Menjaga Kesucian MK setelah Sanksi Ringan Majelis Kehormatan  

Senin, 27 Maret 2023 - 10:59 WIB
loading...
Menjaga Kesucian MK setelah Sanksi Ringan Majelis Kehormatan   
Ahmad Zairudin. FOTO/DOK SINDO
A A A
Ahmad Zairudin
Dosen Hukum Tata Negara dan
Peneliti Pusat Kajian dan Konsultasi HukumUniversitas Nurul Jadid

Usaha untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) perlu dibangun kembali, pascaputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang hanya memberikan teguran tertulis atau sanksi ringan kepada terduga pengubah putusan MK.

Padahal, pelanggaran etik yang melibatkan hakim konstitusi ini dapat merusak citra baik MK. Bahkan, banyak kalangan menilai MKMK tidak obyektif dalam menangani kasus ini. Ada juga anggapan MK tidak netral, karena para anggota MKMK adalah mereka yang pernah aktif sebelumnya menjadi hakim MK yakni I Dewa Gede Palguna dan Eny Nurbainingsih.


Dikutip dari situs resmi MK, MKMK telah memutus Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah sebagai hakim terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip integritas. Atas pelanggaran tersebut, M Guntur Hamzah dikenakan sanksi teguran tertulis sebagai hakim terduga.

Dalam kesimpulan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna, Majelis Kehormatan MK menemukan fakta bahwa benar telah terjadi perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 bertanggal 23 November 2022.

Perubahan tersebut menjadi sebab terjadinya perbedaan antara bunyi naskahputusan yang diucapkan atau dibacakan dalam sidang pengucapan putusan tanggal 23 November 2022 dan yang tertera dalam laman Mahkamah Konstitusi yang ditandatangani oleh sembilan orang hakim konstitusi. di Ruang Sidang Panel Gedung 1 MK. (Senin,mkri.id, 20/3/2023).

Memang dalam perjalannnya MK sebagai lembagathe guardian of the constitution, danto interpreter of constitutionyang bersifat merdeka dan imparsial dalam menjalankan tugasnya. Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 telah mengamanatkan MK sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang berwenang menegakkan supremasi konstitusi yang berkeadilan dan menjalankan prinsip negara hukum.

MK dibentuk dengan tujuan agar ada sebuah lembaga yang berkompeten menyelesaikan perkara-perkara terkait konstitusionalitas penyelenggaraan negara dan masalah-masalah ketatanegaraan di Indonesia.

Oleh karena itu, Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian dan tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, berkepribadian luhur, yang mematuhi kode etik dan kode perilaku hakim. Karena hakim yang berintegritas dan bermartabat akan menghasilkan putusan yang berkeadilan, dapat dipertanggung jawabkan dihadapan tuhan YME, Negara dan masyarakat.

Namun kenyataannya tidak demikian, MK yang pernah digambarkan oleh Mahfud MD sebagai salah satu institusi hakim yang bersih, kini harus berjibaku keluar dari berbagai macam rentetan masalah, mulai dari kasus korupsi para hakimnya seperti Aqil Mochtar, Patrialis Akbar, kontroversi pencopotan Aswanto, terbaru adalah lemahnya Integritas Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.

Miris sebenarnya ketika menelisik kembali hasil temuan MKMK yang memutuskan M Guntur Hamzah hanya mendapat teguran tertulis atau sanksi ringan. Padahal Majelis Kehormatan MK juga mengungkapkan hal-hal yang memberatkan dari yang bersangkutan. Di antaranya perbuatan hakim terduga dilakukan dalam suasana ketika publik belum reda dalam memperdebatkan mengenai isu keabsahan pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dan pengangkatan hakim terduga sebagai penggantinya.

Sementara itu, bagian dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 yang frasanya diubah adalah bagian pertimbangan hukum dengan perdebatan tersebut. Sehingga perbuatan M Guntur Hamzah sebagai hakim terduga mengubah frasa tersebut ditengarai sebagai upaya menyelamatkan diri sendiri dari praduga ketidakabsahan pengangkatannya sebagai hakim konstitusi.

