Tiada Hari Tanpa (Urusan) Sepakbola
loading...
A
A
A
Agus Kristiyanto
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta; Tim Penyusun Grand Design Pembangunan Olahraga Prestasi Nasional 2021-2036 KONI Pusat
PAMEO “tiada hari tanpa olahraga” sudah menjadi pemahaman umum masyarakat dunia. Pameo tersebut menjelaskan bahwa olahraga sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Olahraga bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari “napas kehidupan” yang kemudian mengejawantah dalam filosofi “olahraga untuk semua” (sport for all) yang telah mengglobal.
Baca Juga: koran-sindo.com
Olahraga bukan sebatas menunjuk pada aktivitas fisik yang bermanfaat untuk nilai badaniah secara an sich, melainkan berkontribusi besar sebagai instrumen untuk membangun kejayaan dan kesejahteraan bangsa.
Dimensi kejayaan berhubungan dengan nilai-nilai kebanggaan (pride) melalui torehan capaian prestasi, sedangkan dimensi kesejahteraan berisi kandungan manfaat kesehatan, perdamaian, dan kemakmuran.
Belakangan ini pameo tersebut seolah tenggelam oleh kemunculan pameo baru “ tiada hari tanpa (urusan) sepakbola”. Publik Tanah Air semakin gandrung kepada sepakbola, pada saat bersamaan muncul berbagai kejutan-kejutan dalam aspek lain sepakbola.
Kejutan sepakbola bertambah seru dengan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang menghasilkan keputusan terpilihnya Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI periode 2023-2027. Titik kejutnya semakin menguat pada kemunculan Menpora Zainudin Amali yang terpilih sebagai Wakil Ketua Umum (Waketum) PSSI. Berkiprahnya dua orang menteri aktif dalam kepengurusan inti PSSI, menunjukkan betapa sepakbola memang bukan olahraga biasa.
Bukan Olahraga Biasa
Sepakbola setiap tahunnya menyedat perhatian publik di seantero jagat. Mencatat kecenderungan popularitasnya yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan tercatat cabang olahraga yang paling banyak penggemarnya.
Sepakbola memang bukan olahraga biasa. Ada sejumlah alasan. Pertama, dalam buku berjudul : “Drama itu Bernama Sepakbola” karya Arif Natakusumah disebutkan, “bahwa masyarakat jurnalis olahraga di Eropa lebih mengenal negara kecil seperti Pantai Gading, Trinidad & Tobago daripada negara yang besar tetapi namanya tidak tercatat sebagai sebuah tim yang masuk di ajang Piala Dunia”.
Betapa prestasi sepakbola yang mengantarkan pada keikutsertaan dalam Piala Dunia itu juga dapat mengajarkan pemahaman geografi kepada masyarakat dunia secara efektif.
Kedua, sepakbola memiliki kandungan terlengkap sebagai cabang olahraga yang memenuhi unsur tontonan dan tuntunan. Sebagai tontonan, sepakbola bersifat atraktif dan berisi aneka manuver para pemainnya yang indah dan serba tak terduga.
Sepakbola sungguh sesuatu yang sangat menghibur sehingga wajar bila lebih dari 50% (bahkan beberapa sumber ada yang mengklaim 70%) penduduk bumi menggemarinya.
Sebagai tuntunan, sepakbola merepresentasikan miniatur kehidupan. Jika pendeteksian kualitas disiplin suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana masyarakatnya berdisiplin di jalan raya, maka karakter sebuah bangsa konon dapat terlihat dari bagaimana tipe karakter kesebelasan terbaik yang berhasil dibentuknya.
Ketiga, sepakbola memiliki fungsi pemantik semangat bagi setiap bangsa untuk mengembangkan kedahsyatan prestasi dan daya saing. Hal ini sangat relevan dengan bangsa-bangsa yang memiliki modalitas man power yang besar seperti Indonesia.
Keempat, merupakan cabang olahraga penyempurna atas capaian prestasi cabang olahraga lain di ajang olahraga multi-event. Di samping memiliki agenda rutin tahunan dalam single event, sepakbola juga selalu menjadi salah satu cabang olahraga yang dihadirkan pada multi-event. Walaupun tidak boleh ada diskriminasi kecabangan olahraga, namun faktanya sepakbola menjadi cabang olahraga yang seolah memiliki “kasta” tersendiri.
Kelima, memiliki pesona “keseksian” secara ekonomi dan politis. Sepakbola di dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) tidak termasuk dalam 14 cabang olahraga prioritas. Tidak masuk prioritas bukan berarti tidak penting. Justru sepakbola bersama cabang olahraga bolabasket dan bolavoli, telah dinobatkan sebagai klaster “cabang olahraga mandiri” yang bisa tumbuh sebagai leading sector untuk implementasi sport industry.
