Hari Bakti Dokter Indonesia dan Penggalangan Dana Pendidikan
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 2012-2015
MENJELANG Seabad Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memprakarsai kegiatan bertema “Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia” dengan sub-temanya “Semangat Kebangkitan Nasional adalah Semangat Dokter Indonesia Menyehatkan Bangsa”. Puncak dari seluruh rangkaian kegiatan ini berlangsung di Istana Negara, 28 Mei 2008.
Katika itu, Presiden RI Susilo Bambang Yoedoyono (SBY) sangat berterima kasih dan mendukung kegiatan ini. Dalam sambutan dan amanatnya, Presiden SBY menyatakan, "Dengan resmi mendukung tanggal 20 Mei menjadi Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI)."
Presiden SBY pun tak lupa menyampaikan tiga harapan dan ajakan khusus kepada IDI dan secara umumnya kepada jajaran kesehatan negeri ini. Pertama, teruslah menjalankan “Trias Peran dokter” (agent of treatment, agent of social change, dan agent of development).
Kedua, terus tingkatkan kepedulian, empati, dan kesetiakawanan sosial terutama ketika negara kita mengalami dampak kritis. Ketiga, terus tingkatkan profesionalitas dan kapabilitas dokter dan tenaga kesehatan negeri ini. Kita harus setara dengan dokter dan tenaga kesehatan negara mana pun. Kalau mereka bisa, ya kita bisa.
Menurut Presiden SBY, Indonesia bisa menjadi negara maju dan sejahtera pada abad 21 apabila kita memiliki tiga syarat fundamental. Syarat pertama, kemandirian. Menjadi bangsa yang bisa mengembangkan dirinya, self-generating nation. Kita punya sumber daya. Kita punya potensi. Mari kita bangun. Bahwa kita bisa dan tidak harus tergantung pada pihak lain tapi mendayagunakan yang kita miliki, tentu dalam kerjasama internasional yang sehat, positif, dan membawa manfaat bagi bangsa kita.
Kedua, adalah daya saing yang tinggi. Dengan penguasaan pengetahuan dan teknologi, kita harus memiliki keunggulan, memiliki daya saing sehingga mampu berkompetisi dengan negara manapun juga dalam era globalisasi ini. Ketiga, yang tidak kalah pentingnya dan yang mendasar adalah kita mesti terus membangun dan memiliki peradaban sebagai bangsa terhormat, civilization.
Bangsa yang memiliki jati diri dan karakter yang baik adalah bangsa yang rukun satu sama lain, bangsa yang mampu menyelesaikan masalahnya secara damai, demokratis, dan civilized. Banyak hal yang mesti kita bangun sehingga kita menjadi bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi. Dan tentunya IDI, sebagai bagian dari komponen bangsa, ikut memperkuat, membangun, mencapai tiga syarat fundamental ini.
Berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh jajaran IDI untuk menyongsong Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia 2008, namun yang merupakan inti HBDI ketika itu adalah “pembebasan jasa medik” bagi seluruh dokter Indonesia yang berpraktik pada hari H (20 Mei 2008). Pembebasan jasa medik inilah yang merupakan wujud nyata dari bakti dokter untuk bangsanya. Atau yang lebih populer dengan "Dokter untuk Bangsa".
Sebenarnya ide pembebasan jasa medik 2008 itu sedikit banyaknya terinspirasi oleh gerakan penggalangan dana pendidikan yang dimotori dr. Wahidin Soediro Hoesodo menjelang berdirinya perhimpunan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.
Ketika orang-orang desa sudah mampu membiayai pengeluaran untuk membeli pakaiaan, makan, dan perjalanan pulang pergi ke sekolah bagi anak-anaknya maka mereka tidak lagi merasa puas dengan pendidikan anak di desanya ataupun desa terdekat, yang hanya mengandalkan guru-guru partikelir. Mereka kemudian tergerak untuk mengirim anaknya bersekolah ke kota, yang menurutnya memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik.
Dalam perjalanan menuju ke kota, kadang anaknya harus berjalan kaki sangat jauh. Ada kalanya naik kereta api, kapal laut, dan seterusnya. Selama menempuh pendidikan di kota, anaknya dititipkan kepada sanak keluarga atau kepada seorang kenalan.
