Penataan Regulasi Pasca-Omnibus Law
loading...
A
A
A
Aji Kurnia Dermawan
Aparatur Sipil Negara Biro Hukum Kementerian Pertanian
Menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum
di Universitas Padjadjaran
Salah satu alasan (ratio legis) pengadopsian metode omnibus law dalam pembentukan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (Dicabut dengan Perppu No. 2/2022) yakni urgensi untuk melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan berusaha.
Beleid ini dikeluarkan untuk menyelesaikan panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih, dan banyaknya regulasi yang tidak harmonis di Pusat dan daerah (hyper-regulation) (Naskah Akademis RUU Cipta Kerja, hlm. 23).
Hyper-regulationdi tingkat peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut dari banyaknya undang-undang dalam bahasa Petra Mahy dari Department of Business Law & Taxation, Monash University, Australia telah menyebabkan“the site of bureaucratic power struggles and infighting” (Mahy, 2022). Suatu kalimat yang lebih sarkastis dibanding ungkapan “ego-sektoral” yang selama ini sering digunakan beberapa pihak.
Barbara L Sinclair dalam literatur lama yang ditulisnya telah menyebut undang-undangomnibus lawsebagai, “Legislation that addresses numerous and not necessarily related subjects, issues, and programs-and therefore is usually highly complex and long” (Sinclair, 2016).
Kajian komparatifomnibus lawyang dilakukan oleh Ittai Bar-Siman-Tov juga mengkonfirmasi bahwa praktik di banyak negara, metode ini dipakai untuk mengesahkan perubahan berbagai undang-undang dalam satu naskah melalui proses yang cepat (Bar-Siman-Tov, 2021). Batasan ini telah lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwaomnibus lawsengaja dipilih untuk melakukan simplifikasi akibat disharmoni regulasi di banyak sektor.
Regulasi Berkualitas
Alasan pembentukan undang-undangomnibus lawuntuk melakukan deregulasi multisektoral pada dasarnya mengandung benang merah mengenai pentingnya pembentukan regulasi yang efektif dan berkualitas. Regulasi yang berkualitas dalam tulisan Ronan Cormacain, peneliti Bingham Centre for the Rule of Law, London, UK merupakan konsekuensi bagi setiap negara yang berkomitmen pada demokrasi, hak asasi manusia, danrule of law(Drinóczi & Cormacain, 2021).
Sebagai negara yang memiliki komitmen yang sama, Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam penataan regulasi. Sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundangan bahkan telah ditetapkan sejak berlakunya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
TAP MPRS tersebut merupakan awal mula negara mengadopsi teori hierarki norma hukum(stufenbau theory) hasil pemikiran Merkl dan Kelsen. TAP MPRS mengeksplisitkan pemikiran Kelsen dengan menyebut, “setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.”
Indonesia yang mewarisi tradisicivil lawselama ini menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai primadona dalam mengatur kepentingan publik. Bahkan, pemikiran Roscoe Pound mengenai“law as a tool of social engineering”yang sebenarnya menitikberatkan putusan peradilan sebagai alat perubahan perilaku sesuai dengan tradisianglo saxonyang dianut, di Indonesia justu kerap dimaknai berbeda yakni menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai sarana utama untuk pembaharuan masyarakat. Pemikiran Pound mengalami re-interpretasi dengan tradisicivil lawdi Indonesia yang sangat bergantung pada sumber hukum tertulis berupa peraturan.
Regulasi yang terus lahir tidak terlepas dari perkembangan fungsi negara ke arah model zerzorgingsstaat(negara pengurus). Dalam bahasa Tim Koopmans, pemikir besar dalam sejarah keilmuan hukum Belanda dan Eropa, fungsi pembentuk undang-undang dalam model negara pengurus harus melakukan modifikasi yakni menentukan arah perubahan di berbagai bidang (Koopmans, 1970).
Dalam tradisi hukum sipil, kondisi ini sudah pasti melahirkan banyak sekali peraturan tertulis untuk mengatur berbagai urusan. Dihimpun dari dataperaturan.go.id(23/2), jumlah peraturan menteri yang pernah diberlakukan telah mencapai 18.284.