Telah banyak dibuktikan di Eropa terutama, sepakbola memang sudah menjadi sebentuk industri raksasa yang menggurita mengikat kepentingan umum dan kesejahteraan kolektif yang sistemik. Bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak dan menjadi instrumen perwujudan aspirasi tuntutan publik. Artinya, sepakbola tidak saja memiliki keseksian secara ekonomi, tetapi juga pasti secara politis.
Transformasi Sepakbola Nasional
Pertama, transformasi sepakbola berarti mengubah sudut pandang tata kelola sepakbola nasional. Dalam catatan sejarah kepengurusan PSSI acapkali mengalami dinamika yang “selalu memanas”.
Lembaran perjalanan pada 2011 misalnya, kala itu PSSI lebih nyaman kiprahnya memosisikan diri sebagai anak FIFA, mengalami persoalan tata kelola internal, dan muncul dualisme kepengurusan. Seiring dengan semakin terdegrasinya prestasi sepakbola nasional, PSSI harus dibekukan oleh pemerintah.
Kedua, PSSI tak boleh secara eksklusif dalam menangani sepakbola nasional. Di luar langkah memfokusan kinerja PSSI, terdapat peran pentahelix sepakbola yang wajib dimainkan perannya dalam proses transformasi.
Dari aspek regulasi, pemerintah sebagai helix birokrat telah menunjukkan langkah yang sangat serius, terutama dengan telah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.
Sebuah instruksi dari Kepala Pemerintah sekaligus Kepala Negara, bahwa sepakbola kini menjadi urusan setidaknya 12 Kementerian, Kapolri, 34 gubernur, dan sekitar 500-an bupati/wali kota seluruh Indonesia. Sebuah “formula” sangat dahsyat berenergi untuk mengakselerasi sepakbola di masa depan.
Ketiga, menghindari pengulangan trauma buruk sejarah kepengurusan PSSI. Trauma sejarah kepengurusan PSSI terutama terjadi pada 2014-2015. Perseteruan terburuk dalam sejarah saat itu adalah "perang besar" antara waketum PSSI dengan pemerintah.
PSSI sebagai induk organisasi cabang olahraga (IOCO) merasa memiliki posisi yang sangat kuat dan bersikukuh sebagai "anak kandung FIFA". PSSI menganggap pemerintah terlalu jauh mencampuri urusan internal PSSI. Pemerintah saat itu membentuk tim normalisasasi yakni Tim Sembilan dan terpaksa membekukan PSSI.
Kata kuncinya adalah disharmonisasi merupakan virus berbahaya yang harus ditangkal dalam transformasi PSSI ke depan. Apakah kesediaan Menpora jadi waketum PSSI kali ini terdorong oleh trauma sejarah itu? Kita tidak tahu persis yang sebenarnya, karena berbicara transformasi sepakbola memang sah-sah saja jika penetrasi politis ditempuh, apalagi sekarang ini memang tahun politik.
Keempat, menekan peluang terjadinya “blunder” tata kelola PSSI karena potensi conflict of interest. Terlepas dari adanya pro-kontra yang tajam, kehadiran setidaknya dua menteri aktif dalam kepengurusan PSSI perlu diapresiasi. Satu hal yang memang perlu diperhatikan adalah Menpora yang duduk di posisi waketum PSSI.
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, terdapat beberapa pasal krusial pengelolaan keolahragaan yang sangat terang-benderang dan dapat digaris-bawahi, terutama Pasal 33 (1) Pengelolaan Keolahragaan merupakan tanggung jawab Menteri; Pasal 36 (3) Induk Organisasi Cabang Olahraga bersifat mandiri dan dikelola secara profesional oleh pengurus yang memiliki kompetensi Keolahragaan; dan Pasal 36 (6) Pemerintah Pusat memberikan bantuan pendanaan kepada Induk Organisasi Cabang Olahraga yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang prioritas cabang olahraganya ditetapkan dalam desain besar olahraga nasional.
Jika sepakbola memang bukan olahraga yang biasa, maka ke depan diperlukan transformasi yang secara efektif menghadirkan solusi baru yang sesuai. Tanpa transformasi, maka masalah kepengurusan sepakbola nasional akan menghasilkan persoalan yang “cuma” berdaur ulang dan terus “bereinkarnasi” dalam hiruk-pikuk.
Terdapat berbagai karakteristik unik kepengurusan PSSI selama ini yang menjadi titik tumpu sukses bertransformasi. Mengurus sepakbola yang transformatif artinya membangun PSSI sebagai “mesin pengolah” yang adaptif dan solutif untuk mewujudkan marwah sepakabola nasional.
Sepakbola yang ramah secara kebangsaan dan tumbuh berkembang disegani dalam wujud capaian prestasi berkelas dunia. Selamat berkiprah dalam pembuktian transformatif untuk PSSI di bawah lokomotif Erick Thohir.
