MUI Larang Salam Lintas Agama, Ketum PBNU: Tidak Tepat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menegaskan klaim yang menyatakan semua salam termasuk dalam ibadah adalah tidak tepat. Menurutnya, salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ibadah formal.
“Karena ada klaim bahwa assalamualaikum adalah ibadah, maka diklaim salam yang lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu. Tanya teman-teman Kristen apakah salam sejahtera masuk dalam liturgi (peribadatan Kristen),” kata Gus Yahya dalam Halaqah Ulama yang diselenggarakan RMI PBNU, di Kantor PBNU Jakarta, Rabu (12/6/2024).
Halaqah tersebut menyikapi Fatwa MUI terkait ijtima ulama soal larangan salam lintas agama. Hadir sebagai narasumber halaqah tersebut Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) dan Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil).
Gus Yahya menilai, penggunaan salam dalam pidato atau pertemuan tidak selalu bermakna ibadah, melainkan bisa menjadi tanda kerukunan antarumat beragama. Gus Yahya menyebut, Paus tidak pernah membuka pidato pakai shalom begitu juga yang lain, makanya timbul pertanyaan, apakah ini mencampuradukkan ibadah atau tidak?.
“Saya ajukan pertanyaan, apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antarumat beragama?” tanya Gus Yahya.
Gus Yahya juga mengklarifikasi mengenai salam "Namo Buddhaya" yang sering dianggap sebagai ibadah dalam Buddhisme. Menurutnya, Buddhisme tidak mengenal konsep ibadah dalam pengertian teistik seperti dalam agama-agama lain. Meditasi adalah praktik utama dalam Buddhisme, bukan penyembahan kepada Siddhartha Gautama, yang hanya dianggap sebagai panutan.
“Jangan dikira orang Buddha menyembah Buddha, enggak. Buddha cuma pemikirannya dianggap panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau dianggap mencampuradukkan ibadah, ibadah apa yang dicampur?” tanyanya.
Gus Yahya juga menyoroti pentingnya perubahan mindset di kalangan ulama dan pemikir Islam soal lintas agama. Gus Yahya menilai sebagian besar fuqaha masih terpengaruh oleh mindset era Turki Utsmani dan belum sepenuhnya menginternalisasi konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Karena ada klaim bahwa assalamualaikum adalah ibadah, maka diklaim salam yang lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu. Tanya teman-teman Kristen apakah salam sejahtera masuk dalam liturgi (peribadatan Kristen),” kata Gus Yahya dalam Halaqah Ulama yang diselenggarakan RMI PBNU, di Kantor PBNU Jakarta, Rabu (12/6/2024).
Halaqah tersebut menyikapi Fatwa MUI terkait ijtima ulama soal larangan salam lintas agama. Hadir sebagai narasumber halaqah tersebut Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) dan Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil).
Gus Yahya menilai, penggunaan salam dalam pidato atau pertemuan tidak selalu bermakna ibadah, melainkan bisa menjadi tanda kerukunan antarumat beragama. Gus Yahya menyebut, Paus tidak pernah membuka pidato pakai shalom begitu juga yang lain, makanya timbul pertanyaan, apakah ini mencampuradukkan ibadah atau tidak?.
“Saya ajukan pertanyaan, apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antarumat beragama?” tanya Gus Yahya.
Gus Yahya juga mengklarifikasi mengenai salam "Namo Buddhaya" yang sering dianggap sebagai ibadah dalam Buddhisme. Menurutnya, Buddhisme tidak mengenal konsep ibadah dalam pengertian teistik seperti dalam agama-agama lain. Meditasi adalah praktik utama dalam Buddhisme, bukan penyembahan kepada Siddhartha Gautama, yang hanya dianggap sebagai panutan.
“Jangan dikira orang Buddha menyembah Buddha, enggak. Buddha cuma pemikirannya dianggap panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau dianggap mencampuradukkan ibadah, ibadah apa yang dicampur?” tanyanya.
Gus Yahya juga menyoroti pentingnya perubahan mindset di kalangan ulama dan pemikir Islam soal lintas agama. Gus Yahya menilai sebagian besar fuqaha masih terpengaruh oleh mindset era Turki Utsmani dan belum sepenuhnya menginternalisasi konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).