MK: Foto Kampanye Tidak Boleh Dipoles Pakai AI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ( Pemilu ) yang mempersoalkan frasa citra diri peserta pemilu saat kampanye. Foto peserta pemilu harus asli tidak boleh dipoles menggunakan Artificial Intelligence (AI)
Gugatan bernomor perkara nomor 166/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh advokat Gugum Ridho Putra itu mempersoalkan frasa "citra diri" yang tercantum dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Menurutnya, frasa itu bertentangan dengan Pasal 28F dan Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Menyatakan frasa 'citra diri' yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945," kata Ketua MK Suhartoyo yang juga bertindak sebagai pimpinan sidang saat bacakan amar putusan di Gedung MK, Kamis (2/1/2025).
Suhartoyo menyatakan, klausul pasal tersebut tak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang peserta pemilu menampilkan foto atau gambar yang original dan tak dipoles dengan teknologi buatan atau AI.
"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi kecerdasan artifisial (artificial intelligence)," kata Suhartoyo.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, citra diri tak dapat dilepaskan dari unsur yang esensial, yaitu adanya penampilan peserta pemilu yang diwujudkan dalam bentuk foto/gambar. Ia mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 22E (1) UUD NRI Tahun 1945. Arief berkata bahwa penampilan foto diri yang riil merupakan bentuk pengejawantahan dari prinsip jujur yang merupakan salah satu asas pemilu.
"Oleh karena itu, pengertian dari frasa 'citra diri' yang tidak memberikan batasan yang tegas sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 35 UU 7/2017, sebagai ketentuan umum yang seharusnya memberikan pengertian yang jelas karena akan digunakan sebagai rujukan dari ketentuan yang terdapat pada norma lainnya dalam UU 7/2017," terang Arief.
"Hal tersebut dikarenakan berpotensi menimbulkan multitafsir atau ketidakjelasan dan berpeluang pula munculnya praktik-praktik yang dilakukan bagi peserta pemilu untuk menampilkan tentang jati dirinya yang mengandung rekayasa/manipulasi foto/gambar yang merupakan bagian dari citra diri serta dapat memengaruhi calon pemilih yang tidak sesuai dengan pilihan berdasarkan hati nuraninya," katanya.
Gugatan bernomor perkara nomor 166/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh advokat Gugum Ridho Putra itu mempersoalkan frasa "citra diri" yang tercantum dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu. Menurutnya, frasa itu bertentangan dengan Pasal 28F dan Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Menyatakan frasa 'citra diri' yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945," kata Ketua MK Suhartoyo yang juga bertindak sebagai pimpinan sidang saat bacakan amar putusan di Gedung MK, Kamis (2/1/2025).
Suhartoyo menyatakan, klausul pasal tersebut tak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang peserta pemilu menampilkan foto atau gambar yang original dan tak dipoles dengan teknologi buatan atau AI.
"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi kecerdasan artifisial (artificial intelligence)," kata Suhartoyo.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, citra diri tak dapat dilepaskan dari unsur yang esensial, yaitu adanya penampilan peserta pemilu yang diwujudkan dalam bentuk foto/gambar. Ia mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 22E (1) UUD NRI Tahun 1945. Arief berkata bahwa penampilan foto diri yang riil merupakan bentuk pengejawantahan dari prinsip jujur yang merupakan salah satu asas pemilu.
"Oleh karena itu, pengertian dari frasa 'citra diri' yang tidak memberikan batasan yang tegas sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 35 UU 7/2017, sebagai ketentuan umum yang seharusnya memberikan pengertian yang jelas karena akan digunakan sebagai rujukan dari ketentuan yang terdapat pada norma lainnya dalam UU 7/2017," terang Arief.
"Hal tersebut dikarenakan berpotensi menimbulkan multitafsir atau ketidakjelasan dan berpeluang pula munculnya praktik-praktik yang dilakukan bagi peserta pemilu untuk menampilkan tentang jati dirinya yang mengandung rekayasa/manipulasi foto/gambar yang merupakan bagian dari citra diri serta dapat memengaruhi calon pemilih yang tidak sesuai dengan pilihan berdasarkan hati nuraninya," katanya.
(abd)