Mereka yang pegawai negeri (ambtenaar) lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah kelas satu dibanding di sekolah kelas dua. Dan bila keuangannya mengizinkan mereka mengusahakan agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, ada pula yang menyuruh anaknya mengikuti pelajaran bahasa Belanda pada guru-guru bangsa Eropa atau mengkuti kursus-kursus kecakapan dan keterampilan lainnya.
Beberapa wedana (kapala distrik) dan asisten wedana (kepala sub-distrik) rela mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk kos (penginapan dan makan) anaknya pada orang Eropa. Dengan harapan anaknya mendapat keuntungan berada di lingkungan orang-orang Eropa. Walau tidak sedikit pula yang kecewa sebab apa yang diharapkan ternyata tidak terpenuhi.
Sekalipun ada anak-anak Boemipoetra yang memiliki kesempatan seperti di atas, namun jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan orang tua betapa pun besar hasratnya untuk meningkatkan pendidikan anaknya, selalu saja terkendala, sebab biaya yang diperlukan terbilang sangat tinggi. Untuk menitip anak di kota saja memerlukan biaya antara f.20,- dan f.25- setiap bulannya.
Atas dasar itulah sehingga muncul pemikiran untuk menggalang dana pendidikan guna membantu anak-anak Boemipoetra yang berbakat dan berkeinginan untuk maju, namun orang tuanya tidak mampu menanggung biaya untuk menyekolahkan anaknya.
Dalam artikel yang ditulis J.E. Jasper berjudul, “Van Een Studiefonds Voor Inlanders” (Arti Dana Pendidikan bagi Boemipoetra), yang dialihbahasakan oleh Ny. Ratna S. Soetardijo, disebutkan bahwa pemikiran awal dana pendidikan untuk membantu anak-anak Boemipoetra, yang orang tuanya tidak mampu itu berasal dari Raden Ajeng Kartini. Namun, gagasan putri bangsawan Jawa ini masih samar-samar sebab beliau sudah meninggal saat usianya masih terlalu muda.
Artikel yang terangkum di dalam buku “Cahaya di Kegelapan” ini pun mengatakan, meski Raden Ajeng Kartini meninggal dalam usia terlalu muda, dana pendidikan yang digagasnya tidaklah berhenti di tengah jalan. Gagasan tersebut kemudian dilanjutkan oleh tiga orang Jawa dari kalangan kaum Ningrat, yakni Pengeran Notodiredjo dari Pakoealaman Yogyakarta, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, pengeran Pulau Bacan, redaktur harian “Sinar Matahari”, dan Mas Soediro Hoesodo, redaktur harian Jawa “Retnodoemilah”.
Pengeran Notodiredjo yang berpendidikan sekolah de hoogere burgerschool (Sekolah Menengah lima tahun) Batavia, dikenal sangat maju cita-citanya dalam mengembangkan kesenian dan kerajinan di daerahnya, yang akan dipilih menjadi ketua perhimpunan dalam rangka menyelenggarakan dana pendidikan ini. Sementara, dr. Wahidin akan berkelana ke Keresidenan Banten dan seluruh Pulau Jawa atas biayanya sendiri.
Mengapa Wahidin yang harus berkeliling? Karena Wahidin adalah orang kaya raya. Dan, di kalangan orang Jawa ia sudah dikenal tindak tanduknya, terampil dan sederhana, serta pergaulannya menyenangkan baik dengan orang-orang Eropa maupun orang Jawa sendiri. Beliau juga seorang dokter yang masyhur dan disegani karena kecakapan dan kesopanannya. Alasan lain, karena Wahidin memiliki pameo, ”Pendidikan bagi orang Jawa yang harus tetap merasa dirinya sebagai orang Jawa.”
Karena itu, tidak ada yang lebih baik untuk menjalankan propaganda yang sangat berat dan sukar ini selain Wahidin (Mas Ngabehi Soediro Hoesodo). Wahidin telah diterima oleh Gubernur Jenderal dan berhasil mengantongi Surat Pengantar dari beliau. Dengan semangat tinggi, budi bahasa yang ramah dan santun, serta tingkah laku yang simpatik ia mengunjungi para pegawai negeri Boemipoetra.
