Belanda Sampaikan Maaf, HNW: Pelanggaran HAM Masa Kolonial Juga Perlu Dituntaskan
Kamis, 22 Desember 2022 - 09:17 WIB
HNW melihat, meskipun sebelumnya ada pengakuan secara de facto kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot pada 2005. Pengakuan tersebut hanya bersifat de facto, bukan de jure berdasarkan ketentuan hukum yang sah.
"Momentum ini perlu digunakan Kemlu untuk menuntut pengakuan secara de jure tersebut. Agar tidak hanya berkali-kali Belanda meminta maaf, tetapi tidak meminta maaf kepada Indonesia karena baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 secara de facto saja, belum mengakuinya secara de jure," jelas HNW.
Dia menuturkan, Kemlu perlu menyisir ulang terkait peristiwa pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya oleh Belanda pada periode kolonialisasi di Indonesia, dan mendiskusikan penyelesiannya atau reparasi dengan pihak Belanda.
Ia mencontohkan kasus pembantaian Rawagede oleh militer Belanda, dimana Pengadilan Belanda memutus bermasalah militer Belanda untuk membayar ganti rugi kepada korban 20 ribu euro (Rp 240 juta) untuk janda korban pembantaian Rawagede.
Kasus Rawagede ini lanjut HNW, tentunya hanya salah satu kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi oleh Belanda terhadap Indonesia. Ada banyak kasus sejenis lainnya, seperti pembantaian oleh Westerling di Sulawesi Selatan dengan jumlah korban yang sangat besar.
"Lalu, bagaimana permintaan maafnya atau bagaimana hak atas pemulihan dan reparasi langsung (direct reparations) bagi korban atau keluarganya yang masih hidup terhadap pelanggaran HAM tersebut. Bentuknya tentu tidak melulu berkaitan dengan uang, tetapi harus ada tindak lanjut lebih konkret agar permohonan maafnya betul-betul tulus dan serius yang akan bisa membuka lembar sejarah positif yang baru dalam hubungan yang bermartabat antara Belanda dan kawasan-kawasan bekas jajahannya termasuk Indonesia," pungkasnya.
"Momentum ini perlu digunakan Kemlu untuk menuntut pengakuan secara de jure tersebut. Agar tidak hanya berkali-kali Belanda meminta maaf, tetapi tidak meminta maaf kepada Indonesia karena baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 secara de facto saja, belum mengakuinya secara de jure," jelas HNW.
Dia menuturkan, Kemlu perlu menyisir ulang terkait peristiwa pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya oleh Belanda pada periode kolonialisasi di Indonesia, dan mendiskusikan penyelesiannya atau reparasi dengan pihak Belanda.
Ia mencontohkan kasus pembantaian Rawagede oleh militer Belanda, dimana Pengadilan Belanda memutus bermasalah militer Belanda untuk membayar ganti rugi kepada korban 20 ribu euro (Rp 240 juta) untuk janda korban pembantaian Rawagede.
Kasus Rawagede ini lanjut HNW, tentunya hanya salah satu kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi oleh Belanda terhadap Indonesia. Ada banyak kasus sejenis lainnya, seperti pembantaian oleh Westerling di Sulawesi Selatan dengan jumlah korban yang sangat besar.
"Lalu, bagaimana permintaan maafnya atau bagaimana hak atas pemulihan dan reparasi langsung (direct reparations) bagi korban atau keluarganya yang masih hidup terhadap pelanggaran HAM tersebut. Bentuknya tentu tidak melulu berkaitan dengan uang, tetapi harus ada tindak lanjut lebih konkret agar permohonan maafnya betul-betul tulus dan serius yang akan bisa membuka lembar sejarah positif yang baru dalam hubungan yang bermartabat antara Belanda dan kawasan-kawasan bekas jajahannya termasuk Indonesia," pungkasnya.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda