Penataan Regulasi Pasca-Omnibus Law
loading...
A
A
A
Regulasi yang terus lahir tidak terlepas dari perkembangan fungsi negara ke arah model zerzorgingsstaat(negara pengurus). Dalam bahasa Tim Koopmans, pemikir besar dalam sejarah keilmuan hukum Belanda dan Eropa, fungsi pembentuk undang-undang dalam model negara pengurus harus melakukan modifikasi yakni menentukan arah perubahan di berbagai bidang (Koopmans, 1970).
Dalam tradisi hukum sipil, kondisi ini sudah pasti melahirkan banyak sekali peraturan tertulis untuk mengatur berbagai urusan. Dihimpun dari dataperaturan.go.id(23/2), jumlah peraturan menteri yang pernah diberlakukan telah mencapai 18.284.
Instrumen Non-Regulasi
Kondisi pandemi dan momentum pengadopsianomnibus lawcipta kerja dapat menjadi pelajaran untuk mengontrol budaya serba regulasi yang selama ini sangat mendominasi dalam kebijakan publik.
Sejak pandemi melanda, justru instrumen non-regulasi seperti instruksi, surat edaran, maklumat, dan instrumen non-regulasi lainnya yang banyak digunakan untuk mengatur publik. Meskipun instrumen non-regulasi memiliki daya laku dan daya ikat yang tidak penuh, tidak imperatif, dan tidak berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman, namun terbukti selama pandemi relatif dipatuhi masyarakat.
Pada tingkat peraturan pelaksanaan seperti di level kementerian/lembaga, pengaturan norma yang bersumber dari atribusi/delegasi dan memuat pembebanan kewajiban, larangan yang dapat berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman tetap harus dilakukan dengan peraturan menteri.
Sementara norma yang berbentuk petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, maupun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang memiliki lingkup pengaturan terbatas dan tidak berimplikasi pada sanksi, dapat diatur dengan instrumen peraturan kebijakan atau sering disebut juga legislasi semu. Peraturan kebijakan ini pada dasarnya bersumber dari penggunaan asasfreies ermessen, yakni kebebasan bertindak pejabat administrasi negara.
Analisis Regulasi
Pemberlakuan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebenarnya telah mempertegas perlunya analisis sebelum pembentukan suatu peraturan perundang-undangan melalui metode sepertiRegulatory Impact Analysis(RIA).
Metode ini sebenarnya dapat menilai instrumen pengaturan yang tepat dan lebih efektif di antara peraturan, peraturan kebijakan, keputusan maupun opsi lain. Analis hukum yang telah diberikan peran dalam UU P3, dapat ikut menilai urgensi pengaturan suatu kebijakan kedalam instrumen yang tepat.
Pada akhir 2019, Pemerintah sebenarnya telah mendorong perlunya efisiensi regulasi dan menjadikan praktiktwo for one ruledi Amerika Serikat sebagai model, yakni pemberlakuan satu peraturan menteri mengharuskan pencabutan dua permen.
Di beberapa negara lain yang memiliki kontrol regulasi yang ketat, juga memberlakukansunset clausedalam regulasi yang dibentuk.Brian Baugus and Feler Bose mengartikannya sebagai keharusan setiap peraturan untuk memuat klausul batas pemberlakuan. Di beberapa negara, batas pemberlakuan suatu peraturan berkisar antara empat hingga dua belas tahun (Baugus & Bose, 2018).
Dalam tradisi hukum sipil, kondisi ini sudah pasti melahirkan banyak sekali peraturan tertulis untuk mengatur berbagai urusan. Dihimpun dari dataperaturan.go.id(23/2), jumlah peraturan menteri yang pernah diberlakukan telah mencapai 18.284.
Instrumen Non-Regulasi
Kondisi pandemi dan momentum pengadopsianomnibus lawcipta kerja dapat menjadi pelajaran untuk mengontrol budaya serba regulasi yang selama ini sangat mendominasi dalam kebijakan publik.
Sejak pandemi melanda, justru instrumen non-regulasi seperti instruksi, surat edaran, maklumat, dan instrumen non-regulasi lainnya yang banyak digunakan untuk mengatur publik. Meskipun instrumen non-regulasi memiliki daya laku dan daya ikat yang tidak penuh, tidak imperatif, dan tidak berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman, namun terbukti selama pandemi relatif dipatuhi masyarakat.
Pada tingkat peraturan pelaksanaan seperti di level kementerian/lembaga, pengaturan norma yang bersumber dari atribusi/delegasi dan memuat pembebanan kewajiban, larangan yang dapat berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman tetap harus dilakukan dengan peraturan menteri.
Sementara norma yang berbentuk petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, maupun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang memiliki lingkup pengaturan terbatas dan tidak berimplikasi pada sanksi, dapat diatur dengan instrumen peraturan kebijakan atau sering disebut juga legislasi semu. Peraturan kebijakan ini pada dasarnya bersumber dari penggunaan asasfreies ermessen, yakni kebebasan bertindak pejabat administrasi negara.
Analisis Regulasi
Pemberlakuan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebenarnya telah mempertegas perlunya analisis sebelum pembentukan suatu peraturan perundang-undangan melalui metode sepertiRegulatory Impact Analysis(RIA).
Metode ini sebenarnya dapat menilai instrumen pengaturan yang tepat dan lebih efektif di antara peraturan, peraturan kebijakan, keputusan maupun opsi lain. Analis hukum yang telah diberikan peran dalam UU P3, dapat ikut menilai urgensi pengaturan suatu kebijakan kedalam instrumen yang tepat.
Pada akhir 2019, Pemerintah sebenarnya telah mendorong perlunya efisiensi regulasi dan menjadikan praktiktwo for one ruledi Amerika Serikat sebagai model, yakni pemberlakuan satu peraturan menteri mengharuskan pencabutan dua permen.
Di beberapa negara lain yang memiliki kontrol regulasi yang ketat, juga memberlakukansunset clausedalam regulasi yang dibentuk.Brian Baugus and Feler Bose mengartikannya sebagai keharusan setiap peraturan untuk memuat klausul batas pemberlakuan. Di beberapa negara, batas pemberlakuan suatu peraturan berkisar antara empat hingga dua belas tahun (Baugus & Bose, 2018).