Peluang dan Tantangan NIK sebagai NPWP di Era Bonus Demografi

Sabtu, 27 Agustus 2022 - 20:05 WIB
loading...
Peluang dan Tantangan...
Galih Ardin. FOTO/DOK KORAN SINDO
A A A
Galih Ardin
Praktisi Perpajakan

Pemerintah bulan lalu resmi merilis aturan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-112/PMK.03/2022, Pemerintah mengatur bahwa terhitung sejak 14 Juli 2022, Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk dapat menggunakan NIK sebagai NPWP.

Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur bahwa Wajib Pajak bukan penduduk, Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah dapat menggunakan NPWP dengan format 16 digit.

Sebelumnya, melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pemerintah mengatur bahwa NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk Indonesia adalah dengan menggunakan NIK.

Lebih lanjut, di dalam Undang–Undang tersebut juga disebutkan bahwa dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri wajib memberikan data kependudukan dan data balikan kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.

Bukan tanpa alasan Pemerintah menetapkan NIK sebagai NPWP. Berdasarkan konsiderans PMK-112 diketahui bahwa salah satu alasan diterapkannya kebijakan tersebut adalah untuk memberikan kesetaraan pelayanan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Selain itu, kebijakan ini juga diambil untuk mendukung kebijakan satu data di Indonesia.

Namun demikian, penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut bukan tanpa tantangan. Tingginya jumlah penduduk, besarnya jumlah angkatan kerja dan isu keamanan dalam proses integrasi NIK dengan NPWP menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2020 adalah sebesar 271,35 juta jiwa atau mengalami peningkatan sebanyak 33,51 juta jiwa dibandingkan dengan sensus penduduk 2010 (BPS, 2021). Perlu diketahui bahwa sebanyak 70,72% penduduk Indonesia merupakan angkatan kerja yang berusia antara 15 - 64 tahun.

Tingginya jumlah penduduk usia produktif ini disebabkan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Menurut Boediono (2016) bonus demografi adalah kondisi di mana suatu negara mempunyai penduduk usia produktif yang lebih besar daripada kelompok penduduk usia lainnya.

Kondisi bonus demografi ini merupakan berkah sekaligus tantangan bagi proses integrasi NIK menjadi NPWP. Bagaimana tidak, dengan postur demografi yang didominasi oleh angkatan kerja maka dapat diasumsikan bahwa sebagian besar pemilik NPWP ke depan merupakan penduduk berpenghasilan. Sehingga, penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan meningkatkan jumlah Wajib Pajak sekaligus meningkatkan penerimaan pajak. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik terutama dalam pelayanan perpajakan.

Namun, perlu diingat bahwa peningkatan jumlah Wajib Pajak yang sedemikian besar secara logis akan diikuti dengan peningkatan beban administratif. Sebagaimana diketahui bahwa sampai 2020, jumlah Wajib Pajak yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah sebesar 46,38 juta yang terdiri atas 42,30 juta Wajib Pajak Orang Pribadi, 3,56 juta Wajib Pajak Badan dan 518.000 Wajib Pajak Bendaharawan (DJP, 2021).

Sehingga, apabila diasumsikan seluruh penduduk usia produktif menggunakan NIK sebagai NPWP, maka akan terjadi peningkatan lonjakan jumlah wajib pajak yang diadministrasikan dari 46,38 juta menjadi 191,09 juta.

Tantangan kedua yang timbul dari integrasi NIK dan NPWP adalah potensi peningkatan beban administratif dan beban kepatuhan. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada 2020 diketahui bahwa 56,1% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan 91,32% penduduk berdomisili sesuai dengan kartu keluarga (BPS, 2021). Apabila kedua fakta ini dihubungkan dengan rencana pengintegrasian NIK dengan NPWP, maka agaknya kita dapat menarik kesimpulan awal bahwa kantor–kantor pajak di Pulau Jawa akan mempunyai beban administrasi yang lebih besar daripada kantor pajak yang berada di luar Pulau Jawa.

Dalam jangka pendek, ketimpangan beban administrasi perpajakan tersebut akan menyebabkan peningkatan biaya administrasi untuk mengadministrasikan Wajib Pajak dan melakukan penagihan pajak (Evans, 2008).

Persoalan ketiga yang kemungkinan timbul dari integrasi NIK dengan NPWP adalah proses integrasi dan kerahasiaan data. Bukan rahasia umum lagi bahwa kerahasiaan data di Indonesia merupakan hal yang krusial. Beberapa kali kita mendengar bahwa terjadi kebocoran data masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, agar proses integrasi NIK dengan NPWP berjalan dengan lancar dan memberikan nilai tambah terhadap administrasi perpajakan dan pemerintahan, maka ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah.Pertama, proses integrasi NIK dengan NPWP sebaiknya dilakukan secara bertahap. Hal ini mengingat bahwa pada saat ini, DJP juga sedang mengembangkan sistem perpajakan baru yang diberi namacore tax. Sistem ini digadang-gadang mampu mengadministrasikan jutaan Wajib Pajak dalam waktu yang bersamaan.

Kedua, perlu adanya regulasi turunan yang mengatur penggunaan NIK sebagai NPWP. Hal dikarenakan pada dasarnya NIK dan NPWP mempunyai karakteristik yang berbeda. NIK pada awalnya dimaksudkan sebagai sarana administrasi kependudukan sedangkan NPWP digunakan sebagai sarana administrasi perpajakan. Sehingga, dalam prakteknya penggunaan keduanya kadang bersinggungan.

Sebagai contoh, dalam aturan perpajakan diatur bahwa seorang istri dapat melakukan kewajiban perpajakannya dengan digabung suami, melakukan kewajiban perpajakannya secara terpisah maupun melakukan perjanjian pisah harta. Oleh karenanya, perlu aturan turunan yang mengatur penggunaan NIK sebagai NPWP untuk menjamin prinsip kepastian hukum (certainty) sebagaimana telah dibahas oleh Adam Smith dalam Bukunya Wealth of Nation.

Ketiga, pemerintah perlu memastikan bahwa integrasi NIK dan NPWP berlangsung secara aman, transparan dan akuntabel. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap NIK yang kedepan akan digunakan sebagai sarana administrasi perpajakan dan pemerintahan.

Pada akhirnya, kita semua berharap semoga proses integrasi NIK dengan NPWP berjalan dengan aman, lancar dan memberikan manfaat tidak hanya bagi administrasi perpajakan, tetapi juga bagi wajib pajak.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0979 seconds (0.1#10.140)