Visi Nahdlatul Ulama Abad Kedua
loading...
A
A
A
Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tak ada kata yang bisa menggambarkan gegap-gempita resepsi Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) kecuali tingginya harapan dan kepercayaan umat terhadap organisasi sosial keagamaan ini (jamiyah diniyah ijtimaiyah), baik dalam konteks keumatan, kebangsaan ataupun dalam konteks kehidupan kemanusiaan secara global. Umat yang hadir secara langsung maupun secara virtual berharap agar NU di abad kedua tetap menjalankan perannya yang mulia dan strategis.
Dilihat dari semangat yang disampaikan oleh para tokoh NU dalam rangkaian acara resepsi Satu Abad NU, setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi Visi NU Abad Kedua.
Pertama, melakukan kampanye perdamaian global demi terciptanya kehidupan antarbangsa yang lebih setara dan saling menghormati dengan belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan. Pesan ini secara eksplisit dimuat dalam Piagam Deklarasi yang dibacakan oleh Gus Mus versi Bahasa Arab dan Yeny Wahid versi Bahasa Indonesia.
Visi ini selaras dengan perkembangan global mutakhir, khususnya pasca munculnya ISIS di Timur Tengah dan tetap berkecamuknya perang antara Rusia beserta para pendukungnya versus Ukraina beserta para pendukungnya.
Semua perkembangan ini menunjukkan, walaupun pelbagai negara di dunia telah menetapkan pilihan kenegaraannya secara final (bentuk negara, ideologi dan yang lainnya), hal ini tak menutup kemungkinan adanya kelompok tertentu di ranah global yang karena pembenaran tertentu memilih untuk menyerang negara lain.
Bahkan di masa seperti sekarang, masih ada negara seperti Palestina yang belum menikmati kemerdekaan sebagai hak segala bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks seperti ini, NU ke depan harus bekerja sama dengan elemen-elemen global untuk melakukan kampanye perdamaian demi terciptanya kehidupan antarbangsa yang lebih setara dengan belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan.
Secara konseptual, mengubah atau tidak mengubah sistem negara adalah hal yang sama-sama mungkin. Persoalannya, bukan terletak pada berubah atau tidaknya sebuah sistem negara, tapi dampak yang ditimbulkan oleh perubahan sistem negara. Yaitu, banyaknya para pihak yang bisa menjadi korban aksi kekerasan dari perubahan sistem yang ada. Inilah yang penulis maksud dengan istilah belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan.
Tidak ada perubahan sistem negara mana pun yang tidak menimbulkan korban. Sementara perubahan sistem sebuah negara pasti berdasarkan pembenaran tertentu. Oleh karenanya, yang harus diperhatikan oleh semua bukan terkait pembenaran dari perubahan sistem yang ada, tetapi seberapa banyak orang yang akan menjadi korban dari perubahan yang ada.
Kedua, menjadi titik temu kebangsaan untuk menguatkan pilihan final kenegaraan dalam rangka menjadibaldatun thayyibatun wa robbun ghafur(negeri baik yang diampuni Allah) dengan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada abad pertama, NU telah berhasil menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan, termasuk menjadikan Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai pilihan final.
Walaupun masih ada elemen-elemen bangsa yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama, tetapi NU sejatinya tetap menjadi titik temu bagi para pihak, termasuk bagi mereka yang memiliki aspirasi negara agama itu sendiri.
Urgensi peran NU sebagai titik temu kebangsaan ini tidak hanya untuk terus memperbanyak pihak-pihak yang menerima NKRI sekaligus mengurangi yang menolak, tapi juga untuk menggugah kesadaran semua bahwa NKRI bukanlah tujuan final semata-semata, melainkan hanya sekadar tujuan antara. Sedangkan tujuan akhirnya tak lain adalahbaldatun thayyibatun wa robbun ghafurdengan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejauh ini terlalu banyak waktu dan energi yang dikeluarkan oleh banyak pihak hanya untuk berputar-putar di sekitar tujuan antara di atas. Sementara tujuan akhir dari kehidupan berbangsa dan bernegara acap diabaikan. Hingga Indonesia merdeka tidak kunjung sampai di tujuan akhir.