Beliau berhasil memikat orang-orang mulai dari manteri-manteri paling rendah hingga para bupati yang paling angkuh dan pelit sekali pun. Walau demikian, ternyata sebagian dari bupati-bupati itu tidak bersedia membantu dan merasa iri sebab inisiatip untuk mendirikan perhimpuan yang begitu besar manfaatnya bukan berasal dari kalangan mereka. Karena itu, Wahidin pun berusaha untuk mendapatkan bantuan dari para pejabat bangsa Eropa. Pembayaran dari dana pendidikan ini dapat dilakukan dengan cara iuran bulanan berdasarkan besaran penghasilan dari masing-masing donatur.
Dokter Wahidin menyadari bahwa lapisan masyarakat kaum Boemipoetra harus diberi pendidikan yang lebih baik. Sebab, perjuangan untuk mempertahankan kelestarian hidup bangsa tidak dapat dielakkan dan orang-orang Jawa harus memilih: berjuang atau musnah! Sekalipun demikian, dr. Wahidin sedikit pun tidak percaya hal terakhir ini. Karena itu, beliau mencanangkan perjuangan bagi rakyat yang meliputi dua hal, yaitu: pendidikan baik bagi lapisan masyarakat kaum Boemipoetra yang lebih luas dan peningkatan rasa kebangsaan.
Sungguhpun dr. Wahidin bukan pendiri Boedi Oetomo namun beliau adalah orang yang mendanai terwujudnya kebangkitan rasa kebangsaan. Tentu juga tak dapat dipungkiri bahwa propaganda dana pendidikan yang dimotori dr. Wahidin telah menginspirasi masuknya diksi memajukan pengajaran dalam cita-cita dan tujuan Boedi Oetomo.
Cita-cita dan tujuan pendirian perhimpunan Boedi Oetomo, “Kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan, untuk mencapai kedudukan bangsa yang terhormat.”
Pembebasan jasa medik bagi dokter yang berpraktik pada tanggal 20 Mei, memang telah menjadi inti kegiatan HBDI 2008 dan beberapa tahun setelahnya. Namun, setelah diterapkannya UU Sistem Jaminan Sosial (SJSN), yang salah satu programnya Jaminan Kesehatan (JKN) per 1 Januari 2014 maka kegiatan pembebasan jasa medik ini terasa kurang relevan lagi. Karena itu, kegiatan inti HBDI setiap tahun pun berubah sesuai kondisi bangsa dan keputusan IDI.
Andai IDI merasakan banyak anak-anak berbangsa Indonesia yang kesulitan melanjutkan pendidikan karena ketidakcukupan biaya, atau ada siswa berprestasi dan berminat menjadi dokter tapi orang tuanya tidak memiliki biaya sekolah atau bahkan ada mahasiswa kedokteran yang terancam drop out karena kekurangan biaya, maka tidak ada salahnya bagi IDI dan dokter Indonesia memelopori penggalangan dana pendidikan tersebut.
Memang pencarian dana pendidikan itu bukan tugas IDI atau tugas dokter-dokter anggota IDI, sebab setelah Indonesia merdeka dan memiliki konstitusi negara maka tugas mencerdaskan kehidupan bangsa sudah amat jelas dan tegas diamanatkan kepada pemerintah. Namun demikian, bila pemerintah bergerak lamban maka tentu saja IDI dan kalangan dokter Indonesia perlu mencetak Wahidin-Wahidin baru untuk kembali memeloporinya pekerjaan besar ini.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Bakti Dokter Indonesia 2024 ini adalah momentum yang tepat untuk memulai gerakan atau propaganda ini. Propaganda untuk meningkatkan rasa kebangsaan melalui “penggalangan dana pendidikan untuk anak-anak berbangsa Indonesia.” Mendatangi dan mengetuk hati para pejabat negara dan orang-orang kaya yang dermawan maupun yang angkuh dan pelit sekalipun, sebagaimana yang pernah dilakukan dr. Wahidin pada masa lampau. Wallahu a'lam bishawab.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 2012-2015
MENJELANG Seabad Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memprakarsai kegiatan bertema “Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia” dengan sub-temanya “Semangat Kebangkitan Nasional adalah Semangat Dokter Indonesia Menyehatkan Bangsa”. Puncak dari seluruh rangkaian kegiatan ini berlangsung di Istana Negara, 28 Mei 2008.
