Taiwan dan Kedaulatan China: Suatu Perjalanan Sejarah
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Hubungan Internasional President University
TAIPEI Economic and Trade Office (TETO) menyerukan kepada Indonesia untuk waspada terhadap klaim kedaulatan China yang dapat merusak perdamaian regional. Dalam momen refleksi akhir tahun, mari kita lihat kembali perseteruan antara Taiwan dan daratan China.
Sejarah Awal Konflik Taiwan- Daratan China
Setelah Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, pemerintah Republik China (Kuomintang) mengambil alih Taiwan dan Penghu dari Jepang. Namun, hubungan lintas selat mengalami berbagai dinamika akibat situasi domestik dan internasional.
Dalam Perang Saudara China, pasukan Republik China yang dipimpin Partai Nasionalis China (Kuomintang) dikalahkan Tentara Pembebasan Rakyat yang dipimpin Partai Komunis China. Pada 1949, Republik Rakyat China didirikan dan secara bertahap menguasai seluruh daratan China, sementara Republik China mundur ke Taiwan, Penghu, Kinmen, dan Matsu.
Setelah itu, terjadi konfrontasi militer antara kedua pihak, termasuk beberapa konflik bersenjata. Pada 25 Oktober 1945, Republik China secara resmi mengambil alih Taiwan dan Penghu, yang diperingati sebagai Hari Pemulihan Taiwan, meskipun konsep ini masih menjadi perdebatan.
Pada 1947, terjadi Insiden 28 Februari, di mana konflik antara militer dan warga sipil di Taiwan memicu pengiriman pasukan tambahan dari daratan untuk menekan pemberontakan. Pada 1949, pemerintah Republik China, dipimpin oleh Chiang Kai-shek, memindahkan aset-aset negara, termasuk artefak budaya, arsip nasional, dan hampir 2 juta penduduk daratan ke Taiwan.
Peristiwa ini menciptakan perbedaan sosial antara penduduk lokal dan pendatang baru dari daratan ("penduduk luar provinsi").
Perubahan Dinamika Internasional
Pada 1971, Republik Rakyat China (Beijing) menggantikan Republik China (Taipei) sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kemudian, pada tahun 1979, Amerika Serikat menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China dan mencabut pengakuan diplomatik terhadap Republik China, menggantikannya dengan Taiwan Relations Act sebagai dasar hubungan bilateral.
Setelah periode ketegangan, hubungan lintas selat mulai mencair pada 1987, ketika Taiwan mengizinkan warganya mengunjungi kerabat di daratan. Hal ini diikuti oleh peningkatan hubungan ekonomi. Namun, kunjungan Presiden Lee Teng-hui ke Amerika Serikat pada tahun 1995 memicu ketegangan baru, termasuk Krisis Selat Taiwan pada tahun 1996.
Kebijakan “Satu China” dan Perbedaan Pendekatan
Selama dekade-dekade berikutnya, kebijakan lintas selat terus berubah sesuai dengan pemerintahan di kedua pihak. Pada 2008, ketika Kuomintang kembali berkuasa di Taiwan, hubungan lintas selat kembali mencair.
Puncaknya adalah pertemuan antara Presiden Ma Ying-jeou dari Taiwan dan Presiden Xi Jinping dari China pada tahun 2015 di Singapura. Pertemuan ini dianggap sebagai terobosan besar dalam sejarah hubungan lintas selat.
Namun, sejak Partai Progresif Demokratik (DPP) kembali berkuasa pada 2016 di bawah Presiden Tsai Ing-wen, hubungan lintas selat kembali tegang. Tsai menolak untuk menerima Konsensus 1992, yang menyatakan bahwa "hanya ada satu China" dengan interpretasi masing-masing pihak. Pemerintah China, di bawah Presiden Xi Jinping, terus memberikan tekanan politik dan ekonomi terhadap Taiwan, termasuk dengan melibatkan latihan militer besar-besaran di sekitar Selat Taiwan.