Ketiga, memaknai ulang keberpihakan terhadap umat melalui peran ulama. Dilihat dari sejarahnya, NU tidak terlepas dari dua kunci utama ini; keberpihakan terhadap umat melalui peran ulama.
Pada abad pertama, bersama-sama dengan elemen bangsa yang lain, NU telah berhasil mewujudkan cita-cita perjuangannya melalui peran dan perjuangan dari para ulama. Hingga Indonesia menjadi negara-bangsa merdeka dan masyarakatnya terbebas dari penjajahan.
Kini pada abad kedua, NU sejatinya memaknai ulang keberpihakan terhadap umat. Mengingat tantangan yang ada saat ini bukan lagi masalah penjajahan. Melainkan persoalan-persoalan internal seperti kemiskinan, keadilan sosial, pemerataan pembangunan dan yang lainnya.
Dalam hemat penulis, keberpihakan terhadap umat pada masa sekarang sejatinya hadir dalam bentuk yang paling nyata, seperti peningkatan taraf hidup masyarakat, kepastian dibelinya hasil panen rakyat, peningkatan hasil usaha, perlindungan terhadap hak milik, kepastian aturan bagi pekerja, upah yang layak, dan lainnya.
Sebagaimana pada abad pertama NU berjuang bersama elemen-elemen bangsa yang lain, pada abad kedua ini sejatinya NU memperjuangkan pemaknaan ulang atas keberpihakan terhadap umat secara bersama-sama dengan elemen bangsa yang lain.
Dalam konteks demokrasi, contohnya, kepentingan umat begitu indah dijadikan semboyan; dari rakyat untuk rakyat. Kenyataannya, rakyat acap tak bisa berbuat apa-apa ketika pemimpin hasil pilihannya tidak melakukan hal-hal konkret demi kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Sebaliknya, sebagian dari mereka justru mengorupsi dan mengambil hak rakyat secara batil. Kalaupun ada yang bisa dilakukan oleh umat atau rakyat, hal itu hanyalah hak pilih yang bersifat lima tahunan.
Oleh karenanya, sangat penting adanya perbaikan sistem demokrasi ke depan untuk memberikan “ruang hukuman” lebih kuat dan lebih cepat dari rakyat kepada para pemimpin pilihannya yang bekerja tidak sesuai kepentingan rakyat. Apakah akan menggunakan sistem pemilihan sela seperti diterapkan di sebagian negara maju atau sistem yang lain? Tentu harus menjadi kajian bersama ke depan.
Peran ke-ulama-an pada abad kedua ini tidak kalah menantang dibanding pemaknaan ulang keberpihakan terhadap umat. Dikatakan demikian karena di satu sisi, hubungan ulama dengan umat pada masa sekarang jauh berbeda dibanding dengan zaman NU abad pertama. Terutama di era keterbukaan informasi seperti sekarang yang tak jarang memberikan panggung ahli bagi siapa pun yang merasa ahli atau minimal bisa.
Sementara di sisi lain, peran ulama dan pesantren yang oleh Gus Dur disebut sebagai subkultur harus diperhatikan keberlangsungannya. Bila tidak, bukan hanya pesantren atau NU yang akan kehilangan hal yang sangat penting, melainkan juga Indonesia sebagai negara dan bangsa.
Inilah tiga visi yang sejatinya dijadikan sebagai garis besar haluan perjuangan NU di abad kedua ini. Dimulai dari kampanye perdamaian global untuk mempertahankan tatanan negara-bangsa dengan memperbaiki kekurangan, menjadi titik temu kebangsaan hingga penguatan kondisi riil masyarakat dan umat.
