Urgensi Kesejahteraan Prajurit TNI

Senin, 15 Januari 2024 - 05:05 WIB
loading...
Urgensi Kesejahteraan Prajurit TNI
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
ISU kesejahteraan prajurit TNI tiba-tiba menyeruak dalam perbincangan publik Tanah Air. Tema yang selama ini bisa disebut subordinat dalam konteks diskusi pertahanan dibanding akuisisi alutsista muncul karena menjadi salah satu pokok perdebatan calon presiden (capres) dalam debat ketiga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024) yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Minggu (07/01) lalu.

baca juga: Ganjar Tegaskan Kesejahteraan ASN dan TNI-Polri Perlu Ditingkatkan

Adalah capres nomor urut 1, Anies Baswedan, yang menyinggung kesejahteraan prajurit TNI. Dengan menegasikan kepemilihan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto yang menguasai kepemilikan lahan lebih dari 340.000 hektare, Anies membeber separuh prajurit TNI tidak punya rumah dinas. ‘’Itu fakta, tidak perlu dibicarakan secara tertutup, itu kekurangan yang harus kita perbaiki," kata Anies dalam debat yang berlangsung di Istora Senayan, Jakarta.

Mantan Gubernur DKI Jakarta lalu menyoroti pernyataan Prabowo yang berjanji meningkatkan kesejahteraan TNI. Apa katanya? Capres yang berpasangan dengan Muhaimin Iskandar ini mengaku heran lantaran Prabowo sudah 4 tahun menjadi menteri pertahanan, namun baru menyampaikan apa yang akan dilakukan, bukan yang sudah dikerjakan.

Anies kemudian bilang, jika dirinya diberi kepercayaan untuk menjadi presiden, dia akan menaikkan gaji tiap tahun, menyediakan perumahan sehingga prajurit TNI tidak perlu ngekos dan menyewa. Dengan demikian, prajurit TNI bisa tenang dalam menjalankan tugas mempertahankan setiap jengkal wilayah negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).

Urgensi kenaikan kesejahteraan prajurit TNI juga mendapat perhatian capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo. Mantan Gubernur Jawa Tengah itu berjanji akan meningkatkan kesejahteraan anggota TNI dan Polri. Menurut dia, kesejahteraan merupakan hal krusial yang harus dipenuhi selain melakukan reformasi di dua institusi pertahanan keamanan itu.

Prabowo dalam pernyataan penutup menyatakan terimakasih pada prajurit TNI/Polri dan ASN menjaga negeri ini sehingga bangsa ini siap tinggal landas dan siap menjadi negara maju. Selain itu, mantan Danjen Kopassus TNI AD tersebut berjanji akan memperbaiki kualitas hidup prajurit TNI/Polri dan ASN secara signifikan.

Terlepas dari pertarungan narasi pascadebat, termasuk dibumbui berbagai drama ‘tangisan massal’, munculnya isu kesejahteraan prajurit TNI dalam debat capres membawa harapan segar bagi prajurit TNI ke depan, karena para capres telah menyatakan komitmen untuk sama-sama meningkatkan kesejahteraannya.

baca juga: Prioritas Ganjar untuk Tingkatkan Kesejahteraan Prajurit TNI/Polri Diapresiasi

Perdebatan para capres juga memberi kesadaran publik betapa masih rendahnya kesejahteraan prajurit TNI, padahal di sisi lain tugas mereka sangat berat. Pertanyaan yang secara objektif perlu diungkap dan dikupas adalah, sebenarnya bagaimana realitas kesejahteraan prajurit TNI dan apa urgensi peningkatan kesejahteraan untuk mereka? Apakah ada korelasi antara kesejahteraan dengan pertahanan Indonesia?

Di sisi lain, usai debat panas Staf Khusus Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak membantah tudingan Prabowo kurang memperhatikan kesejahteraan prajurit TNI. Dia menandaskan anggaran sepanjang 2020 hingga 2024 justru lebih banyak digunakan untuk kesejahteraan prajurit. Diungkapkan, total Rp131 triliun anggaran Kemhan di tahun 2023, hanya Rp30 triliun yang digunakan untuk belanja alutsista. Sisanya digunakan untuk kesejahteraan prajurit, rumah sakit tentara, bahkan untuk pendidikan.

Lebih jauh, dari total Rp680-an triliun anggaran Kemhan selama Prabowo Subianto menjabat Menhan, semua difokuskan untuk belanja prajurit, rumah, kesejahteraan, pemeliharaan alutsista dan lainnya. Penggunaan rata-rata untuk belanja alutsista hanya sekitar 15 sampai 17 persen, atau sebesar kurang lebih Rp102 triliun sepanjang 2020 sampai dengan 2024.