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta; Tim Penyusun Grand Design Pembangunan Olahraga Prestasi Nasional 2021-2036 KONI Pusat
PAMEO “tiada hari tanpa olahraga” sudah menjadi pemahaman umum masyarakat dunia. Pameo tersebut menjelaskan bahwa olahraga sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Olahraga bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari “napas kehidupan” yang kemudian mengejawantah dalam filosofi “olahraga untuk semua” (sport for all) yang telah mengglobal.
Baca Juga: koran-sindo.com
Olahraga bukan sebatas menunjuk pada aktivitas fisik yang bermanfaat untuk nilai badaniah secara an sich, melainkan berkontribusi besar sebagai instrumen untuk membangun kejayaan dan kesejahteraan bangsa.
Dimensi kejayaan berhubungan dengan nilai-nilai kebanggaan (pride) melalui torehan capaian prestasi, sedangkan dimensi kesejahteraan berisi kandungan manfaat kesehatan, perdamaian, dan kemakmuran.
Belakangan ini pameo tersebut seolah tenggelam oleh kemunculan pameo baru “ tiada hari tanpa (urusan) sepakbola”. Publik Tanah Air semakin gandrung kepada sepakbola, pada saat bersamaan muncul berbagai kejutan-kejutan dalam aspek lain sepakbola.
Kejutan sepakbola bertambah seru dengan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang menghasilkan keputusan terpilihnya Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI periode 2023-2027. Titik kejutnya semakin menguat pada kemunculan Menpora Zainudin Amali yang terpilih sebagai Wakil Ketua Umum (Waketum) PSSI. Berkiprahnya dua orang menteri aktif dalam kepengurusan inti PSSI, menunjukkan betapa sepakbola memang bukan olahraga biasa.
Bukan Olahraga Biasa
Sepakbola setiap tahunnya menyedat perhatian publik di seantero jagat. Mencatat kecenderungan popularitasnya yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan tercatat cabang olahraga yang paling banyak penggemarnya.
Sepakbola memang bukan olahraga biasa. Ada sejumlah alasan. Pertama, dalam buku berjudul : “Drama itu Bernama Sepakbola” karya Arif Natakusumah disebutkan, “bahwa masyarakat jurnalis olahraga di Eropa lebih mengenal negara kecil seperti Pantai Gading, Trinidad & Tobago daripada negara yang besar tetapi namanya tidak tercatat sebagai sebuah tim yang masuk di ajang Piala Dunia”.
Betapa prestasi sepakbola yang mengantarkan pada keikutsertaan dalam Piala Dunia itu juga dapat mengajarkan pemahaman geografi kepada masyarakat dunia secara efektif.
Kedua, sepakbola memiliki kandungan terlengkap sebagai cabang olahraga yang memenuhi unsur tontonan dan tuntunan. Sebagai tontonan, sepakbola bersifat atraktif dan berisi aneka manuver para pemainnya yang indah dan serba tak terduga.
Sepakbola sungguh sesuatu yang sangat menghibur sehingga wajar bila lebih dari 50% (bahkan beberapa sumber ada yang mengklaim 70%) penduduk bumi menggemarinya.
Sebagai tuntunan, sepakbola merepresentasikan miniatur kehidupan. Jika pendeteksian kualitas disiplin suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana masyarakatnya berdisiplin di jalan raya, maka karakter sebuah bangsa konon dapat terlihat dari bagaimana tipe karakter kesebelasan terbaik yang berhasil dibentuknya.
Ketiga, sepakbola memiliki fungsi pemantik semangat bagi setiap bangsa untuk mengembangkan kedahsyatan prestasi dan daya saing. Hal ini sangat relevan dengan bangsa-bangsa yang memiliki modalitas man power yang besar seperti Indonesia.
Keempat, merupakan cabang olahraga penyempurna atas capaian prestasi cabang olahraga lain di ajang olahraga multi-event. Di samping memiliki agenda rutin tahunan dalam single event, sepakbola juga selalu menjadi salah satu cabang olahraga yang dihadirkan pada multi-event. Walaupun tidak boleh ada diskriminasi kecabangan olahraga, namun faktanya sepakbola menjadi cabang olahraga yang seolah memiliki “kasta” tersendiri.
Kelima, memiliki pesona “keseksian” secara ekonomi dan politis. Sepakbola di dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) tidak termasuk dalam 14 cabang olahraga prioritas. Tidak masuk prioritas bukan berarti tidak penting. Justru sepakbola bersama cabang olahraga bolabasket dan bolavoli, telah dinobatkan sebagai klaster “cabang olahraga mandiri” yang bisa tumbuh sebagai leading sector untuk implementasi sport industry.
