Koperasi Menghadapi Ancaman Risiko Hukum

Rabu, 08 Juli 2020 - 17:45 WIB
Saat ini sedang berkembang isu yang menjadi pergunjingan di kalangan regulator dan otoritas bahwa koperasi simpan pinjam (KSP) dan unit simpan pinjam (USP) melayani masyarakat yang bukan anggota koperasi, sehingga disinyalir ada pelanggaran terhadap Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Isu ini yang kemudian berkembang dan selalu mengarahkan pada setiap ada kasus gagal bayar koperasi untuk ditarik ke ranah pidana “penipuan atau penggelapan”, yang berujung pada “tidak kembalinya” dana miliki masyarakat dan berakhir pada menguapnya dana koperasi dengan jangka waktu yang tidak berujung?

Pengaturan dan regulasi di Indonesia, untuk layanan keuangan terutama penghimpunan dana di luar keanggotaan koperasi adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Perbankan No. 10/1998, pasal 46 ayat 1 jo pasal 16 ayat 1. Dalam rangka penegakan Undang-Undang tersebut OJK telah membentuk tim satgas investasi, surat keputusan satgas waspada investasi tersebut diperbarui melalui Keputusan Dewan Komisioner OJK No. 01/KDK.04/2013 tanggal 26 Juni 2013. Otoritas jasa keuangan (OJK) bersama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kejaksaan, Kepolisian RI, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepakat memperkuat kerjasama dalam satgas waspada investasi untuk mencegah dan menangani maraknya tawaran dan praktik investasi ilegal.

Pembentukan satgas investasi ini dibentuk di tiap-tiap wilayah di Indonesia yang dikoordinasi oleh kantor OJK wilayah masing-masing. Nota kesepakatan tentang Koordinasi Pencegahan dan Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi ditandatangani oleh pimpinan tujuh kementerian dan instansi. Kerja satgas investasi ini makin intensif melebih cara dan pola kerja deputi pengawasan dan satgas pengawasan koperasi. Satgas investasi ini konon sedang intensif memanggil para pengelola koperasi di daerah-daerah. Bagi Koperasi-koperasi kecil yang baru belajar berkoperasi tentunya kegiatan ini membuat mereka menjadi cukup traumatis, karena dipanggil pihak berwajib terlalu istimewa bagi mereka. Baru belajar berkoperasi dan belum sempat diajari cara berkoperasi yang benar, tiba-tiba di panggil pihak berwajib karena ditengarai melakukan tindakan illegal?

Saya kira cara-cara dan praktek penanganan terhadap lembaga yang berbadan hukum koperasi sebaiknya dilakukan oleh Kementerian Koperasi, bukan oleh pihak yang lain. Jika praktik handling problem perkoperasian seperti ini dibiarkan berjalan terus, maka masyarakat akan ketakutan untuk berkoperasi, bukannya memasyarakatkan “koperasi” namun sebaliknya akan membinasakan koperasi, sangat kontradiktif dengan visi dan misi Kementerian Koperasi itu sendiri yang ingin agar Koperasi Sehat Tangguh dan mandiri.

Permasalahan

Ada beberapa permasalahan yang saat ini sedang mengemuka. Kita dapat menelusuri dari dua sumber yaitu internal koperasi dan eksternal koperasi. Sumber risiko yang muncul dari dalam koperasi dapat ditemukan adanya tindakan beberapa oknum pengurus koperasi yang menyalahgunakan wewenang dan jabatan dalam Koperasi yang berakibat pada tindakan pelanggaran hukum (perdata/pidana) dan berlanjut pada proses litigasi yang berdampak pada kerugian dana masyarakat dan berpotensi risiko reputasi pada industri koperasi simpan pinjam secara keseluruhan. Sumber internal lainnya adalah praktek berkoperasi yang tidak berorientasi pada sistem keanggotaan, praktek ini memunculkan potensi risiko hukum bagi para praktisi Koperasi itu sendiri.

Sumber risiko selanjutnya adalah adanya kecenderungan pelaporan koperasi yang tertutup yang mengakibatkan adanya kecurigaan dari stakeholder (regulator dan Kelembagaan/Kementerian) terhadap praktek Koperasi dewasa ini, sehingga ada dorongan regulator untuk memberlakukan pengetatan dan pengaturan di bidang usaha simpan pinjam yang cenderung makin kaku dan melibatkan unsur pengawasan eksternal lainnya (OJK/POLRI/Kejaksaan/ dan lain-lain).

Permasalahan yang bersumber eksternal dapat diidentifikasi dari adanya tindakan oknum pejabat yang berpotensi pada pencemaran nama baik “koperasi” yang dapat memicu pada dampak risiko sistemik di lingkungan koperasi simpan pinjam. Terakhir, adanya masalah “gap” antara kapasitas pejabat pengawas koperasi dengan obyek yang diawasinya sendiri. Kompleksitas koperasi simpan pinjam yang sudah terlanjur besar melebihi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan instrumen dan metodologi pengawasan ala LSM sudah terlalu jauh tertinggal, sehingga sulit bicara tentang mitigasi risiko, jika “risiko” sendiri dalam pengawasan belum bisa dimengerti dan dipahami, apalagi dijadikan instrumen dalam pengawasan Koperasi.

Tantangan Bersama

Tantangan bagi praktisi koperasi saat ini adalah mampukah koperasi menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam industri mereka. Sehingga stakeholder memiliki kepercayaan (trust)terhadap institusi ini. Sementara di sisi lain koperasi menghadapi tekanan berbagai pihak yang memiliki otoritas dan kewenangan untuk melakukan intervensi karena ketiadaan law enforcement dalam regulasi perkoperasian itu sendiri. Koperasi sebagai organisasi yang diberikan ruang untuk mengatur dirinya sendiri (Self regulatory organization), mampukan koperasi menghadirkan lembaga yang mereka bentuk untuk melakukan advokasi terhadap berbagai ancaman pengkerdilan dan kesewenangan atas hak-hak institusinya. Advokasi yang bertujuan untuk melindungi kepentingan nama baik “perkoperasian” dan komunitas koperasi pada umumnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More