turki Seljuk menancapkan kekuasaan dan pengaruhnya di Anatolia, hingga lambat laut mengeliminasi suku bangsa dan budaya yang eksis sebelumnya.
William Langer dan Robert Blake dalam ‘’The Rise of the Ottoman Turks and Its Historical Background’’ menyebut, masyarakat Kristen yang masuk Islam pun perlahan mengadopsi bahasa Turki dalam aktivitas sehari-harinya. Sebaliknya kebudayaan Yunani yang telah mengakar di kalangan masyarakat Anatolia, lambat laun melemah dan menghilang.
Perkawinan juga menjadi variabel yang mempercepat Turkifikasi, termasuk dilakukan para Sultan Turki, yang kemudian melahirkan para sultan serta para penerusnya. Dampak Turkifikasi secara drastis terjadi pada 1330-an saat beberapa nama kota di Anatolia berganti menjadi nama dalam bahasa Turki. Perubahan dimaksud antara lain, Angora menjadi Ankara dan Konstantinopel menjadi Istanbul.
Konteks Turkifikasi di Tanah Air tentu berbeda dengan cerita Anatolia, karena hanya terkait alutsista. Tetapi, dampak yang terjadi dalam jangka panjang sangat mungkin akan menghilangkan nama besar alutsista barat yang selama ini mendominasi kapal perang TNI AL, seperti CMS Thales dan rudal anti-kapal permukaan Exocet. Sebaliknya, masyarakat -khususnya prajurit TNI AL- nanti akan semakin akrab dengan nama CMS Advent, rudal Atmaca dan lainnya, karena sebagian besar KRI yang mereka awaki menggunakan produk Turki, atau produk made in domestik hasil transfer of technology dari Turki.
Pintu masuk Turkifikasi alutsista TNI secara yuridis terbuka kala UU No 9 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan tentang Kerjasama Industri Pertahanan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Turki diketuk palu. Pengesahan kontitusi tersebut menindaklanjuti kemitraan strategis yang diteken Indonesia-Turki pada 2012 dan menjadi pondasi terjadinya kerja sama pertahanan, termasuk kerja sama alutsista antar-kedua negara.
Sebelumnya, Ankara dan Jakarta pada 2010 telah menyepakati kerja sama di bidang industri pertahanan. Kesepakatan antara lain meliputi penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan dalam penelitian bersama mulai pengembangan, produksi dan proyek modernisasi, bantuan timbal balik dalam bidang produksi serta pengadaan produk industri jasa pertahanan.
Persahabatan Kokoh
Istilah Turkifikasi yang mengemuka dalam transaksi alutsista dengan Turki belakangan ini sejatinya sudah dikenal berabad lampau. Definisi merujuk perubahan yang terjadi di daratan Asia Kecil -atau dijuluki Antaolia bangsa Romawi dan Yunani- yang awalnya dihuni bangsa Hatti, Hurriyah, Iberia, Lydia, dan Galatia dengan segala kebudayaanya, menjadi hampir seluruhnya ditinggali masyarakat yang menyebut diri sebagai bangsa Turki.
baca juga: Menperin Rayu Perusahaan Turki Tambah Investasi di Indonesia
Dikutip dari tulisan Khazanah di Republika.co.id, proses Turkifikasi dimulai abad 11 kala pendiri Kesultanan Turki Seljuk, Tughril Beg, diperintah Khalifah al-Qaim dari Dinasti Abbasiyah membendung pengaruh Kekaisaran Bizantium di wilayah utara kekhalifahan Islam. Baru pada 1071, putra Tughril Beg, Alp Arslan berhasil menekuk pasukan Bizantium. Sejak momen itulah, Kesultanan Turki Seljuk menancapkan kekuasaan dan pengaruhnya di Anatolia, hingga lambat laut mengeliminasi suku bangsa dan budaya yang eksis sebelumnya.
William Langer dan Robert Blake dalam ‘’The Rise of the Ottoman Turks and Its Historical Background’’ menyebut, masyarakat Kristen yang masuk Islam pun perlahan mengadopsi bahasa Turki dalam aktivitas sehari-harinya. Sebaliknya kebudayaan Yunani yang telah mengakar di kalangan masyarakat Anatolia, lambat laun melemah dan menghilang.
Perkawinan juga menjadi variabel yang mempercepat Turkifikasi, termasuk dilakukan para Sultan Turki, yang kemudian melahirkan para sultan serta para penerusnya. Dampak Turkifikasi secara drastis terjadi pada 1330-an saat beberapa nama kota di Anatolia berganti menjadi nama dalam bahasa Turki. Perubahan dimaksud antara lain, Angora menjadi Ankara dan Konstantinopel menjadi Istanbul.
Konteks Turkifikasi di Tanah Air tentu berbeda dengan cerita Anatolia, karena hanya terkait alutsista. Tetapi, dampak yang terjadi dalam jangka panjang sangat mungkin akan menghilangkan nama besar alutsista barat yang selama ini mendominasi kapal perang TNI AL, seperti CMS Thales dan rudal anti-kapal permukaan Exocet. Sebaliknya, masyarakat -khususnya prajurit TNI AL- nanti akan semakin akrab dengan nama CMS Advent, rudal Atmaca dan lainnya, karena sebagian besar KRI yang mereka awaki menggunakan produk Turki, atau produk made in domestik hasil transfer of technology dari Turki.
Pintu masuk Turkifikasi alutsista TNI secara yuridis terbuka kala UU No 9 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan tentang Kerjasama Industri Pertahanan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Turki diketuk palu. Pengesahan kontitusi tersebut menindaklanjuti kemitraan strategis yang diteken Indonesia-Turki pada 2012 dan menjadi pondasi terjadinya kerja sama pertahanan, termasuk kerja sama alutsista antar-kedua negara.
Sebelumnya, Ankara dan Jakarta pada 2010 telah menyepakati kerja sama di bidang industri pertahanan. Kesepakatan antara lain meliputi penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan dalam penelitian bersama mulai pengembangan, produksi dan proyek modernisasi, bantuan timbal balik dalam bidang produksi serta pengadaan produk industri jasa pertahanan.