Menyongsong Kedokteran Presisi dengan Genom Indonesia

Selasa, 22 Mei 2018 - 08:36 WIB
Menyongsong Kedokteran Presisi dengan Genom Indonesia
Menyongsong Kedokteran Presisi dengan Genom Indonesia
A A A
Beben Benyamin Dosen Senior dan Peneliti di Bidang Genetika Statistik, University of South Australia, Adelaide

JAGO. Julukan itu di­berikan kepada Ro­hani, kakek 80 ta­hun dari suku Bajo, Pulau Togean (Sulawesi), ka­re­na ketangguhannya me­nye­lam. Seperti kebanyakan lelaki Bajo, Rohani bisa me­nye­lam untuk ber­buru ikan dan hewan laut lain­nya sampai ke­da­laman 70 meter selama be­berapa menit. Uniknya, semua itu dilakukan tanpa meng­gu­na­kan alat pe­nye­lam. Ber­mo­dal kacamata ber­bingkai kayu, kemampuan me­nyelam orang Bajo di luar ba­tas kemampuan manusia biasa.

Kisah hidup Rohani di­ang­kat menjadi film dokumenter de­ngan judul Jago: A Life Under­water. Film yang ditayangkan pa­da 2015 ini menyabet be­bera­pa penghargaan, ter­ma­suk Grand Teton Award dari Jack­­son Hole Wildlife Film Festival.

Pusat Genom Nasional

Sementara di Jakarta pada 6 April 2018, Menteri Riset, Tek­no­logi dan Pendidikan Tinggi meresmikan Pusat Genom Na­sional di Lembaga Biologi Mo­le­kular Eijkman. Pusat pene­li­tian ini dibentuk sebagai pusat re­fe­rensi penelitian genom, “cetak biru” manusia di Indo­nesia.

Dengan dilengkapi tek­no­logi sekuensing atau pengeja hu­ruf DNA canggih, berbagai penelitian berbasis genom di­ha­rapkan bisa dilakukan di In­donesia, baik secara mandiri mau­pun kolaborasi. Selama ini mayoritas penelitian tentang asal-usul manusia Indonesia dan penelitian kedokteran ber­ba­sis genom Indonesia meng­ama­ti segmen kecil dalam ge­nom, misalnya satu gen atau satu kromosom Y saja. Dengan tek­nologi yang baru di­res­mi­kan, sekarang penelitian dapat dilakukan pada seluruh bagian genom yang memuat sekitar 20.000 gen. Gen sendiri meru­pa­kan unit kecil dari genom yang memberikan instruksi pem­buatan protein.

Di dunia tonggak penelitian genom manusia sendiri sebe­nar­nya dimulai seperempat abad lalu dengan dibentuknya Human Genome Project . Proyek sains rak­sa­sa yang meng­ha­bis­kan USD3 miliar ini bertujuan memetakan 3 miliar huruf DNA penyusun ge­nom. Peta ge­nom ini menjadi acuan seka­ligus ka­ta­lis pencarian gen yang ber­kon­tribusi terhadap mani­fes­tasi penyakit atau karak­te­ris­tik manusia.

Berbekal peta tersebut, di­mulai satu dekade lalu, ilmu­wan berlomba dan bekerja sa­ma un­tuk menemukan lokasi dimana salah eja terjadi di anta­ra 3 mi­liar huruf DNA. Salah eja ter­se­but kemudian diuji hu­bungan­nya dengan penyakit atau ka­rak­teristik manusia de­ngan mem­bandingkan DNA dari ri­buan pasien atau par­ti­sipan. Ji­ka salah eja tersebut ber­­ko­relasi dengan ada atau tidaknya pe­nyakit, maka gen yang me­me­ngaruhi penyakit tersebut telah diidentifikasi. Teknik ini dike­nal dengan se­but­an genome-wide associati­on study (GWAS).

