Peluang dan Tantangan NIK sebagai NPWP di Era Bonus Demografi
Sabtu, 27 Agustus 2022 - 20:05 WIB
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2020 adalah sebesar 271,35 juta jiwa atau mengalami peningkatan sebanyak 33,51 juta jiwa dibandingkan dengan sensus penduduk 2010 (BPS, 2021). Perlu diketahui bahwa sebanyak 70,72% penduduk Indonesia merupakan angkatan kerja yang berusia antara 15 - 64 tahun.
Tingginya jumlah penduduk usia produktif ini disebabkan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Menurut Boediono (2016) bonus demografi adalah kondisi di mana suatu negara mempunyai penduduk usia produktif yang lebih besar daripada kelompok penduduk usia lainnya.
Kondisi bonus demografi ini merupakan berkah sekaligus tantangan bagi proses integrasi NIK menjadi NPWP. Bagaimana tidak, dengan postur demografi yang didominasi oleh angkatan kerja maka dapat diasumsikan bahwa sebagian besar pemilik NPWP ke depan merupakan penduduk berpenghasilan. Sehingga, penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan meningkatkan jumlah Wajib Pajak sekaligus meningkatkan penerimaan pajak. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik terutama dalam pelayanan perpajakan.
Namun, perlu diingat bahwa peningkatan jumlah Wajib Pajak yang sedemikian besar secara logis akan diikuti dengan peningkatan beban administratif. Sebagaimana diketahui bahwa sampai 2020, jumlah Wajib Pajak yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah sebesar 46,38 juta yang terdiri atas 42,30 juta Wajib Pajak Orang Pribadi, 3,56 juta Wajib Pajak Badan dan 518.000 Wajib Pajak Bendaharawan (DJP, 2021).
Sehingga, apabila diasumsikan seluruh penduduk usia produktif menggunakan NIK sebagai NPWP, maka akan terjadi peningkatan lonjakan jumlah wajib pajak yang diadministrasikan dari 46,38 juta menjadi 191,09 juta.
Tantangan kedua yang timbul dari integrasi NIK dan NPWP adalah potensi peningkatan beban administratif dan beban kepatuhan. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada 2020 diketahui bahwa 56,1% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan 91,32% penduduk berdomisili sesuai dengan kartu keluarga (BPS, 2021). Apabila kedua fakta ini dihubungkan dengan rencana pengintegrasian NIK dengan NPWP, maka agaknya kita dapat menarik kesimpulan awal bahwa kantor–kantor pajak di Pulau Jawa akan mempunyai beban administrasi yang lebih besar daripada kantor pajak yang berada di luar Pulau Jawa.
Dalam jangka pendek, ketimpangan beban administrasi perpajakan tersebut akan menyebabkan peningkatan biaya administrasi untuk mengadministrasikan Wajib Pajak dan melakukan penagihan pajak (Evans, 2008).
Persoalan ketiga yang kemungkinan timbul dari integrasi NIK dengan NPWP adalah proses integrasi dan kerahasiaan data. Bukan rahasia umum lagi bahwa kerahasiaan data di Indonesia merupakan hal yang krusial. Beberapa kali kita mendengar bahwa terjadi kebocoran data masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, agar proses integrasi NIK dengan NPWP berjalan dengan lancar dan memberikan nilai tambah terhadap administrasi perpajakan dan pemerintahan, maka ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah.Pertama, proses integrasi NIK dengan NPWP sebaiknya dilakukan secara bertahap. Hal ini mengingat bahwa pada saat ini, DJP juga sedang mengembangkan sistem perpajakan baru yang diberi namacore tax. Sistem ini digadang-gadang mampu mengadministrasikan jutaan Wajib Pajak dalam waktu yang bersamaan.