Instrumen Non-Regulasi
Kondisi pandemi dan momentum pengadopsianomnibus lawcipta kerja dapat menjadi pelajaran untuk mengontrol budaya serba regulasi yang selama ini sangat mendominasi dalam kebijakan publik.
Sejak pandemi melanda, justru instrumen non-regulasi seperti instruksi, surat edaran, maklumat, dan instrumen non-regulasi lainnya yang banyak digunakan untuk mengatur publik. Meskipun instrumen non-regulasi memiliki daya laku dan daya ikat yang tidak penuh, tidak imperatif, dan tidak berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman, namun terbukti selama pandemi relatif dipatuhi masyarakat.
Pada tingkat peraturan pelaksanaan seperti di level kementerian/lembaga, pengaturan norma yang bersumber dari atribusi/delegasi dan memuat pembebanan kewajiban, larangan yang dapat berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman tetap harus dilakukan dengan peraturan menteri.
Sementara norma yang berbentuk petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, maupun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang memiliki lingkup pengaturan terbatas dan tidak berimplikasi pada sanksi, dapat diatur dengan instrumen peraturan kebijakan atau sering disebut juga legislasi semu. Peraturan kebijakan ini pada dasarnya bersumber dari penggunaan asasfreies ermessen, yakni kebebasan bertindak pejabat administrasi negara.
Analisis Regulasi
Pemberlakuan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebenarnya telah mempertegas perlunya analisis sebelum pembentukan suatu peraturan perundang-undangan melalui metode sepertiRegulatory Impact Analysis(RIA).
Metode ini sebenarnya dapat menilai instrumen pengaturan yang tepat dan lebih efektif di antara peraturan, peraturan kebijakan, keputusan maupun opsi lain. Analis hukum yang telah diberikan peran dalam UU P3, dapat ikut menilai urgensi pengaturan suatu kebijakan kedalam instrumen yang tepat.
Pada akhir 2019, Pemerintah sebenarnya telah mendorong perlunya efisiensi regulasi dan menjadikan praktiktwo for one ruledi Amerika Serikat sebagai model, yakni pemberlakuan satu peraturan menteri mengharuskan pencabutan dua permen.
Di beberapa negara lain yang memiliki kontrol regulasi yang ketat, juga memberlakukansunset clausedalam regulasi yang dibentuk.Brian Baugus and Feler Bose mengartikannya sebagai keharusan setiap peraturan untuk memuat klausul batas pemberlakuan. Di beberapa negara, batas pemberlakuan suatu peraturan berkisar antara empat hingga dua belas tahun (Baugus & Bose, 2018).
Kebijakansunset clausesebenarnya dimaksudkan untuk meninjau kembali apakah suatu regulasi tertentu masih memiliki relevansi untuk diberlakukan atau tidak. Dalam konteks ini, peran analis hukum sekali lagi menjadi sangat relevan untuk melakukanex-post evaluation.
Tímea Drinóczi, seorang peneliti yang aktif melakukan studi praktik konstitusi dan legislasi di beberapa negara eropa membawa pesan penting mengenai korelasi regulasi berkualitas dengan komitmen pemangku kebijakan terhadap demokrasi dan supremasi hukum. Dalam kerangka sistem demokrasi, regulasi yang berkualitas menuntut perencanaan yang baik, konsultasi, dan penilaian dampak yang efektif (Drinóczi, 2015).
Pemikiran Drinóczi ini mengingatkan kita sekali lagi untuk menimbang kembali budaya serba regulasi dan secara selektif membuka ruang yang lebih luas bagi instrumen non-regulasi tentu dengan tetap memperhatikan batasan yang ada.
Di atas itu semua, setiap instrumen pengaturan yang digunakan tetap harus dapat diuji sebagai bentuk akuntabilitas publik baik secara hukum maupun kemanfaatannya. Berbagai upaya di atas semoga dapat menjadi jalan untuk menyelesaikan bebanhyper-regulationyang kerap diperbincangkan namun pada saat yang sama regulasi baru terus lahir.