Katika itu, Presiden RI Susilo Bambang Yoedoyono (SBY) sangat berterima kasih dan mendukung kegiatan ini. Dalam sambutan dan amanatnya, Presiden SBY menyatakan, "Dengan resmi mendukung tanggal 20 Mei menjadi Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI)."
Presiden SBY pun tak lupa menyampaikan tiga harapan dan ajakan khusus kepada IDI dan secara umumnya kepada jajaran kesehatan negeri ini. Pertama, teruslah menjalankan “Trias Peran dokter” (agent of treatment, agent of social change, dan agent of development).
Kedua, terus tingkatkan kepedulian, empati, dan kesetiakawanan sosial terutama ketika negara kita mengalami dampak kritis. Ketiga, terus tingkatkan profesionalitas dan kapabilitas dokter dan tenaga kesehatan negeri ini. Kita harus setara dengan dokter dan tenaga kesehatan negara mana pun. Kalau mereka bisa, ya kita bisa.
Menurut Presiden SBY, Indonesia bisa menjadi negara maju dan sejahtera pada abad 21 apabila kita memiliki tiga syarat fundamental. Syarat pertama, kemandirian. Menjadi bangsa yang bisa mengembangkan dirinya, self-generating nation. Kita punya sumber daya. Kita punya potensi. Mari kita bangun. Bahwa kita bisa dan tidak harus tergantung pada pihak lain tapi mendayagunakan yang kita miliki, tentu dalam kerjasama internasional yang sehat, positif, dan membawa manfaat bagi bangsa kita.
Kedua, adalah daya saing yang tinggi. Dengan penguasaan pengetahuan dan teknologi, kita harus memiliki keunggulan, memiliki daya saing sehingga mampu berkompetisi dengan negara manapun juga dalam era globalisasi ini. Ketiga, yang tidak kalah pentingnya dan yang mendasar adalah kita mesti terus membangun dan memiliki peradaban sebagai bangsa terhormat, civilization.
Baca Juga
Bangsa yang memiliki jati diri dan karakter yang baik adalah bangsa yang rukun satu sama lain, bangsa yang mampu menyelesaikan masalahnya secara damai, demokratis, dan civilized. Banyak hal yang mesti kita bangun sehingga kita menjadi bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi. Dan tentunya IDI, sebagai bagian dari komponen bangsa, ikut memperkuat, membangun, mencapai tiga syarat fundamental ini.
Berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh jajaran IDI untuk menyongsong Seabad Kebangkitan Nasional dan Seabad Kiprah Dokter Indonesia 2008, namun yang merupakan inti HBDI ketika itu adalah “pembebasan jasa medik” bagi seluruh dokter Indonesia yang berpraktik pada hari H (20 Mei 2008). Pembebasan jasa medik inilah yang merupakan wujud nyata dari bakti dokter untuk bangsanya. Atau yang lebih populer dengan "Dokter untuk Bangsa".
Sebenarnya ide pembebasan jasa medik 2008 itu sedikit banyaknya terinspirasi oleh gerakan penggalangan dana pendidikan yang dimotori dr. Wahidin Soediro Hoesodo menjelang berdirinya perhimpunan Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.
Mengapa Perlu Dana Pendidikan?
Ketika orang-orang desa sudah mampu membiayai pengeluaran untuk membeli pakaiaan, makan, dan perjalanan pulang pergi ke sekolah bagi anak-anaknya maka mereka tidak lagi merasa puas dengan pendidikan anak di desanya ataupun desa terdekat, yang hanya mengandalkan guru-guru partikelir. Mereka kemudian tergerak untuk mengirim anaknya bersekolah ke kota, yang menurutnya memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik.
Dalam perjalanan menuju ke kota, kadang anaknya harus berjalan kaki sangat jauh. Ada kalanya naik kereta api, kapal laut, dan seterusnya. Selama menempuh pendidikan di kota, anaknya dititipkan kepada sanak keluarga atau kepada seorang kenalan.