Prasyarat Tentara Profesional

Munculnya istilah back to basic pada era reformasi menegasikan dwi fungsi ABRI yang saat itu memedomani perilaku TNI dalam kehidupan bernegara. Dampaknya, tentara tidak hanya fokus pada urusan pertahanan negara, tapi juga sosial dan politik. Spektrum sosial politik di antaranya juga mencakup bisnis.

Berdasar sejumlah referensi, dwi fungsi beranjak dari gagasan AH Nasution tentang konsepsi jalan tengah. Jenderal besar itu menginginkan tentara berperan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, sekaligus berpartisipasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial dan budaya.

baca juga: Pengamat Militer Apresiasi DPR Setujui Kenaikan Anggaran Kemhan Rp1,6 Triliun untuk Kesejahteraan Prajurit TNI

Konsep ini selanjutnya diadopsi Soeharto, dan bahkan kemudian diundangkan dalam UU No 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Kebijakan dwi fungsi ABRI yang ditelorkan pun mendorong agresifitas kalangan militer untuk memasuki berbagai bidang kehidupan bernegara, dan mewarnai terbentuknya wajah otoriterianisme selama rezim Orde Baru.

Reformasi pada 1998 mendorong TNI berkonsentrasi penuh pada tugas garda bangsa profesional. Untuk tujuan itu keluarlah UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang melarang prajurit TNI terlibat dalam politik dan bisnis. Aturan tegas tersebut dinukil dalam pasal 33.

Dalam undang-undang sama, juga ditegaskan tentang jati diri TNI, yakni sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. Sebagai tentara profesional, misalnya, TNI di antaranya didefinisikan sebagai tentara terlatih, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.

Bila merunut pada pemahaman jati diri sebagai tentara profesional, maka pemahaman tentang tentara profesional juga mencangkup komitmen TNI untuk tidak berbisnis. Sebagai konsekuensinya, jati diri sebagai tentara profesional pada saat sama juga menggariskan tentang keharusan prajurit TNI dijamin kesejahteraannya.

Karena itulah, seberapa terpenuhi kesejahteraan prajurit TNI selaras dengan terwujudnya profesionalitas prajurit TNI. Dengan kata lain, terpenuhinya kesejahteraan merupakan prasyarat terwujudnya profesionalitas prajurit TNI. Tanpa terpenuhinya kesejahteraan prajurit, profesionalitas TNI pun bisa terancam karena mereka masih terganggu urusan dapur. Terganggunya profesionalitas prajurit TNI pada akhirnya menggangu konsentrasi dalam menjalankan tugas dan fungsi pertahanan negara.

Lantas apa saja parameter kesejahteraan prajurit? Merujuk pada artikel ‘Rencana Strategis TNI untuk Meningkatkan Kesejahteraan Prajurit’ yang dirilis Kominfo.go.id/, komponen pembangunan kesejahteraan prajurit meliputi penambahan ketersediaan rumah dinas prajurit, perbaikan sistem penggajian dan kompensasi, optimalisasi pangkalan (housing), pembangunan bidang kesehatan, dan jaminan kesejahteraan pasca-purna tugas.

Butuh Komitmen Kuat

“TNI yang terdidik dan terlatih tidak akan menjadi kekuatan yang efektif apabila prajurit dan keluarganya tidak sejahtera. Untuk itu, negara akan benar-benar memastikan adanya penghormatan yang layak bagi para prajurit TNI”. Pernyataan yang disampaikan Presiden JokoWidodo di awal kepemimpinan periode pertama mengindikasikan pemahaman mantan Wali Kota Solo tersebut akan pentingnya kesejahteraan prajurit TNI.

baca juga: Mengenal M Jusuf, Jenderal TNI yang Perhatian dengan Kesejahteraan Prajurit

Di sisi lain, pesan tersebut sekaligus mengungkap komitmen Presiden sebagai kepala negara yang juga panglima tertinggi TNI untuk memberi perhatian dan terus meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Pertanyaannya, apakah apa yang disampaikan tersebut terimplementasikan dalam kebijakan, atau apakah hanya sekadar omon-omon – meminjam istilah yang disampaikan Prabowo saat debat.

Untuk mengukur berdasar parameter seperti termuat dalam ‘Rencana Strategis TNI untuk Meningkatkan Kesejahteraan Prajurit’ tentu tidak mudah. Pasalnya, tidak banyak tersedia tentang pemanfaatan anggaran Kemenhan sebagai penanggungjawab anggaran pertahanan untuk kebutuhan kesejahteraan prajurit

Untuk gaji, misalnya, data yang telah berserakan menunjukkan komitmen Jokowi ternyata masih kalah dibanding era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lantas, bagaimana perbedaan gaji TNI dan Polri saat era SBY dan Jokowi?