Aparatur Sipil Negara Biro Hukum Kementerian Pertanian
Menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum
di Universitas Padjadjaran
Salah satu alasan (ratio legis) pengadopsian metode omnibus law dalam pembentukan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (Dicabut dengan Perppu No. 2/2022) yakni urgensi untuk melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan berusaha.
Beleid ini dikeluarkan untuk menyelesaikan panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih, dan banyaknya regulasi yang tidak harmonis di Pusat dan daerah (hyper-regulation) (Naskah Akademis RUU Cipta Kerja, hlm. 23).
Hyper-regulationdi tingkat peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut dari banyaknya undang-undang dalam bahasa Petra Mahy dari Department of Business Law & Taxation, Monash University, Australia telah menyebabkan“the site of bureaucratic power struggles and infighting” (Mahy, 2022). Suatu kalimat yang lebih sarkastis dibanding ungkapan “ego-sektoral” yang selama ini sering digunakan beberapa pihak.
Barbara L Sinclair dalam literatur lama yang ditulisnya telah menyebut undang-undangomnibus lawsebagai, “Legislation that addresses numerous and not necessarily related subjects, issues, and programs-and therefore is usually highly complex and long” (Sinclair, 2016).
Kajian komparatifomnibus lawyang dilakukan oleh Ittai Bar-Siman-Tov juga mengkonfirmasi bahwa praktik di banyak negara, metode ini dipakai untuk mengesahkan perubahan berbagai undang-undang dalam satu naskah melalui proses yang cepat (Bar-Siman-Tov, 2021). Batasan ini telah lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwaomnibus lawsengaja dipilih untuk melakukan simplifikasi akibat disharmoni regulasi di banyak sektor.
Regulasi Berkualitas
Alasan pembentukan undang-undangomnibus lawuntuk melakukan deregulasi multisektoral pada dasarnya mengandung benang merah mengenai pentingnya pembentukan regulasi yang efektif dan berkualitas. Regulasi yang berkualitas dalam tulisan Ronan Cormacain, peneliti Bingham Centre for the Rule of Law, London, UK merupakan konsekuensi bagi setiap negara yang berkomitmen pada demokrasi, hak asasi manusia, danrule of law(Drinóczi & Cormacain, 2021).
Sebagai negara yang memiliki komitmen yang sama, Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam penataan regulasi. Sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundangan bahkan telah ditetapkan sejak berlakunya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
TAP MPRS tersebut merupakan awal mula negara mengadopsi teori hierarki norma hukum(stufenbau theory) hasil pemikiran Merkl dan Kelsen. TAP MPRS mengeksplisitkan pemikiran Kelsen dengan menyebut, “setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.”
Indonesia yang mewarisi tradisicivil lawselama ini menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai primadona dalam mengatur kepentingan publik. Bahkan, pemikiran Roscoe Pound mengenai“law as a tool of social engineering”yang sebenarnya menitikberatkan putusan peradilan sebagai alat perubahan perilaku sesuai dengan tradisianglo saxonyang dianut, di Indonesia justu kerap dimaknai berbeda yakni menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai sarana utama untuk pembaharuan masyarakat. Pemikiran Pound mengalami re-interpretasi dengan tradisicivil lawdi Indonesia yang sangat bergantung pada sumber hukum tertulis berupa peraturan.
Regulasi yang terus lahir tidak terlepas dari perkembangan fungsi negara ke arah model zerzorgingsstaat(negara pengurus). Dalam bahasa Tim Koopmans, pemikir besar dalam sejarah keilmuan hukum Belanda dan Eropa, fungsi pembentuk undang-undang dalam model negara pengurus harus melakukan modifikasi yakni menentukan arah perubahan di berbagai bidang (Koopmans, 1970).
Dalam tradisi hukum sipil, kondisi ini sudah pasti melahirkan banyak sekali peraturan tertulis untuk mengatur berbagai urusan. Dihimpun dari dataperaturan.go.id(23/2), jumlah peraturan menteri yang pernah diberlakukan telah mencapai 18.284.
