Guru Besar Lingkungan dan Pakar Hukum Desak Permen LH 7/2014 Dicabut

Sabtu, 14 Desember 2024 - 17:46 WIB
loading...
Guru Besar Lingkungan...
Diskusi bertajuk Menghitung Kerugia Lingkungan Dengan Permen LH No 7/204, Tepatkah? di Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Jumat (13/12/2024). Foto/Dok. SINDOnews
A A A
BOGOR - Sejumlah guru besar dan praktisi hukum mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7/2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup . Peraturan tersebut rawan menjadi bancakan untuk pendapatan negara bukan pajak ( PNBP ).

Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan, Fakultas Kehutanan IPB Sudarsono Soedomo menekankan, kepedulian terhadap lingkungan tak serta merta mengorbankan kepentingan lain, termasuk ekonomi. Sejumlah persoalan disebutkannya menjadi latar belakang desakan dicabutnya Permen LH No / 2014.

Mulai dari metode penghitungan kerugian lingkungan yang menggelembung karena elemen yang terhitung dua kali, bahkan bisa 3 kali hingga penggunaan Permen LH No 7/2014 sebagai penghitung kerugian negara dalam kasus hukum. Parahnya lagi, denda yang diperoleh negara melalui putusan pengadilan tak lantas dikembalikan untuk pemulihan lingkungan yang rusak.

“Kerugian itu dianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak. Bayangkan, PNBP, artinya jika kita ingin PNBP tinggi maka kerusakan negara harus tinggi, apa begitu, itukan salah logika,” kata Sudarsono kepada wartawan di sela-sela diskusi bertajuk Menghitung Kerugia Lingkungan Dengan Permen LH No 7/204, Tepatkah? di Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Jumat (13/12/2024).

“Kerugian lingkungan itu, oke kita hitung, terus kemudian berapa kerugiannya? Uang harus dikembalikan lagi pada lingkungan. Bukan PNPB. Dikembalikan lagi ke lingkungan. Itu yang tidak terjadi,” tegasnya.

Dia mendorong Pemerintahan Prabowo dapat merevisi Permen LH No 7/2014. Bahkan mendesak pemerintah segera menyusun peraturan baru guna menggantikan Permen LH No 7/2014 dengan melibatkan akademisi di foum-forum akademik untuk memastikan kebenaran prosedur dan metode penghitungan yang digunakan.

Dengan demikian nilai kerugian lingkungan dapat dipertanggungjawabkan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat. “Sebelum ada peraturan baru tentang penghitungan kerugian lingkungan yang secara akademis ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, maka demi menjaga nama baik institusi, keterlibatan akademisi dalam penghitungan kerugian lingkungan sebaiknya sangat dibatasi atau dihentikan sama sekali,” tandasnya.

Guru Besar Bidang Ekonomi, SDA dan Lingkungan, FEM IPB Akhmad Fauzi berpendapat di Indonesia ganti rugi kerusakan lingkungan menjadi PNBP. Sementara di luar negeri seperti Amerika sebagian besar dikembalikan ke alam bukan jadi pendapatan negara. "Selain itu di Amerika perhitungan kerugian negara juga harus didiskusikan secara panel,” ucapnya.

Di lokasi yang sama, pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar Sadino memiliki argumen yang sama perihal regulasi Permen LH No 7/2014 sebagai malapraktik. Menurutnya, setidaknya sudah ada 42 perusahaan menjadi korban perkara lingkungan menggunakan Permen LH No 7/2014 dengan nilai total kerugian yang dihitung Rp29 triliun.

“Ada 42 perusahaan jadi korban perkara lingkungan. Salah satu contohnya PT CA yang dipaksa membayar denda miliaran rupiah, tapi tidak pernah ada pemulihan. Kenapa permen jadi PNBP? Perhitungan sebenarnya sulit tapi putusannya gampang banget,” tuturnya.

Menurutnya, mengherankan jika pengusaha diberi izin tapi lahan tak bisa dieksploitasi. Dirinya turut mengkritisi perihal isu lingkungan disangkutpautkan ke ranah korupsi. “”Kerugian lingkungan bukan kerugian negara jadi seharusnya dikembalikan ke lingkungan,” tuturnya.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1332 seconds (0.1#10.140)