Hal yang memberatkan lainnya yakni sebagai hakim baru, hakim terduga seharusnya menanyakan terlebih dahulu perihal prosedur yang harus ditempuh manakala hendak mengusulkan perubahan terhadap naskah putusan yang sedang dibacakan. Penulis menilai bahwa M Guntur Hamzah seakan telah melampaui kewenangan hakim konstitusi lainnya.

Seharusnya, dengan hal-hal yang memberatkan tersebut Putusan MKMK Nomor 1/MKMK/T/02/2023 memberikan hukuman berat berupa pemecatan atau pemecatan secara tidak hormat, karena perbuatannya selain telah mencoreng nama baik MK juga tidak seharusnya dan tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang hakim konstitusi.

Perlu Dikaji Ulang
Keberadaan MKMK menuai banyak krtitik dan keraguan, selain karena putusan terhadap M Guntur Hamzah yang dirasa janggal. Publik masih belum percaya sepenuhnya, bahwa MKMK akan bekerja maksimal untuk mengawasi dan memberikan sanksi berat bagi hakim konstitusi yang nantinya terlibat melakukan pelanggaran kode etik hakim.

Kejadian di atas tentu akan memantik perlunya mengkaji ulang sistem pengawasan di tubuh MK, selain sebagaichecks and balanceakibat dari konsekuensi ajaranseparation of powerataudistribution of poweryang dianut dalam sistem ketatanegaraan. Di samping itu, juga untuk menghindari otonomi yang tinggi dan tidak terbatas terhadap kedudukan hakim.

Hakim konstitusi tidak bisa dibiarkan bebas menjalankan kekuasaan yudisialnya tanpa kontrol atau penyeimbang dari luar sehingga dapat melahirkan absolutisme dan tirani yudisial. Pengawasan tiada lain untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan di tubuh hakim konstitusi.

Menurut ahli hukum Jimly Asshidiqie, hubungan antarlembaga negara dalam doktrinseparation of powerdiikat dengan prinsipchecks and balances, di mana lembaga-lembaga tersebut memiliki kedudukan sederajat atau sejajar, tetapi saling mengendalikan atau mengawasi antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain.

Namun, kenyataan pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/IV-2006 yang telah mengeliminasi kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi perilaku hakim konstitusi, Pengawasan yang dilakukan oleh KY dinilai bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan MK sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat independensi dan imparsialitas.

Paulus E Lotulung, 2003, mengatakan bahwa perlunya indepedensi tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari indepedensi selalu harus ada akuntablitas dan tanggung jawab untuk mencegah ketidakadilan.

Institusi kehakiman akan mendapatkan kepercayaan masyarakat apabila mampu menjalankan dua langkah yang saling terkait erat, pengeloaan administrasi dan pengawasan (kontrol dari luar).

Beberapa persoalan yang menimpa MK bisa jadi karena memang lemahnya sistem kontrol dan lemahnya sistem pengawasan, sehingga mendesak untuk segera dibenahi.

Rekonstruksi kembali sistem pengawasan hakim konstitusi bisa dijadikan jalan alternatif, bahwa pengawasan terhadap MK harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan kembali pengawasan dari unsur eksternal, seperti yang pernah dilakukan oleh KY.

Selain adanya perbaikan pengawasan dalam hakim konstitusi, ke depannya perlu upaya penguatan integritas dengan menanamkan pola pembinaan calon hakim. Integritas harus diwujudkan melalui sikap batin yang mencerminkan ketuhanan dan keseimbangan kepribadian seperti, (sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya) disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya.

Kita bisabelajar dari Inggris, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat di mana masa jabatan hakim adalahduring good behavior(selama bertingkah laku baik) sampai dengan batasan usia tertentu. Jika ada hakim yang berperilaku menyimpang sekecil apapun, maka segera diberhentikan tanpa menunggu usianya tua atau pensiun,(Allan Fatchan Gani Wardana, 2018).

Dengan alasan apapun apa yang telah dilakukan oleh hakim konstitusi M Guntur Hamzah tidak dapat dibenarkan, perbuatan yang demikian tidak boleh lagi dipertontonkan oleh seorang Hakim Konstitusi. Kita harus mendorong, selain integritas, budaya malu dan mengakui kesalahan harus dimiki oleh para hakim kita.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2283 seconds (0.1#10.140)