Mereka yang pegawai negeri (ambtenaar) lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah kelas satu dibanding di sekolah kelas dua. Dan bila keuangannya mengizinkan mereka mengusahakan agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan, ada pula yang menyuruh anaknya mengikuti pelajaran bahasa Belanda pada guru-guru bangsa Eropa atau mengkuti kursus-kursus kecakapan dan keterampilan lainnya.
Beberapa wedana (kapala distrik) dan asisten wedana (kepala sub-distrik) rela mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk kos (penginapan dan makan) anaknya pada orang Eropa. Dengan harapan anaknya mendapat keuntungan berada di lingkungan orang-orang Eropa. Walau tidak sedikit pula yang kecewa sebab apa yang diharapkan ternyata tidak terpenuhi.
Sekalipun ada anak-anak Boemipoetra yang memiliki kesempatan seperti di atas, namun jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan orang tua betapa pun besar hasratnya untuk meningkatkan pendidikan anaknya, selalu saja terkendala, sebab biaya yang diperlukan terbilang sangat tinggi. Untuk menitip anak di kota saja memerlukan biaya antara f.20,- dan f.25- setiap bulannya.
Atas dasar itulah sehingga muncul pemikiran untuk menggalang dana pendidikan guna membantu anak-anak Boemipoetra yang berbakat dan berkeinginan untuk maju, namun orang tuanya tidak mampu menanggung biaya untuk menyekolahkan anaknya.
Dokter Wahidin Motor Propaganda Dana Pendidikan
Dalam artikel yang ditulis J.E. Jasper berjudul, “Van Een Studiefonds Voor Inlanders” (Arti Dana Pendidikan bagi Boemipoetra), yang dialihbahasakan oleh Ny. Ratna S. Soetardijo, disebutkan bahwa pemikiran awal dana pendidikan untuk membantu anak-anak Boemipoetra, yang orang tuanya tidak mampu itu berasal dari Raden Ajeng Kartini. Namun, gagasan putri bangsawan Jawa ini masih samar-samar sebab beliau sudah meninggal saat usianya masih terlalu muda.
Artikel yang terangkum di dalam buku “Cahaya di Kegelapan” ini pun mengatakan, meski Raden Ajeng Kartini meninggal dalam usia terlalu muda, dana pendidikan yang digagasnya tidaklah berhenti di tengah jalan. Gagasan tersebut kemudian dilanjutkan oleh tiga orang Jawa dari kalangan kaum Ningrat, yakni Pengeran Notodiredjo dari Pakoealaman Yogyakarta, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, pengeran Pulau Bacan, redaktur harian “Sinar Matahari”, dan Mas Soediro Hoesodo, redaktur harian Jawa “Retnodoemilah”.
Pengeran Notodiredjo yang berpendidikan sekolah de hoogere burgerschool (Sekolah Menengah lima tahun) Batavia, dikenal sangat maju cita-citanya dalam mengembangkan kesenian dan kerajinan di daerahnya, yang akan dipilih menjadi ketua perhimpunan dalam rangka menyelenggarakan dana pendidikan ini. Sementara, dr. Wahidin akan berkelana ke Keresidenan Banten dan seluruh Pulau Jawa atas biayanya sendiri.
Mengapa Wahidin yang harus berkeliling? Karena Wahidin adalah orang kaya raya. Dan, di kalangan orang Jawa ia sudah dikenal tindak tanduknya, terampil dan sederhana, serta pergaulannya menyenangkan baik dengan orang-orang Eropa maupun orang Jawa sendiri. Beliau juga seorang dokter yang masyhur dan disegani karena kecakapan dan kesopanannya. Alasan lain, karena Wahidin memiliki pameo, ”Pendidikan bagi orang Jawa yang harus tetap merasa dirinya sebagai orang Jawa.”
Karena itu, tidak ada yang lebih baik untuk menjalankan propaganda yang sangat berat dan sukar ini selain Wahidin (Mas Ngabehi Soediro Hoesodo). Wahidin telah diterima oleh Gubernur Jenderal dan berhasil mengantongi Surat Pengantar dari beliau. Dengan semangat tinggi, budi bahasa yang ramah dan santun, serta tingkah laku yang simpatik ia mengunjungi para pegawai negeri Boemipoetra.
