Visi Nahdlatul Ulama Abad Kedua

Selasa, 21 Februari 2023 - 08:04 WIB
loading...
Visi Nahdlatul Ulama...
Hasibullah Satrawi. FOTO/DOK SINDO
A A A
Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tak ada kata yang bisa menggambarkan gegap-gempita resepsi Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) kecuali tingginya harapan dan kepercayaan umat terhadap organisasi sosial keagamaan ini (jamiyah diniyah ijtimaiyah), baik dalam konteks keumatan, kebangsaan ataupun dalam konteks kehidupan kemanusiaan secara global. Umat yang hadir secara langsung maupun secara virtual berharap agar NU di abad kedua tetap menjalankan perannya yang mulia dan strategis.

Dilihat dari semangat yang disampaikan oleh para tokoh NU dalam rangkaian acara resepsi Satu Abad NU, setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi Visi NU Abad Kedua.

Pertama, melakukan kampanye perdamaian global demi terciptanya kehidupan antarbangsa yang lebih setara dan saling menghormati dengan belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan. Pesan ini secara eksplisit dimuat dalam Piagam Deklarasi yang dibacakan oleh Gus Mus versi Bahasa Arab dan Yeny Wahid versi Bahasa Indonesia.

Visi ini selaras dengan perkembangan global mutakhir, khususnya pasca munculnya ISIS di Timur Tengah dan tetap berkecamuknya perang antara Rusia beserta para pendukungnya versus Ukraina beserta para pendukungnya.

Semua perkembangan ini menunjukkan, walaupun pelbagai negara di dunia telah menetapkan pilihan kenegaraannya secara final (bentuk negara, ideologi dan yang lainnya), hal ini tak menutup kemungkinan adanya kelompok tertentu di ranah global yang karena pembenaran tertentu memilih untuk menyerang negara lain.

Bahkan di masa seperti sekarang, masih ada negara seperti Palestina yang belum menikmati kemerdekaan sebagai hak segala bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Dalam konteks seperti ini, NU ke depan harus bekerja sama dengan elemen-elemen global untuk melakukan kampanye perdamaian demi terciptanya kehidupan antarbangsa yang lebih setara dengan belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan.

Secara konseptual, mengubah atau tidak mengubah sistem negara adalah hal yang sama-sama mungkin. Persoalannya, bukan terletak pada berubah atau tidaknya sebuah sistem negara, tapi dampak yang ditimbulkan oleh perubahan sistem negara. Yaitu, banyaknya para pihak yang bisa menjadi korban aksi kekerasan dari perubahan sistem yang ada. Inilah yang penulis maksud dengan istilah belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan.

Tidak ada perubahan sistem negara mana pun yang tidak menimbulkan korban. Sementara perubahan sistem sebuah negara pasti berdasarkan pembenaran tertentu. Oleh karenanya, yang harus diperhatikan oleh semua bukan terkait pembenaran dari perubahan sistem yang ada, tetapi seberapa banyak orang yang akan menjadi korban dari perubahan yang ada.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2308 seconds (0.1#10.140)