Perubahan Iklim dan Pertanian Hijau
Kamis, 17 November 2022 - 16:15 WIB
Indonesia adalah negara agraris dengan populasi keempat terbesar di dunia. Pertanian menjadi mata pencaharian utama penduduk. Modal utamanya adalah kekayaan alam dan megabiodiversitas plasma nutfah. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pada kuartal III/2022, kontribusi produk domestik bruto (PDB) pertanian masih nomor tiga tertinggi (12,91%) setelah industri dan pertambangan, serta lapangan kerja tertinggi (28,61%).
Peran sektor pertanian Indonesia dalam mengantisipasi krisis pangan akibat perubahan iklim dan kondisi global sangatlah sentral. Pada saat yang sama paradigma pembangunan ekonomi dunia telah berubah, dari konvensional yang mengandalkan kapital dan eksploitasi sumber daya alam (brown economy) bergerak menuju ekonomi hijau (green economy) yang peduli terhadap lingkungan.
Pertanian menjadi sentral dalam transformasi menuju ekonomi hijau. Prinsip-prinsip utamanya adalah mengembangkan sistem produksi yang efisien, mandiri, dan ekonomis yang memberikan pendapatan layak bagi petani dan berkeadilan. Selanjutnya memperhatikan dan melindungi keanekaragaman hayati wilayah. Selain itu, meningkatkan efisiensi energi produksi dan distribusi pangan. Dalam hal ini, manajemen penanganan food waste dan food lost menjadi kunci.
Dalam konteks Presidensi G-20 saat ini, Indonesia telah berkomitmen melaksanakan sistem pangan berkelanjutan dan tangguh atau dikenal dengan istilah Sustainable and Resilient Food Systems (SRFS). SRFS merupakan suatu strategi transformasi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. SRFS juga sangat kompatibel dengan pengentasan kemiskinan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, konservasi ekosistem, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim.
Atribut dari green agriculture atau pertanian hijau adalah kemampuannya untuk memulihkan dan melindungi lingkungan termasuk perubahan iklim. Posisi sentral pertanian dapat mendukung pertumbuhan ekonomi hijau melalui teknik dan praktik yang menopang produksi sambil meningkatkan atau setidaknya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
Misalnya, banyak praktik pertanian saat ini berkontribusi pada emisi gas rumah kaca global. Maka, praktik pengelolaan yang baik dapat menghasilkan karbon-netral, serta menciptakan jasa lingkungan dan mengembangkan energi terbarukan, sekaligus mencapai ketahanan pangan.
Strategi ke Depan
Strategi berkesinambungan menjadi langkah yang mutlak untuk dilakukan dalam menyikapi perubahan iklim dan mengembangkan pertanian hijau yang tahan (resilience) terhadap perubahan tersebut. Apalagi, perubahan iklim merupakan proses alami yang bersifat tren yang terus-menerus dalam jangka panjang.
Data menunjukkan bahwa untuk kondisi global, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari total emisi dunia. Sumber emisi tertinggi sektor pertanian berasal dari penggunaan pupuk, peternakan, lahan sawah, limbah ternak, dan pembakaran sisa-sisa pertanian. Maka, ketika praktik pertanian selama puluhan tahun telah didominasi pendekatan dan konsep konvensional, tentu penerapan pertanian hijau tidaklah gampang.
Teknik seperti cover crops, pengolahan tanah minimal, pertanian tanpa olah tanah, agroforestri, dan perbaikan manajerial budi daya menggunakan varietas tanaman yang lebih baik, memperpanjang rotasi tanaman (terutama tanaman tahunan yang mengalokasikan lebih banyak karbon di bawah tanah), pertanian organik, efisiensi pupuk, dan menghindari penggunaan lahan terbuka/bera, dapat dimanfaatkan untuk tindakan mitigasi.
Peran sektor pertanian Indonesia dalam mengantisipasi krisis pangan akibat perubahan iklim dan kondisi global sangatlah sentral. Pada saat yang sama paradigma pembangunan ekonomi dunia telah berubah, dari konvensional yang mengandalkan kapital dan eksploitasi sumber daya alam (brown economy) bergerak menuju ekonomi hijau (green economy) yang peduli terhadap lingkungan.
Pertanian menjadi sentral dalam transformasi menuju ekonomi hijau. Prinsip-prinsip utamanya adalah mengembangkan sistem produksi yang efisien, mandiri, dan ekonomis yang memberikan pendapatan layak bagi petani dan berkeadilan. Selanjutnya memperhatikan dan melindungi keanekaragaman hayati wilayah. Selain itu, meningkatkan efisiensi energi produksi dan distribusi pangan. Dalam hal ini, manajemen penanganan food waste dan food lost menjadi kunci.
Dalam konteks Presidensi G-20 saat ini, Indonesia telah berkomitmen melaksanakan sistem pangan berkelanjutan dan tangguh atau dikenal dengan istilah Sustainable and Resilient Food Systems (SRFS). SRFS merupakan suatu strategi transformasi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. SRFS juga sangat kompatibel dengan pengentasan kemiskinan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, konservasi ekosistem, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim.
Atribut dari green agriculture atau pertanian hijau adalah kemampuannya untuk memulihkan dan melindungi lingkungan termasuk perubahan iklim. Posisi sentral pertanian dapat mendukung pertumbuhan ekonomi hijau melalui teknik dan praktik yang menopang produksi sambil meningkatkan atau setidaknya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
Misalnya, banyak praktik pertanian saat ini berkontribusi pada emisi gas rumah kaca global. Maka, praktik pengelolaan yang baik dapat menghasilkan karbon-netral, serta menciptakan jasa lingkungan dan mengembangkan energi terbarukan, sekaligus mencapai ketahanan pangan.
Strategi ke Depan
Strategi berkesinambungan menjadi langkah yang mutlak untuk dilakukan dalam menyikapi perubahan iklim dan mengembangkan pertanian hijau yang tahan (resilience) terhadap perubahan tersebut. Apalagi, perubahan iklim merupakan proses alami yang bersifat tren yang terus-menerus dalam jangka panjang.
Data menunjukkan bahwa untuk kondisi global, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari total emisi dunia. Sumber emisi tertinggi sektor pertanian berasal dari penggunaan pupuk, peternakan, lahan sawah, limbah ternak, dan pembakaran sisa-sisa pertanian. Maka, ketika praktik pertanian selama puluhan tahun telah didominasi pendekatan dan konsep konvensional, tentu penerapan pertanian hijau tidaklah gampang.
Teknik seperti cover crops, pengolahan tanah minimal, pertanian tanpa olah tanah, agroforestri, dan perbaikan manajerial budi daya menggunakan varietas tanaman yang lebih baik, memperpanjang rotasi tanaman (terutama tanaman tahunan yang mengalokasikan lebih banyak karbon di bawah tanah), pertanian organik, efisiensi pupuk, dan menghindari penggunaan lahan terbuka/bera, dapat dimanfaatkan untuk tindakan mitigasi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda