Betulkah Fatwa Tidak Mengikat?
loading...
A
A
A
Sebaliknya, kitab yang kecil diberi syarah dan hasyiyah menjadi berjilid-jilid. Sampai pun tokoh ulama Indonesia, seperti Syeikh Mahfudh al-Tarmasi, dari Termas Jawa Timur, menulis hasyiyah “kitab Mauhibah” empat jilid, bahkan lima jilid (yang terakhir belum dicetak). Kedudukan kitab-kitab tersebut menjadi seperti periwayatan dalam Hadits/al-Sunnah.
Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah (periwayatan yang bersambung); bi al-sama' (mendengarkan pembacaan guru) kemudian bi al-qira'ah (pembacaan apa yang dituliskan di hadapan guru) dan lalu bi al-ijazah (pendelegasian), maka para ulama dalam menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi'i (atau panutan mazhabnya).
Jadi—sekali lagi—hal demikian itu harus dipahami secara tepat. Karena sejarah awal produksi dan kodifikasi hukum selalu di awali dari fatwa para ulama mazhab generasi awal. Kumpulan fatwa tersebut selanjutnya dikodifikasi oleh muridnya. Pendapat tersebut dikaji secara mendalam dan selalu dijadikan rujukan. Alhasil, pendapat sampai saat ini dijadikan landasan dasar hukum (jurisprudence) oleh para murid dan pengikutnya.
Keluar dari Fatwa Sebagai Jalan Keluar?
Menjalankan fatwa adalah wajib. Maka, jika tidak menjalankan fatwa akan terkena hukum taklif, yakni haram alias dosa. Jika tidak ingin melaksanakan fatwa, jalan keluarnya adalah keluar dari fatwa dengan mengikuti pendapat lain.
Hemat penulis, hal ini disamakan langkah perpindahan mazhab (intiqal al mazhab), jika mazhab satunya dirasa sulit dilaksanakan. Seperti halnya seorang yang melaksanakan ibadah haji.
baca juga: Fatwa MUI Harus Disikapi Rasional, Hindari Tindakan Intoleransi
Sejak mulai bepergian sampai tanah suci Makkah, akan ditemui kesulitan menjalankan ibadah wajib bagi pemeluk mazhab tertentu, misalkan mazhab Syafii. Mencermati waktu tempuh perjalanan dengan menggunakan pesawat selama 7-8 jam, sudah dipastikan akan ada beberapa kewajiban salat ditinggalkan. Sudah jamak diketahui bahwa dalam mazhab Syafii (misalnya) tidak sah salat di kendaraan yang sedang berjalan.
Tidak hanya itu, bahkan ketika bersuci pun, mazhab Syafii tidak mensahkan bertayammum dengan debu yang ada di dinding pesawat. Menurutnya, bertayamum harus menggunakan debu tanah langsung. Begitu pula sesampainya di tanah suci, ketika melakukan thawaf bersama pasangannya, tentu akan membatalkan thawafnya jika bergandengan terus karena tidak terhindar dari sentuhan kulit dengan lawan jenis.
Tentunya pelaksanaan ibadah menjadi sulit. Sebagian ulama menyelesaikan dengan talfiq, yakni mengambil pendapat yang relevan dan meringankan. Tapi, jumhur berpendapat bahwa talfiq itu haram, karena adanya kecenderungan dominasi hawa nafsu.
Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah (periwayatan yang bersambung); bi al-sama' (mendengarkan pembacaan guru) kemudian bi al-qira'ah (pembacaan apa yang dituliskan di hadapan guru) dan lalu bi al-ijazah (pendelegasian), maka para ulama dalam menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi'i (atau panutan mazhabnya).
Jadi—sekali lagi—hal demikian itu harus dipahami secara tepat. Karena sejarah awal produksi dan kodifikasi hukum selalu di awali dari fatwa para ulama mazhab generasi awal. Kumpulan fatwa tersebut selanjutnya dikodifikasi oleh muridnya. Pendapat tersebut dikaji secara mendalam dan selalu dijadikan rujukan. Alhasil, pendapat sampai saat ini dijadikan landasan dasar hukum (jurisprudence) oleh para murid dan pengikutnya.
Keluar dari Fatwa Sebagai Jalan Keluar?
Menjalankan fatwa adalah wajib. Maka, jika tidak menjalankan fatwa akan terkena hukum taklif, yakni haram alias dosa. Jika tidak ingin melaksanakan fatwa, jalan keluarnya adalah keluar dari fatwa dengan mengikuti pendapat lain.
Hemat penulis, hal ini disamakan langkah perpindahan mazhab (intiqal al mazhab), jika mazhab satunya dirasa sulit dilaksanakan. Seperti halnya seorang yang melaksanakan ibadah haji.
baca juga: Fatwa MUI Harus Disikapi Rasional, Hindari Tindakan Intoleransi
Sejak mulai bepergian sampai tanah suci Makkah, akan ditemui kesulitan menjalankan ibadah wajib bagi pemeluk mazhab tertentu, misalkan mazhab Syafii. Mencermati waktu tempuh perjalanan dengan menggunakan pesawat selama 7-8 jam, sudah dipastikan akan ada beberapa kewajiban salat ditinggalkan. Sudah jamak diketahui bahwa dalam mazhab Syafii (misalnya) tidak sah salat di kendaraan yang sedang berjalan.
Tidak hanya itu, bahkan ketika bersuci pun, mazhab Syafii tidak mensahkan bertayammum dengan debu yang ada di dinding pesawat. Menurutnya, bertayamum harus menggunakan debu tanah langsung. Begitu pula sesampainya di tanah suci, ketika melakukan thawaf bersama pasangannya, tentu akan membatalkan thawafnya jika bergandengan terus karena tidak terhindar dari sentuhan kulit dengan lawan jenis.
Tentunya pelaksanaan ibadah menjadi sulit. Sebagian ulama menyelesaikan dengan talfiq, yakni mengambil pendapat yang relevan dan meringankan. Tapi, jumhur berpendapat bahwa talfiq itu haram, karena adanya kecenderungan dominasi hawa nafsu.