IDI dan Lingkungan yang Sedang Berubah
loading...
A
A
A
Lain soal bila anak tersebut cukup beruntung, misalnya mendapatkan bantuan biaya pendidikan (bea siswa) barulah peluang itu terbuka. Setidaknya bea siswa tersebut dapat membantu meringankan beban orang tuanya.
Mimpi untuk menamatkan sekolahnya sampai menjadi dokter pun terbuka, asalkan dia tetap belajar secara bersungguh-sungguh. Sayangnya bantuan bea siswa semacam itu tidak banyak.
Hal yang sama untuk pelayanan kedokteran juga berubah. Pelayanan kedokteran berbasis teknologi tinggi dengan beperalatan canggih membuat biaya pelayanan menjadi mahal. Akibatnya pun sama dengan pendidikan.
Hanya mereka yang memiliki dana cukup yang berhak memperoleh pelayanan dengan teknologi mutakhir. Kecuali bila penduduk tersebut telah menjadi peserta aktif jaminan sosial kesehatan (JKN) atau asuransi kesehatan lain. Dengan menjadi peserta JKN atau asuransi kesehatan maka biaya yang mahal tersebut menjadi tanggungan JKN atau asuransi kesehatan.
Kini pendidikan dan pelayanan kedokteran/kesehatan telah berubah. Jika dulu kita mengenal pendidikan dan pelayanan kedokteran menganut mazhab sosial, namun pada beberapa dekade terakhir ini telah bergeser dan dikendalikan oleh mazhab liberalisme (pasar bebas).
Indonesia yang sejatinya menganut mazhab sosialisme religius, berdasarkan Pancasila dengan sila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Indonesia” pun menjadi serba salah. Mestinya pemerintah tidak membiarkan liberalisasi kedokteran dan situasi serba salah tersebut berjalan tak terkendali.
Mungkin kita perlu sedikit merenungkan pesan Bung Karno bahwa, “Usaha mencapai keadilan dan kesejahteraan tidak boleh dipercayakan kepada pasar bebas, yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan kolonialisme tersebut. Pasar bebas kata Bung Karno adalah perpanjangan tangan dari individualisme-kapitalisme.”
Bung Karno juga menegaskan, “Kemerdekaan Indonesia pada hakikatnya merupakan protes keras yang maha hebat kepada dasar individualisme dan kapitalisme”. Masyarakat yang hendak kita akan tuju dengan kemerdekaan itu adalah masyarakat sosialis ala Indonesia atau masyarakat sosialisme Indonesia, yakni “Masyarakat Adil Makmur Berdasarkan Pancasila”.
Lingkungan lain yang dihadapi IDI adalah lahirnya UU Omnibus Kesehatan No 17/2023, yang memperkuat liberalisasi pelayanan kesehatan dan menjadikannya sebagai industri. Hal ini tentu berpengaruh kepada praktik dokter anggota IDI. Posisi dokter anggota IDI mau tak mau harus diposisikan atau memosisikan diri sebagai pihak pekerja atau penerima kerja.
Dokter anggota IDI akan berhadapan dengan fasyankes terutama rumah sakit sebagai industri pemberi kerja. Pada sisi yang berbeda dokter anggota IDI ingin berpraktik di suatu rumah sakit ia harus melamar sebagaimana lazimnya pencari kerja dengan melampirkan berbagai persyaratan yang dibuat oleh pimpinan rumah sakit/pemilik rumah sakit.
Mimpi untuk menamatkan sekolahnya sampai menjadi dokter pun terbuka, asalkan dia tetap belajar secara bersungguh-sungguh. Sayangnya bantuan bea siswa semacam itu tidak banyak.
Hal yang sama untuk pelayanan kedokteran juga berubah. Pelayanan kedokteran berbasis teknologi tinggi dengan beperalatan canggih membuat biaya pelayanan menjadi mahal. Akibatnya pun sama dengan pendidikan.
Hanya mereka yang memiliki dana cukup yang berhak memperoleh pelayanan dengan teknologi mutakhir. Kecuali bila penduduk tersebut telah menjadi peserta aktif jaminan sosial kesehatan (JKN) atau asuransi kesehatan lain. Dengan menjadi peserta JKN atau asuransi kesehatan maka biaya yang mahal tersebut menjadi tanggungan JKN atau asuransi kesehatan.
Kini pendidikan dan pelayanan kedokteran/kesehatan telah berubah. Jika dulu kita mengenal pendidikan dan pelayanan kedokteran menganut mazhab sosial, namun pada beberapa dekade terakhir ini telah bergeser dan dikendalikan oleh mazhab liberalisme (pasar bebas).
Indonesia yang sejatinya menganut mazhab sosialisme religius, berdasarkan Pancasila dengan sila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Indonesia” pun menjadi serba salah. Mestinya pemerintah tidak membiarkan liberalisasi kedokteran dan situasi serba salah tersebut berjalan tak terkendali.
Mungkin kita perlu sedikit merenungkan pesan Bung Karno bahwa, “Usaha mencapai keadilan dan kesejahteraan tidak boleh dipercayakan kepada pasar bebas, yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan kolonialisme tersebut. Pasar bebas kata Bung Karno adalah perpanjangan tangan dari individualisme-kapitalisme.”
Bung Karno juga menegaskan, “Kemerdekaan Indonesia pada hakikatnya merupakan protes keras yang maha hebat kepada dasar individualisme dan kapitalisme”. Masyarakat yang hendak kita akan tuju dengan kemerdekaan itu adalah masyarakat sosialis ala Indonesia atau masyarakat sosialisme Indonesia, yakni “Masyarakat Adil Makmur Berdasarkan Pancasila”.
Lingkungan lain yang dihadapi IDI adalah lahirnya UU Omnibus Kesehatan No 17/2023, yang memperkuat liberalisasi pelayanan kesehatan dan menjadikannya sebagai industri. Hal ini tentu berpengaruh kepada praktik dokter anggota IDI. Posisi dokter anggota IDI mau tak mau harus diposisikan atau memosisikan diri sebagai pihak pekerja atau penerima kerja.
Dokter anggota IDI akan berhadapan dengan fasyankes terutama rumah sakit sebagai industri pemberi kerja. Pada sisi yang berbeda dokter anggota IDI ingin berpraktik di suatu rumah sakit ia harus melamar sebagaimana lazimnya pencari kerja dengan melampirkan berbagai persyaratan yang dibuat oleh pimpinan rumah sakit/pemilik rumah sakit.