Kedua, perlu adanya regulasi turunan yang mengatur penggunaan NIK sebagai NPWP. Hal dikarenakan pada dasarnya NIK dan NPWP mempunyai karakteristik yang berbeda. NIK pada awalnya dimaksudkan sebagai sarana administrasi kependudukan sedangkan NPWP digunakan sebagai sarana administrasi perpajakan. Sehingga, dalam prakteknya penggunaan keduanya kadang bersinggungan.
Tingginya jumlah penduduk usia produktif ini disebabkan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Menurut Boediono (2016) bonus demografi adalah kondisi di mana suatu negara mempunyai penduduk usia produktif yang lebih besar daripada kelompok penduduk usia lainnya.
Kondisi bonus demografi ini merupakan berkah sekaligus tantangan bagi proses integrasi NIK menjadi NPWP. Bagaimana tidak, dengan postur demografi yang didominasi oleh angkatan kerja maka dapat diasumsikan bahwa sebagian besar pemilik NPWP ke depan merupakan penduduk berpenghasilan. Sehingga, penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan meningkatkan jumlah Wajib Pajak sekaligus meningkatkan penerimaan pajak. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik terutama dalam pelayanan perpajakan.
Namun, perlu diingat bahwa peningkatan jumlah Wajib Pajak yang sedemikian besar secara logis akan diikuti dengan peningkatan beban administratif. Sebagaimana diketahui bahwa sampai 2020, jumlah Wajib Pajak yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah sebesar 46,38 juta yang terdiri atas 42,30 juta Wajib Pajak Orang Pribadi, 3,56 juta Wajib Pajak Badan dan 518.000 Wajib Pajak Bendaharawan (DJP, 2021).
Sehingga, apabila diasumsikan seluruh penduduk usia produktif menggunakan NIK sebagai NPWP, maka akan terjadi peningkatan lonjakan jumlah wajib pajak yang diadministrasikan dari 46,38 juta menjadi 191,09 juta.
Tantangan kedua yang timbul dari integrasi NIK dan NPWP adalah potensi peningkatan beban administratif dan beban kepatuhan. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada 2020 diketahui bahwa 56,1% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan 91,32% penduduk berdomisili sesuai dengan kartu keluarga (BPS, 2021). Apabila kedua fakta ini dihubungkan dengan rencana pengintegrasian NIK dengan NPWP, maka agaknya kita dapat menarik kesimpulan awal bahwa kantor–kantor pajak di Pulau Jawa akan mempunyai beban administrasi yang lebih besar daripada kantor pajak yang berada di luar Pulau Jawa.
Dalam jangka pendek, ketimpangan beban administrasi perpajakan tersebut akan menyebabkan peningkatan biaya administrasi untuk mengadministrasikan Wajib Pajak dan melakukan penagihan pajak (Evans, 2008).
Persoalan ketiga yang kemungkinan timbul dari integrasi NIK dengan NPWP adalah proses integrasi dan kerahasiaan data. Bukan rahasia umum lagi bahwa kerahasiaan data di Indonesia merupakan hal yang krusial. Beberapa kali kita mendengar bahwa terjadi kebocoran data masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, agar proses integrasi NIK dengan NPWP berjalan dengan lancar dan memberikan nilai tambah terhadap administrasi perpajakan dan pemerintahan, maka ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah.Pertama, proses integrasi NIK dengan NPWP sebaiknya dilakukan secara bertahap. Hal ini mengingat bahwa pada saat ini, DJP juga sedang mengembangkan sistem perpajakan baru yang diberi namacore tax. Sistem ini digadang-gadang mampu mengadministrasikan jutaan Wajib Pajak dalam waktu yang bersamaan.
Kedua, perlu adanya regulasi turunan yang mengatur penggunaan NIK sebagai NPWP. Hal dikarenakan pada dasarnya NIK dan NPWP mempunyai karakteristik yang berbeda. NIK pada awalnya dimaksudkan sebagai sarana administrasi kependudukan sedangkan NPWP digunakan sebagai sarana administrasi perpajakan. Sehingga, dalam prakteknya penggunaan keduanya kadang bersinggungan.
tulis komentar anda