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tak ada kata yang bisa menggambarkan gegap-gempita resepsi Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) kecuali tingginya harapan dan kepercayaan umat terhadap organisasi sosial keagamaan ini (jamiyah diniyah ijtimaiyah), baik dalam konteks keumatan, kebangsaan ataupun dalam konteks kehidupan kemanusiaan secara global. Umat yang hadir secara langsung maupun secara virtual berharap agar NU di abad kedua tetap menjalankan perannya yang mulia dan strategis.
Dilihat dari semangat yang disampaikan oleh para tokoh NU dalam rangkaian acara resepsi Satu Abad NU, setidaknya ada tiga hal utama yang menjadi Visi NU Abad Kedua.
Pertama, melakukan kampanye perdamaian global demi terciptanya kehidupan antarbangsa yang lebih setara dan saling menghormati dengan belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan. Pesan ini secara eksplisit dimuat dalam Piagam Deklarasi yang dibacakan oleh Gus Mus versi Bahasa Arab dan Yeny Wahid versi Bahasa Indonesia.
Visi ini selaras dengan perkembangan global mutakhir, khususnya pasca munculnya ISIS di Timur Tengah dan tetap berkecamuknya perang antara Rusia beserta para pendukungnya versus Ukraina beserta para pendukungnya.
Semua perkembangan ini menunjukkan, walaupun pelbagai negara di dunia telah menetapkan pilihan kenegaraannya secara final (bentuk negara, ideologi dan yang lainnya), hal ini tak menutup kemungkinan adanya kelompok tertentu di ranah global yang karena pembenaran tertentu memilih untuk menyerang negara lain.
Bahkan di masa seperti sekarang, masih ada negara seperti Palestina yang belum menikmati kemerdekaan sebagai hak segala bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks seperti ini, NU ke depan harus bekerja sama dengan elemen-elemen global untuk melakukan kampanye perdamaian demi terciptanya kehidupan antarbangsa yang lebih setara dengan belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan.
Secara konseptual, mengubah atau tidak mengubah sistem negara adalah hal yang sama-sama mungkin. Persoalannya, bukan terletak pada berubah atau tidaknya sebuah sistem negara, tapi dampak yang ditimbulkan oleh perubahan sistem negara. Yaitu, banyaknya para pihak yang bisa menjadi korban aksi kekerasan dari perubahan sistem yang ada. Inilah yang penulis maksud dengan istilah belajar dari sejarah kekerasan yang bersifat kekuasaan.
Tidak ada perubahan sistem negara mana pun yang tidak menimbulkan korban. Sementara perubahan sistem sebuah negara pasti berdasarkan pembenaran tertentu. Oleh karenanya, yang harus diperhatikan oleh semua bukan terkait pembenaran dari perubahan sistem yang ada, tetapi seberapa banyak orang yang akan menjadi korban dari perubahan yang ada.
Kedua, menjadi titik temu kebangsaan untuk menguatkan pilihan final kenegaraan dalam rangka menjadibaldatun thayyibatun wa robbun ghafur(negeri baik yang diampuni Allah) dengan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada abad pertama, NU telah berhasil menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan, termasuk menjadikan Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai pilihan final.
Walaupun masih ada elemen-elemen bangsa yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama, tetapi NU sejatinya tetap menjadi titik temu bagi para pihak, termasuk bagi mereka yang memiliki aspirasi negara agama itu sendiri.
Urgensi peran NU sebagai titik temu kebangsaan ini tidak hanya untuk terus memperbanyak pihak-pihak yang menerima NKRI sekaligus mengurangi yang menolak, tapi juga untuk menggugah kesadaran semua bahwa NKRI bukanlah tujuan final semata-semata, melainkan hanya sekadar tujuan antara. Sedangkan tujuan akhirnya tak lain adalahbaldatun thayyibatun wa robbun ghafurdengan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejauh ini terlalu banyak waktu dan energi yang dikeluarkan oleh banyak pihak hanya untuk berputar-putar di sekitar tujuan antara di atas. Sementara tujuan akhir dari kehidupan berbangsa dan bernegara acap diabaikan. Hingga Indonesia merdeka tidak kunjung sampai di tujuan akhir.
