Hari Bakti Dokter Indonesia dan Penggalangan Dana Pendidikan
loading...
A
A
A
Sebenarnya ide pembebasan jasa medik 2008 itu sedikit banyaknya terinspirasi oleh gerakan penggalangan dana pendidikan yang dimotori dr. Wahidin Soediro Hoesodo menjelang berdirinya perhimpunan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.
Ketika orang-orang desa sudah mampu membiayai pengeluaran untuk membeli pakaiaan, makan, dan perjalanan pulang pergi ke sekolah bagi anak-anaknya maka mereka tidak lagi merasa puas dengan pendidikan anak di desanya ataupun desa terdekat, yang hanya mengandalkan guru-guru partikelir. Mereka kemudian tergerak untuk mengirim anaknya bersekolah ke kota, yang menurutnya memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik.
Dalam perjalanan menuju ke kota, kadang anaknya harus berjalan kaki sangat jauh. Ada kalanya naik kereta api, kapal laut, dan seterusnya. Selama menempuh pendidikan di kota, anaknya dititipkan kepada sanak keluarga atau kepada seorang kenalan.
Mereka yang pegawai negeri (ambtenaar) lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah kelas satu dibanding di sekolah kelas dua. Dan bila keuangannya mengizinkan mereka mengusahakan agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, ada pula yang menyuruh anaknya mengikuti pelajaran bahasa Belanda pada guru-guru bangsa Eropa atau mengkuti kursus-kursus kecakapan dan keterampilan lainnya.
Beberapa wedana (kapala distrik) dan asisten wedana (kepala sub-distrik) rela mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk kos (penginapan dan makan) anaknya pada orang Eropa. Dengan harapan anaknya mendapat keuntungan berada di lingkungan orang-orang Eropa. Walau tidak sedikit pula yang kecewa sebab apa yang diharapkan ternyata tidak terpenuhi.
Sekalipun ada anak-anak Boemipoetra yang memiliki kesempatan seperti di atas, namun jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan orang tua betapa pun besar hasratnya untuk meningkatkan pendidikan anaknya, selalu saja terkendala, sebab biaya yang diperlukan terbilang sangat tinggi. Untuk menitip anak di kota saja memerlukan biaya antara f.20,- dan f.25- setiap bulannya.
Atas dasar itulah sehingga muncul pemikiran untuk menggalang dana pendidikan guna membantu anak-anak Boemipoetra yang berbakat dan berkeinginan untuk maju, namun orang tuanya tidak mampu menanggung biaya untuk menyekolahkan anaknya.
Dalam artikel yang ditulis J.E. Jasper berjudul, “Van Een Studiefonds Voor Inlanders” (Arti Dana Pendidikan bagi Boemipoetra), yang dialihbahasakan oleh Ny. Ratna S. Soetardijo, disebutkan bahwa pemikiran awal dana pendidikan untuk membantu anak-anak Boemipoetra, yang orang tuanya tidak mampu itu berasal dari Raden Ajeng Kartini. Namun, gagasan putri bangsawan Jawa ini masih samar-samar sebab beliau sudah meninggal saat usianya masih terlalu muda.
Artikel yang terangkum di dalam buku “Cahaya di Kegelapan” ini pun mengatakan, meski Raden Ajeng Kartini meninggal dalam usia terlalu muda, dana pendidikan yang digagasnya tidaklah berhenti di tengah jalan. Gagasan tersebut kemudian dilanjutkan oleh tiga orang Jawa dari kalangan kaum Ningrat, yakni Pengeran Notodiredjo dari Pakoealaman Yogyakarta, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, pengeran Pulau Bacan, redaktur harian “Sinar Matahari”, dan Mas Soediro Hoesodo, redaktur harian Jawa “Retnodoemilah”.
Pengeran Notodiredjo yang berpendidikan sekolah de hoogere burgerschool (Sekolah Menengah lima tahun) Batavia, dikenal sangat maju cita-citanya dalam mengembangkan kesenian dan kerajinan di daerahnya, yang akan dipilih menjadi ketua perhimpunan dalam rangka menyelenggarakan dana pendidikan ini. Sementara, dr. Wahidin akan berkelana ke Keresidenan Banten dan seluruh Pulau Jawa atas biayanya sendiri.
Mengapa Wahidin yang harus berkeliling? Karena Wahidin adalah orang kaya raya. Dan, di kalangan orang Jawa ia sudah dikenal tindak tanduknya, terampil dan sederhana, serta pergaulannya menyenangkan baik dengan orang-orang Eropa maupun orang Jawa sendiri. Beliau juga seorang dokter yang masyhur dan disegani karena kecakapan dan kesopanannya. Alasan lain, karena Wahidin memiliki pameo, ”Pendidikan bagi orang Jawa yang harus tetap merasa dirinya sebagai orang Jawa.”