Berbagai penyakit dan ka­rak­teristik yang bisa diamati ti­dak luput dari penelitian. Ilmu­wan tidak hanya meneliti kon­disi yang sering kita sebut seba­gai penyakit “genetik” saja, se­perti talasemia atau hemofilia. Sekarang hampir semua pe­nya­kit dan karakteristik yang se­la­ma ini dianggap tidak ba­nyak di­pengaruhi genetik pun tak lu­put dari penelitian GWAS. Dari rambut ikal sampai tangan ki­dal. Dari asma sampai ski­zo­fre­nia. Semua dicari gen penye­bab­nya.

Walaupun sulit, laksana men­cari jarum ditum­puk­kan je­rami, buah dari proyek rak­sa­sa ini sudah mulai bisa dipetik. Ri­buan perubahan huruf DNA telah berhasil dikaitkan de­ngan ber­bagai penyakit dan ka­rak­te­ris­tik manusia. Sebagian te­mu­an bahkan sudah dija­di­kan se­ba­gai acuan diagnosa pe­nyakit, pe­nentuan dosis obat, atau tar­get pembuatan obat baru.

Lalu apa hubungan Jago de­ngan Pusat Genom Nasional? Se­minggu sebelum peresmian Pusat Genom Nasional, tim pe­neliti mancanegara terutama dari Universitas Kopenhagen memublikasikan hasil pene­li­ti­an genom suku Bajo di jurnal pres­tisius, Cell . Satu-satunya pe­neliti Indonesia yang men­ja­di penulis disebutkan ber­kon­tri­busi me­nye­diakan keper­lu­an logistik.

Tim peneliti tertarik men­cari alasan biologis kehebatan menyelam suku Bajo. Mengapa suku Bajo bisa menyelam sa­ngat dalam dan lama tanpa meng­­gunakan alat penyelam?

Mereka memulai dengan mem­bandingkan ukuran lim­pa orang Bajo dengan orang Sa­lu­an. Suku Saluan dijadikan se­ba­gai pembanding karena le­tak­­nya berdekatan, tapi tidak mem­­pu­nyai tradisi menyelam se­­perti suku Bajo. Ukuran lim­pa d­i­teliti karena pada mamalia penyelam andal seperti anjing laut, ukuran limpanya lebih be­sar daripada proporsi bagian tu­­buh lainnya. Setelah diban­ding­­kan, ternyata ukuran lim­pa su­ku Bajo 50% lebih besar dari su­ku Saluan. Limpa dike­tahui me­ru­pakan organ pe­nyim­pan ca­dangan darah me­rah yang meng­andung oksigen. Ketika me­nyelam, limpa ber­fungsi seba­gai tangki oksigen.

Tidak hanya berhenti di situ. Mereka selanjutnya berhi­po­tesa bahwa kehebatan suku Bajo dalam menyelam ini me­ru­pa­kan hasil adaptasi dan se­leksi alam. Untuk mem­buk­ti­kan hi­po­tesa tersebut, mereka mem­bandingkan genom suku Bajo dengan genom suku Sa­luan dan suku Han (Tiongkok) yang ge­nom­nya sudah banyak dipe­la­jari. Ternyata mereka me­ne­mu­kan bahwa variasi pa­da gen PDE10A dan BDKRB2 di suku Bajo terseleksi secara turun-te­murun. Proses seleksi ini diper­ki­ra­kan berlangsung selama ri­bu­an tahun.

Dari analisa lanjutan, me­reka juga berhasil mem­buk­ti­kan bahwa variasi di dua gen ter­sebut berkorelasi positif de­ngan ukuran limpa (PDE10A ) dan sifat refleks menyelam (BDKRB2). Penelitian seperti ini menjawab kenapa suatu suku mempunyai karakte­ris­tik unik dibanding orang keba­nyak­an. Tak kalah penting, penelitian seperti ini juga bisa membawa dampak pada pe­ne­litian kedokteran. Penelitian ten­tang kemampuan menye­lam suku Bajo bisa membuka pe­nelitian baru tentang hi­pok­sia, kondisi berkurangnya oksi­gen dalam tubuh.

