Diplomasi Aksi Iklim dan Kredit Karbon Indonesia
loading...
A
A
A
Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif dan adil harus diciptakan. Komitmen ini disampaikan setelah pemerintah pada tanggal 29 Oktober 2021 menerbitkan Perpres No 98/2021 yang mengatur secara lebih rinci mengenai pelaksanaan NDC.
Kemudian ditindaklanjuti dengan menerbitkan Permen LHK No 21/2022 mengatur tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon, yang keduanya dapat menjadi payung hukum bagi visi jangka panjang LTS-LCCR 2050 menuju Net-Zero Emission 2060 atau lebih cepat.
Perdagangan karbon dalam negeri dan luar negeri dilakukan melalui mekanisme perdagangan emisi dan offset emisi gas rumah kaca (offset karbon). Mekanisme perdagangan emisi berlaku diterapkan perusahaan yang memiliki batas atas emisi GRK yaitu batas tertinggi jumlah emisi GRK yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dalam suatu periode tertentu.
Sedangkan mekanisme offset karbon diterapkan untuk perusahaan yang tidak memiliki kewajiban membatasi emisi namun berkehendak untuk memberikan pernyataan pengurangan emisi atau pemenuhan target netralitas karbon dengan menggunakan hasil aksi mitigasi dari usaha dan atau kegiatan lain.
Offset karbon pada umumnya terdiri dari 4 kategori utama, pertama adalah kategori mencegah kehilangan sumber daya alam penyerap karbon (avoided nature loss) seperti mengindari terjadinya deforestasi yang mencegah kehilangan penyerapan karbon secara alami.
Kategori kedua adalah menghindari terjadinya emisi (avoidance of emissions) yakni mengganti kegiatan yang menghasilkan emisi dengan kegiatan yang lebih rendah emisi, misalnya mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan.
Ketiga adalah penyerapan berbasis alam (nature based sequestration or capture) misalnya melalui rehabilitasi hutan atau memperbaiki pengelolaan hutan. Kategori terakhir adalah penyerapan CO2 langsung dari atmosfer misalnya melalui Carbon Capture Utilization dan Storage. Sebagai tambahan dari empat kategori ini juga ada offset yang berasal dari pengurangan GRK yang belum diatur dalam regulasi seperti mengurangi kebocoran metan.
Antusiasme perdagangan offset karbon secara sukarela memang sangat tinggi. Kreibicha, N dan Hermwille, L (2021) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan minat di kalangan sektor swasta untuk menjadi netral karbon atau iklim: pada April 2021, 482 perusahaan dengan perkiraan pendapatan tahunan sebesar USD 16 triliun telah mengadopsi offset karbon untuk mendukung target netralitas (net zero carbon) mereka.
Meskipun angka-angka ini mengesankan dan mungkin mengindikasikan potensi permintaan kredit karbon yang sangat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya, namun peran offset karbon sukarela dalam strategi iklim perusahaan masih harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Situasi di mana perusahaan menggunakan offset karbon dari pasar sukarela sebagai jalan keluar yang ‘mudah’ untuk menghindari tanggung jawab pengurangan emisi dari aktifitas mereka sendiri harus dihindari.
Pada tingkat internasional perdangangan offset karbon secara sukarela juga terus diperdebatkan efektitas dan akuntabilitasnya. Penelitian Kreibicha, N dan Hermwille, L (2021) mengindikasikan bahwa mekanisme pasar karbon sukarela secara keseluruhan masih belum terintegrasi dengan arsitektur sistem hukum Paris Agreement secara kredible dan legitimate terutama isu terjadinya double counting kredit karbon.
Kemudian ditindaklanjuti dengan menerbitkan Permen LHK No 21/2022 mengatur tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon, yang keduanya dapat menjadi payung hukum bagi visi jangka panjang LTS-LCCR 2050 menuju Net-Zero Emission 2060 atau lebih cepat.
Perdagangan karbon dalam negeri dan luar negeri dilakukan melalui mekanisme perdagangan emisi dan offset emisi gas rumah kaca (offset karbon). Mekanisme perdagangan emisi berlaku diterapkan perusahaan yang memiliki batas atas emisi GRK yaitu batas tertinggi jumlah emisi GRK yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dalam suatu periode tertentu.
Sedangkan mekanisme offset karbon diterapkan untuk perusahaan yang tidak memiliki kewajiban membatasi emisi namun berkehendak untuk memberikan pernyataan pengurangan emisi atau pemenuhan target netralitas karbon dengan menggunakan hasil aksi mitigasi dari usaha dan atau kegiatan lain.
Offset karbon pada umumnya terdiri dari 4 kategori utama, pertama adalah kategori mencegah kehilangan sumber daya alam penyerap karbon (avoided nature loss) seperti mengindari terjadinya deforestasi yang mencegah kehilangan penyerapan karbon secara alami.
Kategori kedua adalah menghindari terjadinya emisi (avoidance of emissions) yakni mengganti kegiatan yang menghasilkan emisi dengan kegiatan yang lebih rendah emisi, misalnya mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan.
Ketiga adalah penyerapan berbasis alam (nature based sequestration or capture) misalnya melalui rehabilitasi hutan atau memperbaiki pengelolaan hutan. Kategori terakhir adalah penyerapan CO2 langsung dari atmosfer misalnya melalui Carbon Capture Utilization dan Storage. Sebagai tambahan dari empat kategori ini juga ada offset yang berasal dari pengurangan GRK yang belum diatur dalam regulasi seperti mengurangi kebocoran metan.
Antusiasme perdagangan offset karbon secara sukarela memang sangat tinggi. Kreibicha, N dan Hermwille, L (2021) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan minat di kalangan sektor swasta untuk menjadi netral karbon atau iklim: pada April 2021, 482 perusahaan dengan perkiraan pendapatan tahunan sebesar USD 16 triliun telah mengadopsi offset karbon untuk mendukung target netralitas (net zero carbon) mereka.
Meskipun angka-angka ini mengesankan dan mungkin mengindikasikan potensi permintaan kredit karbon yang sangat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya, namun peran offset karbon sukarela dalam strategi iklim perusahaan masih harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Situasi di mana perusahaan menggunakan offset karbon dari pasar sukarela sebagai jalan keluar yang ‘mudah’ untuk menghindari tanggung jawab pengurangan emisi dari aktifitas mereka sendiri harus dihindari.
Pada tingkat internasional perdangangan offset karbon secara sukarela juga terus diperdebatkan efektitas dan akuntabilitasnya. Penelitian Kreibicha, N dan Hermwille, L (2021) mengindikasikan bahwa mekanisme pasar karbon sukarela secara keseluruhan masih belum terintegrasi dengan arsitektur sistem hukum Paris Agreement secara kredible dan legitimate terutama isu terjadinya double counting kredit karbon.