Tiada Hari Tanpa (Urusan) Sepakbola
loading...
A
A
A
Kedua, PSSI tak boleh secara eksklusif dalam menangani sepakbola nasional. Di luar langkah memfokusan kinerja PSSI, terdapat peran pentahelix sepakbola yang wajib dimainkan perannya dalam proses transformasi.
Dari aspek regulasi, pemerintah sebagai helix birokrat telah menunjukkan langkah yang sangat serius, terutama dengan telah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.
Sebuah instruksi dari Kepala Pemerintah sekaligus Kepala Negara, bahwa sepakbola kini menjadi urusan setidaknya 12 Kementerian, Kapolri, 34 gubernur, dan sekitar 500-an bupati/wali kota seluruh Indonesia. Sebuah “formula” sangat dahsyat berenergi untuk mengakselerasi sepakbola di masa depan.
Ketiga, menghindari pengulangan trauma buruk sejarah kepengurusan PSSI. Trauma sejarah kepengurusan PSSI terutama terjadi pada 2014-2015. Perseteruan terburuk dalam sejarah saat itu adalah "perang besar" antara waketum PSSI dengan pemerintah.
PSSI sebagai induk organisasi cabang olahraga (IOCO) merasa memiliki posisi yang sangat kuat dan bersikukuh sebagai "anak kandung FIFA". PSSI menganggap pemerintah terlalu jauh mencampuri urusan internal PSSI. Pemerintah saat itu membentuk tim normalisasasi yakni Tim Sembilan dan terpaksa membekukan PSSI.
Kata kuncinya adalah disharmonisasi merupakan virus berbahaya yang harus ditangkal dalam transformasi PSSI ke depan. Apakah kesediaan Menpora jadi waketum PSSI kali ini terdorong oleh trauma sejarah itu? Kita tidak tahu persis yang sebenarnya, karena berbicara transformasi sepakbola memang sah-sah saja jika penetrasi politis ditempuh, apalagi sekarang ini memang tahun politik.
Keempat, menekan peluang terjadinya “blunder” tata kelola PSSI karena potensi conflict of interest. Terlepas dari adanya pro-kontra yang tajam, kehadiran setidaknya dua menteri aktif dalam kepengurusan PSSI perlu diapresiasi. Satu hal yang memang perlu diperhatikan adalah Menpora yang duduk di posisi waketum PSSI.
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, terdapat beberapa pasal krusial pengelolaan keolahragaan yang sangat terang-benderang dan dapat digaris-bawahi, terutama Pasal 33 (1) Pengelolaan Keolahragaan merupakan tanggung jawab Menteri; Pasal 36 (3) Induk Organisasi Cabang Olahraga bersifat mandiri dan dikelola secara profesional oleh pengurus yang memiliki kompetensi Keolahragaan; dan Pasal 36 (6) Pemerintah Pusat memberikan bantuan pendanaan kepada Induk Organisasi Cabang Olahraga yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang prioritas cabang olahraganya ditetapkan dalam desain besar olahraga nasional.
Jika sepakbola memang bukan olahraga yang biasa, maka ke depan diperlukan transformasi yang secara efektif menghadirkan solusi baru yang sesuai. Tanpa transformasi, maka masalah kepengurusan sepakbola nasional akan menghasilkan persoalan yang “cuma” berdaur ulang dan terus “bereinkarnasi” dalam hiruk-pikuk.
Terdapat berbagai karakteristik unik kepengurusan PSSI selama ini yang menjadi titik tumpu sukses bertransformasi. Mengurus sepakbola yang transformatif artinya membangun PSSI sebagai “mesin pengolah” yang adaptif dan solutif untuk mewujudkan marwah sepakabola nasional.
Dari aspek regulasi, pemerintah sebagai helix birokrat telah menunjukkan langkah yang sangat serius, terutama dengan telah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.
Sebuah instruksi dari Kepala Pemerintah sekaligus Kepala Negara, bahwa sepakbola kini menjadi urusan setidaknya 12 Kementerian, Kapolri, 34 gubernur, dan sekitar 500-an bupati/wali kota seluruh Indonesia. Sebuah “formula” sangat dahsyat berenergi untuk mengakselerasi sepakbola di masa depan.
Ketiga, menghindari pengulangan trauma buruk sejarah kepengurusan PSSI. Trauma sejarah kepengurusan PSSI terutama terjadi pada 2014-2015. Perseteruan terburuk dalam sejarah saat itu adalah "perang besar" antara waketum PSSI dengan pemerintah.
PSSI sebagai induk organisasi cabang olahraga (IOCO) merasa memiliki posisi yang sangat kuat dan bersikukuh sebagai "anak kandung FIFA". PSSI menganggap pemerintah terlalu jauh mencampuri urusan internal PSSI. Pemerintah saat itu membentuk tim normalisasasi yakni Tim Sembilan dan terpaksa membekukan PSSI.
Kata kuncinya adalah disharmonisasi merupakan virus berbahaya yang harus ditangkal dalam transformasi PSSI ke depan. Apakah kesediaan Menpora jadi waketum PSSI kali ini terdorong oleh trauma sejarah itu? Kita tidak tahu persis yang sebenarnya, karena berbicara transformasi sepakbola memang sah-sah saja jika penetrasi politis ditempuh, apalagi sekarang ini memang tahun politik.
Keempat, menekan peluang terjadinya “blunder” tata kelola PSSI karena potensi conflict of interest. Terlepas dari adanya pro-kontra yang tajam, kehadiran setidaknya dua menteri aktif dalam kepengurusan PSSI perlu diapresiasi. Satu hal yang memang perlu diperhatikan adalah Menpora yang duduk di posisi waketum PSSI.
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, terdapat beberapa pasal krusial pengelolaan keolahragaan yang sangat terang-benderang dan dapat digaris-bawahi, terutama Pasal 33 (1) Pengelolaan Keolahragaan merupakan tanggung jawab Menteri; Pasal 36 (3) Induk Organisasi Cabang Olahraga bersifat mandiri dan dikelola secara profesional oleh pengurus yang memiliki kompetensi Keolahragaan; dan Pasal 36 (6) Pemerintah Pusat memberikan bantuan pendanaan kepada Induk Organisasi Cabang Olahraga yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang prioritas cabang olahraganya ditetapkan dalam desain besar olahraga nasional.
Jika sepakbola memang bukan olahraga yang biasa, maka ke depan diperlukan transformasi yang secara efektif menghadirkan solusi baru yang sesuai. Tanpa transformasi, maka masalah kepengurusan sepakbola nasional akan menghasilkan persoalan yang “cuma” berdaur ulang dan terus “bereinkarnasi” dalam hiruk-pikuk.
Terdapat berbagai karakteristik unik kepengurusan PSSI selama ini yang menjadi titik tumpu sukses bertransformasi. Mengurus sepakbola yang transformatif artinya membangun PSSI sebagai “mesin pengolah” yang adaptif dan solutif untuk mewujudkan marwah sepakabola nasional.