Telah banyak dibuktikan di Eropa terutama, sepakbola memang sudah menjadi sebentuk industri raksasa yang menggurita mengikat kepentingan umum dan kesejahteraan kolektif yang sistemik. Bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak dan menjadi instrumen perwujudan aspirasi tuntutan publik. Artinya, sepakbola tidak saja memiliki keseksian secara ekonomi, tetapi juga pasti secara politis.
Transformasi Sepakbola Nasional
Pertama, transformasi sepakbola berarti mengubah sudut pandang tata kelola sepakbola nasional. Dalam catatan sejarah kepengurusan PSSI acapkali mengalami dinamika yang “selalu memanas”.
Lembaran perjalanan pada 2011 misalnya, kala itu PSSI lebih nyaman kiprahnya memosisikan diri sebagai anak FIFA, mengalami persoalan tata kelola internal, dan muncul dualisme kepengurusan. Seiring dengan semakin terdegrasinya prestasi sepakbola nasional, PSSI harus dibekukan oleh pemerintah.
Kedua, PSSI tak boleh secara eksklusif dalam menangani sepakbola nasional. Di luar langkah memfokusan kinerja PSSI, terdapat peran pentahelix sepakbola yang wajib dimainkan perannya dalam proses transformasi.
Dari aspek regulasi, pemerintah sebagai helix birokrat telah menunjukkan langkah yang sangat serius, terutama dengan telah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.
Sebuah instruksi dari Kepala Pemerintah sekaligus Kepala Negara, bahwa sepakbola kini menjadi urusan setidaknya 12 Kementerian, Kapolri, 34 gubernur, dan sekitar 500-an bupati/wali kota seluruh Indonesia. Sebuah “formula” sangat dahsyat berenergi untuk mengakselerasi sepakbola di masa depan.
Ketiga, menghindari pengulangan trauma buruk sejarah kepengurusan PSSI. Trauma sejarah kepengurusan PSSI terutama terjadi pada 2014-2015. Perseteruan terburuk dalam sejarah saat itu adalah "perang besar" antara waketum PSSI dengan pemerintah.
PSSI sebagai induk organisasi cabang olahraga (IOCO) merasa memiliki posisi yang sangat kuat dan bersikukuh sebagai "anak kandung FIFA". PSSI menganggap pemerintah terlalu jauh mencampuri urusan internal PSSI. Pemerintah saat itu membentuk tim normalisasasi yakni Tim Sembilan dan terpaksa membekukan PSSI.
Kata kuncinya adalah disharmonisasi merupakan virus berbahaya yang harus ditangkal dalam transformasi PSSI ke depan. Apakah kesediaan Menpora jadi waketum PSSI kali ini terdorong oleh trauma sejarah itu? Kita tidak tahu persis yang sebenarnya, karena berbicara transformasi sepakbola memang sah-sah saja jika penetrasi politis ditempuh, apalagi sekarang ini memang tahun politik.
Keempat, menekan peluang terjadinya “blunder” tata kelola PSSI karena potensi conflict of interest. Terlepas dari adanya pro-kontra yang tajam, kehadiran setidaknya dua menteri aktif dalam kepengurusan PSSI perlu diapresiasi. Satu hal yang memang perlu diperhatikan adalah Menpora yang duduk di posisi waketum PSSI.
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, terdapat beberapa pasal krusial pengelolaan keolahragaan yang sangat terang-benderang dan dapat digaris-bawahi, terutama Pasal 33 (1) Pengelolaan Keolahragaan merupakan tanggung jawab Menteri; Pasal 36 (3) Induk Organisasi Cabang Olahraga bersifat mandiri dan dikelola secara profesional oleh pengurus yang memiliki kompetensi Keolahragaan; dan Pasal 36 (6) Pemerintah Pusat memberikan bantuan pendanaan kepada Induk Organisasi Cabang Olahraga yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang prioritas cabang olahraganya ditetapkan dalam desain besar olahraga nasional.
Jika sepakbola memang bukan olahraga yang biasa, maka ke depan diperlukan transformasi yang secara efektif menghadirkan solusi baru yang sesuai. Tanpa transformasi, maka masalah kepengurusan sepakbola nasional akan menghasilkan persoalan yang “cuma” berdaur ulang dan terus “bereinkarnasi” dalam hiruk-pikuk.
Terdapat berbagai karakteristik unik kepengurusan PSSI selama ini yang menjadi titik tumpu sukses bertransformasi. Mengurus sepakbola yang transformatif artinya membangun PSSI sebagai “mesin pengolah” yang adaptif dan solutif untuk mewujudkan marwah sepakabola nasional.
Sepakbola yang ramah secara kebangsaan dan tumbuh berkembang disegani dalam wujud capaian prestasi berkelas dunia. Selamat berkiprah dalam pembuktian transformatif untuk PSSI di bawah lokomotif Erick Thohir.
(bmm)