Urgensi Kesejahteraan Prajurit TNI
loading...
A
A
A
Di sisi lain, usai debat panas Staf Khusus Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak membantah tudingan Prabowo kurang memperhatikan kesejahteraan prajurit TNI. Dia menandaskan anggaran sepanjang 2020 hingga 2024 justru lebih banyak digunakan untuk kesejahteraan prajurit. Diungkapkan, total Rp131 triliun anggaran Kemhan di tahun 2023, hanya Rp30 triliun yang digunakan untuk belanja alutsista. Sisanya digunakan untuk kesejahteraan prajurit, rumah sakit tentara, bahkan untuk pendidikan.
Lebih jauh, dari total Rp680-an triliun anggaran Kemhan selama Prabowo Subianto menjabat Menhan, semua difokuskan untuk belanja prajurit, rumah, kesejahteraan, pemeliharaan alutsista dan lainnya. Penggunaan rata-rata untuk belanja alutsista hanya sekitar 15 sampai 17 persen, atau sebesar kurang lebih Rp102 triliun sepanjang 2020 sampai dengan 2024.
Prasyarat Tentara Profesional
Munculnya istilah back to basic pada era reformasi menegasikan dwi fungsi ABRI yang saat itu memedomani perilaku TNI dalam kehidupan bernegara. Dampaknya, tentara tidak hanya fokus pada urusan pertahanan negara, tapi juga sosial dan politik. Spektrum sosial politik di antaranya juga mencakup bisnis.
Berdasar sejumlah referensi, dwi fungsi beranjak dari gagasan AH Nasution tentang konsepsi jalan tengah. Jenderal besar itu menginginkan tentara berperan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, sekaligus berpartisipasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial dan budaya.
baca juga: Pengamat Militer Apresiasi DPR Setujui Kenaikan Anggaran Kemhan Rp1,6 Triliun untuk Kesejahteraan Prajurit TNI
Konsep ini selanjutnya diadopsi Soeharto, dan bahkan kemudian diundangkan dalam UU No 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Kebijakan dwi fungsi ABRI yang ditelorkan pun mendorong agresifitas kalangan militer untuk memasuki berbagai bidang kehidupan bernegara, dan mewarnai terbentuknya wajah otoriterianisme selama rezim Orde Baru.
Reformasi pada 1998 mendorong TNI berkonsentrasi penuh pada tugas garda bangsa profesional. Untuk tujuan itu keluarlah UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang melarang prajurit TNI terlibat dalam politik dan bisnis. Aturan tegas tersebut dinukil dalam pasal 33.
Dalam undang-undang sama, juga ditegaskan tentang jati diri TNI, yakni sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. Sebagai tentara profesional, misalnya, TNI di antaranya didefinisikan sebagai tentara terlatih, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.
Bila merunut pada pemahaman jati diri sebagai tentara profesional, maka pemahaman tentang tentara profesional juga mencangkup komitmen TNI untuk tidak berbisnis. Sebagai konsekuensinya, jati diri sebagai tentara profesional pada saat sama juga menggariskan tentang keharusan prajurit TNI dijamin kesejahteraannya.
Lebih jauh, dari total Rp680-an triliun anggaran Kemhan selama Prabowo Subianto menjabat Menhan, semua difokuskan untuk belanja prajurit, rumah, kesejahteraan, pemeliharaan alutsista dan lainnya. Penggunaan rata-rata untuk belanja alutsista hanya sekitar 15 sampai 17 persen, atau sebesar kurang lebih Rp102 triliun sepanjang 2020 sampai dengan 2024.
Prasyarat Tentara Profesional
Munculnya istilah back to basic pada era reformasi menegasikan dwi fungsi ABRI yang saat itu memedomani perilaku TNI dalam kehidupan bernegara. Dampaknya, tentara tidak hanya fokus pada urusan pertahanan negara, tapi juga sosial dan politik. Spektrum sosial politik di antaranya juga mencakup bisnis.
Berdasar sejumlah referensi, dwi fungsi beranjak dari gagasan AH Nasution tentang konsepsi jalan tengah. Jenderal besar itu menginginkan tentara berperan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, sekaligus berpartisipasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial dan budaya.
baca juga: Pengamat Militer Apresiasi DPR Setujui Kenaikan Anggaran Kemhan Rp1,6 Triliun untuk Kesejahteraan Prajurit TNI
Konsep ini selanjutnya diadopsi Soeharto, dan bahkan kemudian diundangkan dalam UU No 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Kebijakan dwi fungsi ABRI yang ditelorkan pun mendorong agresifitas kalangan militer untuk memasuki berbagai bidang kehidupan bernegara, dan mewarnai terbentuknya wajah otoriterianisme selama rezim Orde Baru.
Reformasi pada 1998 mendorong TNI berkonsentrasi penuh pada tugas garda bangsa profesional. Untuk tujuan itu keluarlah UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang melarang prajurit TNI terlibat dalam politik dan bisnis. Aturan tegas tersebut dinukil dalam pasal 33.
Dalam undang-undang sama, juga ditegaskan tentang jati diri TNI, yakni sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. Sebagai tentara profesional, misalnya, TNI di antaranya didefinisikan sebagai tentara terlatih, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.
Bila merunut pada pemahaman jati diri sebagai tentara profesional, maka pemahaman tentang tentara profesional juga mencangkup komitmen TNI untuk tidak berbisnis. Sebagai konsekuensinya, jati diri sebagai tentara profesional pada saat sama juga menggariskan tentang keharusan prajurit TNI dijamin kesejahteraannya.