Keunikan Lain

Tentu saja keunikan suku Bajo bukan merupakan satu-satunya keunikan genom di Indo­nesia. Indonesia meru­pa­kan negara kepulauan dengan keragaman suku yang tersebar di ribuan pulau. Dengan ada­nya isolasi geografis selama ri­bu­an tahun, selain budaya yang ber­­beda-beda, suku-suku ter­se­but diperkirakan juga mem­punyai keunikan dan kera­gam­an ge­nom tersendiri. Sebagai contoh, prevalensi pe­nya­kit talasemia di Indonesia dan beberapa ne­ga­ra Asia Tenggara lebih banyak dibanding negara lain. Selain itu, variasi genom penyebabnya pun berbeda ter­gantung latar belakang suku­nya.

Kedokteran Presisi dengan Genom Indonesia

Dalam satu dekade terakhir, dunia sedang bergerak menuju praktik kedokteran masa de­pan. Praktik kedokteran kare­na keunikan pasien, baik dari segi genom, lingkungan, mau­pun gaya hidupnya, dijadikan acuan perawatan. Kalau sela­ma ini boleh dibilang bahwa pe­ngo­bat­an disamaratakan bagi setiap pasien, di era precision medicine (kedokteran presisi) praktik ter­sebut akan menjadi masa lalu.

Sampai saat ini mayoritas (80%) penelitian genom meng­gunakan sampel dari orang ke­turunan Eropa. Hanya 20% meng­­gunakan sampel dari be­lahan dunia lain, termasuk Afri­ka, Asia, dan Amerika La­tin. Se­dangkan penggunaan sam­pel dari Indonesia untuk pene­li­ti­an-penelitian genom mu­tak­hir, terutama di bidang ke­dok­teran, masih terbatas. Bahkan, diban­ding dengan ne­gara-negara te­tang­ga di Asia Teng­gara, seperti Malaysia dan Thai­land, kita ma­sih ter­ting­gal.

Penggunaan sampel genom Indonesia dalam penelitian ini sangat penting karena adanya perbedaan latar belakang ge­ne­tik antarpopulasi. Kita belum ta­hu sepenuhnya, apakah hasil penelitian genom dari sampel Eropa bisa diaplikasikan ke po­pulasi lain. Keunikan-keuni­k­an lokal bakal menjadi penentu apakah hasil penelitian genom Eropa bisa diaplikasikan ke p­o­pu­lasi Indonesia yang beragam.

Jadi, kalau kita ingin mera­sa­kan manfaat dari revolusi ge­nom ini, partisipasi aktif dan ke­pemimpinan ilmuwan Indo­ne­sia dalam bidang ini sangat me­nentukan. Penggunaan sam­pel genom Indonesia un­tuk menga­tasi masalah-masa­lah ke­dok­ter­an di Indonesia tidak bisa di­tunda-tunda lagi. Kita tidak bisa hanya meng­an­dal­kan hasil penelitian genom Eropa atau negara lain.

Untuk itu, adanya du­kung­an pemerintah dengan diben­tuk­nya Pusat Genom Nasional me­ru­pakan angin segar perlu di­apre­siasi. Tapi tentu saja jangan ber­henti di sana. Kita ke­tahui bahwa penelitian genom me­ma­kan biaya yang mahal. Ka­re­na itu, dukungan dana pe­ne­li­ti­an yang besar dengan durasi pan­jang dan berkelanjutan menjadi keharusan. Pelatihan-pelatihan bidang genom untuk mem­per­kuat sumber daya manusianya juga perlu segera ditingkatkan.

Selain itu, sudah saatnya Indonesia membentuk Biobank Indonesia. Biobank ini dituju­kan untuk menjadi pusat ko­leksi informasi klinik dan pe­nyakit yang dilengkapi dengan koleksi darah, DNA, dan ma­te­rial biologi lainnya dari ribuan bahkan ratusan ribu pasien. Biobank ini nanti akan menjadi sumber sampel bagi penelitian genom Indonesia.

Pada akhirnya, Pusat Ge­nom Nasional diharapkan men­jadi katalis penemuan ke­unik­an-keunikan genom baru se­per­ti pada suku Bajo. Terlebih pen­ting lagi, ilmuwan Indonesia bisa berperan sebagai peng­ge­rak utama dalam penelitian ge­nom ini. Mari kita sambut era kedokteran presisi untuk Indo­ne­sia yang sehat dan sejah­tera.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5094 seconds (0.1#10.140)