Mengapa Perlu Dana Pendidikan?
Ketika orang-orang desa sudah mampu membiayai pengeluaran untuk membeli pakaiaan, makan, dan perjalanan pulang pergi ke sekolah bagi anak-anaknya maka mereka tidak lagi merasa puas dengan pendidikan anak di desanya ataupun desa terdekat, yang hanya mengandalkan guru-guru partikelir. Mereka kemudian tergerak untuk mengirim anaknya bersekolah ke kota, yang menurutnya memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik.
Dalam perjalanan menuju ke kota, kadang anaknya harus berjalan kaki sangat jauh. Ada kalanya naik kereta api, kapal laut, dan seterusnya. Selama menempuh pendidikan di kota, anaknya dititipkan kepada sanak keluarga atau kepada seorang kenalan.
Mereka yang pegawai negeri (ambtenaar) lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah kelas satu dibanding di sekolah kelas dua. Dan bila keuangannya mengizinkan mereka mengusahakan agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, ada pula yang menyuruh anaknya mengikuti pelajaran bahasa Belanda pada guru-guru bangsa Eropa atau mengkuti kursus-kursus kecakapan dan keterampilan lainnya.
Beberapa wedana (kapala distrik) dan asisten wedana (kepala sub-distrik) rela mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk kos (penginapan dan makan) anaknya pada orang Eropa. Dengan harapan anaknya mendapat keuntungan berada di lingkungan orang-orang Eropa. Walau tidak sedikit pula yang kecewa sebab apa yang diharapkan ternyata tidak terpenuhi.
Sekalipun ada anak-anak Boemipoetra yang memiliki kesempatan seperti di atas, namun jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan orang tua betapa pun besar hasratnya untuk meningkatkan pendidikan anaknya, selalu saja terkendala, sebab biaya yang diperlukan terbilang sangat tinggi. Untuk menitip anak di kota saja memerlukan biaya antara f.20,- dan f.25- setiap bulannya.
Atas dasar itulah sehingga muncul pemikiran untuk menggalang dana pendidikan guna membantu anak-anak Boemipoetra yang berbakat dan berkeinginan untuk maju, namun orang tuanya tidak mampu menanggung biaya untuk menyekolahkan anaknya.
Dokter Wahidin Motor Propaganda Dana Pendidikan
Dalam artikel yang ditulis J.E. Jasper berjudul, “Van Een Studiefonds Voor Inlanders” (Arti Dana Pendidikan bagi Boemipoetra), yang dialihbahasakan oleh Ny. Ratna S. Soetardijo, disebutkan bahwa pemikiran awal dana pendidikan untuk membantu anak-anak Boemipoetra, yang orang tuanya tidak mampu itu berasal dari Raden Ajeng Kartini. Namun, gagasan putri bangsawan Jawa ini masih samar-samar sebab beliau sudah meninggal saat usianya masih terlalu muda.
Artikel yang terangkum di dalam buku “Cahaya di Kegelapan” ini pun mengatakan, meski Raden Ajeng Kartini meninggal dalam usia terlalu muda, dana pendidikan yang digagasnya tidaklah berhenti di tengah jalan. Gagasan tersebut kemudian dilanjutkan oleh tiga orang Jawa dari kalangan kaum Ningrat, yakni Pengeran Notodiredjo dari Pakoealaman Yogyakarta, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, pengeran Pulau Bacan, redaktur harian “Sinar Matahari”, dan Mas Soediro Hoesodo, redaktur harian Jawa “Retnodoemilah”.
Pengeran Notodiredjo yang berpendidikan sekolah de hoogere burgerschool (Sekolah Menengah lima tahun) Batavia, dikenal sangat maju cita-citanya dalam mengembangkan kesenian dan kerajinan di daerahnya, yang akan dipilih menjadi ketua perhimpunan dalam rangka menyelenggarakan dana pendidikan ini. Sementara, dr. Wahidin akan berkelana ke Keresidenan Banten dan seluruh Pulau Jawa atas biayanya sendiri.
Mengapa Wahidin yang harus berkeliling? Karena Wahidin adalah orang kaya raya. Dan, di kalangan orang Jawa ia sudah dikenal tindak tanduknya, terampil dan sederhana, serta pergaulannya menyenangkan baik dengan orang-orang Eropa maupun orang Jawa sendiri. Beliau juga seorang dokter yang masyhur dan disegani karena kecakapan dan kesopanannya. Alasan lain, karena Wahidin memiliki pameo, ”Pendidikan bagi orang Jawa yang harus tetap merasa dirinya sebagai orang Jawa.”