Ketiga, memaknai ulang keberpihakan terhadap umat melalui peran ulama. Dilihat dari sejarahnya, NU tidak terlepas dari dua kunci utama ini; keberpihakan terhadap umat melalui peran ulama.
Pada abad pertama, bersama-sama dengan elemen bangsa yang lain, NU telah berhasil mewujudkan cita-cita perjuangannya melalui peran dan perjuangan dari para ulama. Hingga Indonesia menjadi negara-bangsa merdeka dan masyarakatnya terbebas dari penjajahan.
Kini pada abad kedua, NU sejatinya memaknai ulang keberpihakan terhadap umat. Mengingat tantangan yang ada saat ini bukan lagi masalah penjajahan. Melainkan persoalan-persoalan internal seperti kemiskinan, keadilan sosial, pemerataan pembangunan dan yang lainnya.
Dalam hemat penulis, keberpihakan terhadap umat pada masa sekarang sejatinya hadir dalam bentuk yang paling nyata, seperti peningkatan taraf hidup masyarakat, kepastian dibelinya hasil panen rakyat, peningkatan hasil usaha, perlindungan terhadap hak milik, kepastian aturan bagi pekerja, upah yang layak, dan lainnya.
Sebagaimana pada abad pertama NU berjuang bersama elemen-elemen bangsa yang lain, pada abad kedua ini sejatinya NU memperjuangkan pemaknaan ulang atas keberpihakan terhadap umat secara bersama-sama dengan elemen bangsa yang lain.
Dalam konteks demokrasi, contohnya, kepentingan umat begitu indah dijadikan semboyan; dari rakyat untuk rakyat. Kenyataannya, rakyat acap tak bisa berbuat apa-apa ketika pemimpin hasil pilihannya tidak melakukan hal-hal konkret demi kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Sebaliknya, sebagian dari mereka justru mengorupsi dan mengambil hak rakyat secara batil. Kalaupun ada yang bisa dilakukan oleh umat atau rakyat, hal itu hanyalah hak pilih yang bersifat lima tahunan.
Oleh karenanya, sangat penting adanya perbaikan sistem demokrasi ke depan untuk memberikan “ruang hukuman” lebih kuat dan lebih cepat dari rakyat kepada para pemimpin pilihannya yang bekerja tidak sesuai kepentingan rakyat. Apakah akan menggunakan sistem pemilihan sela seperti diterapkan di sebagian negara maju atau sistem yang lain? Tentu harus menjadi kajian bersama ke depan.
Peran ke-ulama-an pada abad kedua ini tidak kalah menantang dibanding pemaknaan ulang keberpihakan terhadap umat. Dikatakan demikian karena di satu sisi, hubungan ulama dengan umat pada masa sekarang jauh berbeda dibanding dengan zaman NU abad pertama. Terutama di era keterbukaan informasi seperti sekarang yang tak jarang memberikan panggung ahli bagi siapa pun yang merasa ahli atau minimal bisa.
Sementara di sisi lain, peran ulama dan pesantren yang oleh Gus Dur disebut sebagai subkultur harus diperhatikan keberlangsungannya. Bila tidak, bukan hanya pesantren atau NU yang akan kehilangan hal yang sangat penting, melainkan juga Indonesia sebagai negara dan bangsa.
Inilah tiga visi yang sejatinya dijadikan sebagai garis besar haluan perjuangan NU di abad kedua ini. Dimulai dari kampanye perdamaian global untuk mempertahankan tatanan negara-bangsa dengan memperbaiki kekurangan, menjadi titik temu kebangsaan hingga penguatan kondisi riil masyarakat dan umat.
(ynt)