Saat memimpin, SBY tercatat sembilan kali menaikkan gaji TNI -beserta Polri dan PNS, yakni pada 2005, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014. Sedangkan kenaikan gaji di era Jokowi adalah sebanyak tiga kali, yakni pada 2015, 2019, dan 2024. Untuk kenaikan pada 2024 sebesar persen pun belum memiliki payung hukum.

Untuk diketahui, sebelum adanya kenaikan gaji di 2024, gaji anggota TNI diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan ke-12 atas PP Nomor 28 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota TNI. Bila dilihat, gaji para hulubalang negara tersebut terbilang miris.

Untuk golongan I tamtama misalnya, rentang gaji terendah untuk kelasi dua atau prajurit dua sebesar Rp1.643.500 hingga Rp2.538.100, sedangkan paling tinggi untuk pangkat kopral kepala sebesar Rp1.917.100 hingga Rp2.960.700. Angka tersebut jauh berada di bawah gaji rata-rata karyawan di Indonesia pada 2023 yang disebut Salary Explorer berada di angka Rp3.070.000 per bulan. Begitupun gaji untuk golongan II bintara, juga tidak berbeda jauh dengan tamtama.

baca juga: Panglima TNI Diminta Fokus Kesejahteraan Prajurit

Namun di luar gaji pokok, tentu prajurit TNI masih mendapat sejumlah tunjangan, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 33 Tahun 2017 tentang Penghasilan Prajurit TNI di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI. Beberapa tunjangan yang berhak didapatkan anggota TNI di antaranya, tunjangan istri/suami, tunjangan anak, tunjangan pangan/beras, uang lauk pauk, tunjangan umum dan ada beberapa tunjangan lainnya.

Untuk tunjangan anak sebesar 2% (dua persen) dari gaji pokok, tunjangan isteri/suami diberikan sebesar 10% (sepuluh persen) dari gaji pokok. Tunjangan pangan/beras dalam bentuk uang diberikan sebesar setara 18 kg beras/jiwa/bulan untuk prajurit TNI dan sebesar setara 10 kg beras/jiwa/bulan untuk anggota keluarga yang berhak mendapatkan tunjangan.

Sedangkan tunjangan jabatan struktural diberikan setiap bulan kepada prajurit TNI yang menduduki jabatan structural. Sementara tunjangan umum diberikan setiap bulan kepada Prajurit TNI yang tidak menerima tunjangan jabatan struktural, tunjangan jabatan fungsional, atau tunjangan yang dipersamakan dengan tunjangan jabatan.

Tidak mudah memang untuk mengetahui porsi dan peruntukan anggaran untuk kesejahteraan prajurit. Terlepas dari pro-kontra, perhatian negara terhadap kesejahteraan prajurit wajib hukumnya. Sangat muskil bila negeri ini berharap prajurit TNI meningkatkan profesionalitasnya demi mempertahankan setiap jengkal tanah NKRI bila mereka tidak fokus karena harus berfikir dan meluangkan tenaga demi memikirkan kebutuhan keluarga.

baca juga: Mahfud MD: Pemerintah Jamin Kesejahteraan Prajurit TNI

Dari semua indikator kesejahteraan, gaji memang variabel paling pokok karena menyangkut operasional kebutuhan sehari-hari. Apalagi inflasi membutuhkan harga kebutuhan pokok dan sekunder yang tidak terhindarkan terus melambung. Sebagai perbandingan, karena faktor peningkatan kebutuhan itulah UMR hampir tiap tahun mengalami peningkatan.

Karena itu, dengan logika sama, gaji prajurit TNI juga menggunakan parameter UMR, yakni kebutuhan hidup layak (KHL). Penghitungan KHL melibatkan variabel kebutuhan, indeks harga konsumen (IHK), kemampuan, perkembangan, kelangsungan perusahaan, upah umum di suatu daerah, kondisi pasar, hingga tingkat perekonomian dan pendapatan perkapita.

Sebagai abdi negara yang menyerahkan hidup matinya untuk mempertahankan negeri ini, indikator kesejahteraan lain yang menjamin kehidupan mereka seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, pensiun dan lainnya sudah barang tentu harus selalu menjadi perhatian dan selalu di tingkatkan kualitas sebagai bentuk pengharaan atas pengabdian mereka. (*)
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1876 seconds (0.1#10.140)