Beliau berhasil memikat orang-orang mulai dari manteri-manteri paling rendah hingga para bupati yang paling angkuh dan pelit sekali pun. Walau demikian, ternyata sebagian dari bupati-bupati itu tidak bersedia membantu dan merasa iri sebab inisiatip untuk mendirikan perhimpuan yang begitu besar manfaatnya bukan berasal dari kalangan mereka. Karena itu, Wahidin pun berusaha untuk mendapatkan bantuan dari para pejabat bangsa Eropa. Pembayaran dari dana pendidikan ini dapat dilakukan dengan cara iuran bulanan berdasarkan besaran penghasilan dari masing-masing donatur.
Dokter Wahidin menyadari bahwa lapisan masyarakat kaum Boemipoetra harus diberi pendidikan yang lebih baik. Sebab, perjuangan untuk mempertahankan kelestarian hidup bangsa tidak dapat dielakkan dan orang-orang Jawa harus memilih: berjuang atau musnah! Sekalipun demikian, dr. Wahidin sedikit pun tidak percaya hal terakhir ini. Karena itu, beliau mencanangkan perjuangan bagi rakyat yang meliputi dua hal, yaitu: pendidikan baik bagi lapisan masyarakat kaum Boemipoetra yang lebih luas dan peningkatan rasa kebangsaan.
Sungguhpun dr. Wahidin bukan pendiri Boedi Oetomo namun beliau adalah orang yang mendanai terwujudnya kebangkitan rasa kebangsaan. Tentu juga tak dapat dipungkiri bahwa propaganda dana pendidikan yang dimotori dr. Wahidin telah menginspirasi masuknya diksi memajukan pengajaran dalam cita-cita dan tujuan Boedi Oetomo.
Cita-cita dan tujuan pendirian perhimpunan Boedi Oetomo, “Kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan, untuk mencapai kedudukan bangsa yang terhormat.”
Catatan Akhir
Pembebasan jasa medik bagi dokter yang berpraktik pada tanggal 20 Mei, memang telah menjadi inti kegiatan HBDI 2008 dan beberapa tahun setelahnya. Namun, setelah diterapkannya UU Sistem Jaminan Sosial (SJSN), yang salah satu programnya Jaminan Kesehatan (JKN) per 1 Januari 2014 maka kegiatan pembebasan jasa medik ini terasa kurang relevan lagi. Karena itu, kegiatan inti HBDI setiap tahun pun berubah sesuai kondisi bangsa dan keputusan IDI.
Andai IDI merasakan banyak anak-anak berbangsa Indonesia yang kesulitan melanjutkan pendidikan karena ketidakcukupan biaya, atau ada siswa berprestasi dan berminat menjadi dokter tapi orang tuanya tidak memiliki biaya sekolah atau bahkan ada mahasiswa kedokteran yang terancam drop out karena kekurangan biaya, maka tidak ada salahnya bagi IDI dan dokter Indonesia memelopori penggalangan dana pendidikan tersebut.
Memang pencarian dana pendidikan itu bukan tugas IDI atau tugas dokter-dokter anggota IDI, sebab setelah Indonesia merdeka dan memiliki konstitusi negara maka tugas mencerdaskan kehidupan bangsa sudah amat jelas dan tegas diamanatkan kepada pemerintah. Namun demikian, bila pemerintah bergerak lamban maka tentu saja IDI dan kalangan dokter Indonesia perlu mencetak Wahidin-Wahidin baru untuk kembali memeloporinya pekerjaan besar ini.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan Hari Bakti Dokter Indonesia 2024 ini adalah momentum yang tepat untuk memulai gerakan atau propaganda ini. Propaganda untuk meningkatkan rasa kebangsaan melalui “penggalangan dana pendidikan untuk anak-anak berbangsa Indonesia.” Mendatangi dan mengetuk hati para pejabat negara dan orang-orang kaya yang dermawan maupun yang angkuh dan pelit sekalipun, sebagaimana yang pernah dilakukan dr. Wahidin pada masa lampau. Wallahu a'lam bishawab.
(zik)