Instrumen Non-Regulasi
Kondisi pandemi dan momentum pengadopsianomnibus lawcipta kerja dapat menjadi pelajaran untuk mengontrol budaya serba regulasi yang selama ini sangat mendominasi dalam kebijakan publik.
Sejak pandemi melanda, justru instrumen non-regulasi seperti instruksi, surat edaran, maklumat, dan instrumen non-regulasi lainnya yang banyak digunakan untuk mengatur publik. Meskipun instrumen non-regulasi memiliki daya laku dan daya ikat yang tidak penuh, tidak imperatif, dan tidak berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman, namun terbukti selama pandemi relatif dipatuhi masyarakat.
Pada tingkat peraturan pelaksanaan seperti di level kementerian/lembaga, pengaturan norma yang bersumber dari atribusi/delegasi dan memuat pembebanan kewajiban, larangan yang dapat berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman tetap harus dilakukan dengan peraturan menteri.
Sementara norma yang berbentuk petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, maupun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang memiliki lingkup pengaturan terbatas dan tidak berimplikasi pada sanksi, dapat diatur dengan instrumen peraturan kebijakan atau sering disebut juga legislasi semu. Peraturan kebijakan ini pada dasarnya bersumber dari penggunaan asasfreies ermessen, yakni kebebasan bertindak pejabat administrasi negara.
Analisis Regulasi
Pemberlakuan UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebenarnya telah mempertegas perlunya analisis sebelum pembentukan suatu peraturan perundang-undangan melalui metode sepertiRegulatory Impact Analysis(RIA).
Metode ini sebenarnya dapat menilai instrumen pengaturan yang tepat dan lebih efektif di antara peraturan, peraturan kebijakan, keputusan maupun opsi lain. Analis hukum yang telah diberikan peran dalam UU P3, dapat ikut menilai urgensi pengaturan suatu kebijakan kedalam instrumen yang tepat.
Pada akhir 2019, Pemerintah sebenarnya telah mendorong perlunya efisiensi regulasi dan menjadikan praktiktwo for one ruledi Amerika Serikat sebagai model, yakni pemberlakuan satu peraturan menteri mengharuskan pencabutan dua permen.
Di beberapa negara lain yang memiliki kontrol regulasi yang ketat, juga memberlakukansunset clausedalam regulasi yang dibentuk.Brian Baugus and Feler Bose mengartikannya sebagai keharusan setiap peraturan untuk memuat klausul batas pemberlakuan. Di beberapa negara, batas pemberlakuan suatu peraturan berkisar antara empat hingga dua belas tahun (Baugus & Bose, 2018).
Kebijakansunset clausesebenarnya dimaksudkan untuk meninjau kembali apakah suatu regulasi tertentu masih memiliki relevansi untuk diberlakukan atau tidak. Dalam konteks ini, peran analis hukum sekali lagi menjadi sangat relevan untuk melakukanex-post evaluation.
Tímea Drinóczi, seorang peneliti yang aktif melakukan studi praktik konstitusi dan legislasi di beberapa negara eropa membawa pesan penting mengenai korelasi regulasi berkualitas dengan komitmen pemangku kebijakan terhadap demokrasi dan supremasi hukum. Dalam kerangka sistem demokrasi, regulasi yang berkualitas menuntut perencanaan yang baik, konsultasi, dan penilaian dampak yang efektif (Drinóczi, 2015).
Pemikiran Drinóczi ini mengingatkan kita sekali lagi untuk menimbang kembali budaya serba regulasi dan secara selektif membuka ruang yang lebih luas bagi instrumen non-regulasi tentu dengan tetap memperhatikan batasan yang ada.
Di atas itu semua, setiap instrumen pengaturan yang digunakan tetap harus dapat diuji sebagai bentuk akuntabilitas publik baik secara hukum maupun kemanfaatannya. Berbagai upaya di atas semoga dapat menjadi jalan untuk menyelesaikan bebanhyper-regulationyang kerap diperbincangkan namun pada saat yang sama regulasi baru terus lahir.
(ynt)