Politik Hukum Menghentikan Korupsi di Sektor Usaha

Senin, 25 Desember 2023 - 15:03 WIB
loading...
Politik Hukum Menghentikan Korupsi di Sektor Usaha
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

PADA debat cawapres dengan topik antara lain sektor keuangan dan investasi, Mahfud MD mengemukakan antara lain bahwa korupsi penyebab menurunnya investasi dan hambatan di sektor perdagangan. Pendapat Mahfud benar adanya, akan tetapi juga tidak boleh menutup mata terhadap maksud dan tujuan pembentukan UU Tipikor UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001.

Pembentukan UU Tipikor 1999/2001 merupakan wujud nyata dari pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang meyakini bahwa pemerintahan Indonesia yang bebas KKN hanya dapat diwujudkan melalui penghukuman dan pengembalian aset-aset hasil korupsi. Itulah mengapa di dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 juga ketentuan Pasal 12B (gratifikasi) dan Pasal 12e (pemerasan dalam jabatan) dengan ancaman hukuman yang ditetapkan minimal dan maksimal 20 tahun dan pidana denda Rp1 miliar diharapkan ada penjeraan/kapok di samping aset-aset negara dapat dipulihkan.

Dalam praktik penegakan hukum terhadap perkara korupsi diketahui terdapat banyak kendala antara lain kendala kronisme dan politis sehingga diperlukan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan lembaga negara yang bersifat independen bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Harapan tercapainya tujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dilengkapi pembentukan KPK tidak sesuai dengan tujuan awal karena yang terjadi adalah jumlah koruptor yang dimasukkan ke dalam Lembaga pemasyarakatan semakin meningkat setiap tahun dan jumlah korupsi tidak berkurang, bahkan relatif stabil.

Konsekuensi logis sebagai dampak ikutan dari keadaan tersebut adalah pembengkakan dana untuk pembiayaan Lembaga Pemasyarakatan khususnya dalam APBN Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga dalam kenyataan UU Tipikor 1999/2001 dan pembentukan KPK menjadi kontraproduktif yang telah menggagalkan upaya pemerintah menciptakan penyelenggaraan pemerintah yang bebas KKN. Hal ini sangat dirasakan dampaknya terhadap upaya pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 5% -7 % per tahun yang selalu mengalami fluktuasi yang tidak positif bagi pengembangan di sektor perekonomian, perdagangan, dan keuangan.



Berdasarkan uraian tersebut, studi perbandingan hukum di negara-negara maju seperti AS dan negara anggota Uni Eropa lainnya seperti Inggris, Belanda, dan Prancis menunjukkan bahwa politik hukum pidana yang dipraktikan tidak semata-mata penghukuman (retributionis) saja, akan tetapi juga pemulihan keseimbangan kehidupan hukum dan perekonomian yaitu korporasi merupakan ikon penting dan strategis yang tidak dapat diperlakuan sama dengan manusia/orang sebagai subjek hukum pidana.

Perlakuan hukum yang berbeda tidak hanya pada ancaman dan jenis hukuman yang dapat dijatuhkan, melainkan juga pada proses penjatuhan hukuman yang seharusnya dibebankan kepada korporasi. Contoh, kasus suap mantan Dirut PT Garuda, ES terkait dengan pemberian suap oleh Perusahaan Boeing (AS) akan tetapi KPK tidak dapat menuntaskan penuntutannya disebabkan pihak Kejaksaan Agung AS telah menerapkan politik hukum pidana yang baru disebut Deferred Prosecution Agreement (DPA) yaitu korporasi yang terbukti melakukan suap terhadap pejabat negara di mana pun tidak dituntut jika korporasi dapat membayar denda penalti yang cukup tinggi melebihi pidana denda Rp1 miliar yang ditentukan dalam UU Tipikor 1999/2001.

Filosofi di balik politik hukum pidana tersebut adalah bahwa, penerapan hukum (UU) juga harus menggunakan/ memperhitungkan aspek “cost-efficiency ratio” dari suatu perkara, terutama kemanfaatan bagi negara selain juga memberikan teguran keras kepada pengurus korporasi yang bersangkutan. Diketahui bahwa penegakan hukum di negara penganut sistem hukum Common Law telah mempertimbangkan secara serius prinsip analisis ekonomi mikro yang didasarkan pada prinsip keseimbangan (equilibrium), maksimisasi (maximization), dan efisisensi (efficiency) atau dikenal “Economic Analysis of Law”(EAL, Posner).

Apabila pemerintah memiliki keinginan terjadi perubahan mendasar di dalam politik/kebijakan hukum pemberantasan korupsi terkait pengembangan perekonomian nasional yang memiliki kredibilitas di forum internasional, sebaiknya pemerintah menerapkan kebijakan hukum baru berdasarkan pendekatan analisis ekonomi sehingga korporasi (nasional/asing) yang melakukan atau berniat melakukan investasi di Indonesia tidak ragu dan memperoleh kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi kelangsungan investasinya.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan evaluasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendirian Perseroan Terbatas, pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang adaptif terhadap kelancaran perekonomian negara dan sistem pengawasan terhadap aktivitas korporasi yang terkoordinasi dan sinergi antarlembaga negara/swasta yang bergerak dalam kegiatan di pasar modal.

Salah satu evaluasi peraturan perundang-undangan penting dan bersifat strategis adalah juga dengan melakukan revisi atas UU Tipikor 1999/2001 khususnya ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 yang memastikan harus terdapat kerugian negara atau perekonomian negara sebagai ‘trade-mark” pemberantasan korupsi di Indonesia yang di dalam Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 telah ditetapkan bahwa unsur kerugian negara tidak dijadikan unsur penentu ada/tidak adanya korupsi; for the purpose of implementing this Convention, it shall not be necessary, except as otherwise statef herein, for the offence set forth in it to result in damage or harm to State property(Pasal 3 Konvensi PBB 2003). Frasa “shall not” identik dengan tidak diwajibkan, sehingga dapat dibaca bahwa unsur kerugian negara dalam pelaksanaan konvensi PBB 2003 tidak wajib (mutlak) dijadikan unsur tindak pidana korupsi.

Kelemahan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 selain luasnya makna unsur perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi juga unsur penyalahgunaan wewenang karena kedudukan dan jabatan seorang penyeleggara negara. Di samping kelemahan dalam praktik telah terbukti ketentuan pasal aquo telah memberikan kemudahan bagi negara/ Kejaksaan dan KPK dalam menjerat pelaku perorangan maupun korporasi yang melakukan atau terlibat dalam tindak pidana tersebut yang sering dalam praktik korporasi yang telah memperoleh keuntungan dari transaksi bisnis dipandang sebagai “memperoleh keuntungan” dari tindak pidana korupsi.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1282 seconds (0.1#10.140)