Dosen Hubungan Internasional President University
TAIPEI Economic and Trade Office (TETO) menyerukan kepada Indonesia untuk waspada terhadap klaim kedaulatan China yang dapat merusak perdamaian regional. Dalam momen refleksi akhir tahun, mari kita lihat kembali perseteruan antara Taiwan dan daratan China.
Sejarah Awal Konflik Taiwan- Daratan China
Setelah Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, pemerintah Republik China (Kuomintang) mengambil alih Taiwan dan Penghu dari Jepang. Namun, hubungan lintas selat mengalami berbagai dinamika akibat situasi domestik dan internasional.
Dalam Perang Saudara China, pasukan Republik China yang dipimpin Partai Nasionalis China (Kuomintang) dikalahkan Tentara Pembebasan Rakyat yang dipimpin Partai Komunis China. Pada 1949, Republik Rakyat China didirikan dan secara bertahap menguasai seluruh daratan China, sementara Republik China mundur ke Taiwan, Penghu, Kinmen, dan Matsu.
Setelah itu, terjadi konfrontasi militer antara kedua pihak, termasuk beberapa konflik bersenjata. Pada 25 Oktober 1945, Republik China secara resmi mengambil alih Taiwan dan Penghu, yang diperingati sebagai Hari Pemulihan Taiwan, meskipun konsep ini masih menjadi perdebatan.
Pada 1947, terjadi Insiden 28 Februari, di mana konflik antara militer dan warga sipil di Taiwan memicu pengiriman pasukan tambahan dari daratan untuk menekan pemberontakan. Pada 1949, pemerintah Republik China, dipimpin oleh Chiang Kai-shek, memindahkan aset-aset negara, termasuk artefak budaya, arsip nasional, dan hampir 2 juta penduduk daratan ke Taiwan.
Peristiwa ini menciptakan perbedaan sosial antara penduduk lokal dan pendatang baru dari daratan ("penduduk luar provinsi").
Perubahan Dinamika Internasional
Pada 1971, Republik Rakyat China (Beijing) menggantikan Republik China (Taipei) sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kemudian, pada tahun 1979, Amerika Serikat menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China dan mencabut pengakuan diplomatik terhadap Republik China, menggantikannya dengan Taiwan Relations Act sebagai dasar hubungan bilateral.
Setelah periode ketegangan, hubungan lintas selat mulai mencair pada 1987, ketika Taiwan mengizinkan warganya mengunjungi kerabat di daratan. Hal ini diikuti oleh peningkatan hubungan ekonomi. Namun, kunjungan Presiden Lee Teng-hui ke Amerika Serikat pada tahun 1995 memicu ketegangan baru, termasuk Krisis Selat Taiwan pada tahun 1996.
Kebijakan “Satu China” dan Perbedaan Pendekatan
Selama dekade-dekade berikutnya, kebijakan lintas selat terus berubah sesuai dengan pemerintahan di kedua pihak. Pada 2008, ketika Kuomintang kembali berkuasa di Taiwan, hubungan lintas selat kembali mencair.
Puncaknya adalah pertemuan antara Presiden Ma Ying-jeou dari Taiwan dan Presiden Xi Jinping dari China pada tahun 2015 di Singapura. Pertemuan ini dianggap sebagai terobosan besar dalam sejarah hubungan lintas selat.
Namun, sejak Partai Progresif Demokratik (DPP) kembali berkuasa pada 2016 di bawah Presiden Tsai Ing-wen, hubungan lintas selat kembali tegang. Tsai menolak untuk menerima Konsensus 1992, yang menyatakan bahwa "hanya ada satu China" dengan interpretasi masing-masing pihak. Pemerintah China, di bawah Presiden Xi Jinping, terus memberikan tekanan politik dan ekonomi terhadap Taiwan, termasuk dengan melibatkan latihan militer besar-besaran di sekitar Selat Taiwan.