Meningkatkan Sistem Kesehatan Nasional

Rabu, 01 Juli 2020 - 06:38 WIB
Dinna Prapto Raharja, PhD, Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional. Foto/Dok. Pribadi
Dinna Prapto Raharja, PhD

Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional

@Dinna_PR

SAYA memfasilitasi diskusi peluncuran data kesehatan yang diolah bersama oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dua pekan lalu. Data itu kumpulan informasi yang diolah sejak 2014-2018. Sangat berharga dan informatif.

Dari data tersebut kita dapat mengevaluasi dan mengukur postur kesehatan kita sejak 2014, kemudian memprediksi postur kesehatan kita lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Data ini juga penting bagi pengambil kebijakan untuk memutuskan strategi kesehatan apa yang harus dilakukan segera untuk dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.



Dalam situasi Covid-19 seperti sekarang, data semacam ini membantu kita tidak berandai-andai lagi tentang kebutuhan masyarakat, tetapi lebih pasti dalam merencanakan sistem kesehatan nasional yang lebih tanggap.

Data yang dikeluarkan kedua lembaga itu memang belum maksimal karena awalnya pengumpulan data belum terstandar sehingga data yang terkumpul belum semua berhasil “dibersihkan” untuk dapat menghasilkan informasi yang akurat. Dari delapan indikator pencapaian sistem jaminan kesehatan, data yang diluncurkan kemarin baru bisa mengangkat tiga indikator penting: kepesertaan, manfaat, dan fasilitas kesehatan.

Untuk soal kepesertaan ada data tentang jumlah peserta JKN menurut segmen kepesertaan, kelas perawatan, dan sebaran peserta JKN di tiap provinsi. Dari situ dapat dihitung rata-rata iuran per kapita per bulan sejak 2014-2018.

Untuk soal manfaat, ada data tentang akses pelayanan rawat jalan dan rawat inap di tingkat layanan primer maupun tingkat lanjut, termasuk rata-rata klaim per kunjungan, usia dan provinsi, distribusi 100 penyakit yang paling banyak ditanggung di tingkat layanan primer maupun layanan tingkat lanjut, 100 prosedur dan 100 kode layanan medis terbanyak untuk rawat jalan maupun rawat inap.

Untuk kepesertaan, data menunjukkan bahwa masyarakat yang terjamin melalui Jaminan Kesehatan Nasional semakin meningkat dari 2014 hingga 2018. Jumlah orang miskin yang ditanggung iurannya melalui APBN/APBD juga meningkat dari 95 juta orang pada 2014 menjadi 122 juta pada 2018. Demikian pula peserta yang membayar sendiri dari 9 juta orang menjadi 31 juta orang.

Hasbullah Thabrany mencatat bahwa kenaikan kelompok masyarakat miskin ke dalam sistem JKN sebesar 240%. Kenaikan ini juga menandakan bahwa potensi masyarakat miskin yang memiliki risiko menjadi jatuh miskin karena biaya kesehatan yang mahal semakin berkurang.

Namun, masih harus dicatat bahwa yang rentan kesehatannya bukan hanya yang miskin, juga yang menengah ke bawah (near poor). Mereka yang bekerja mandiri tanpa upah dengan penghasilan pas-pasan atau karena sakitnya kemudian tidak bisa lagi bekerja seperti dulu dan mereka yang memasuki usia 50.

Hasbullah Thabrany menggarisbawahi pentingnya kita melihat risiko alamiah suatu masyarakat untuk menambah konsumsi layanan kesehatan, yakni karena faktor usia dan gender. Mereka yang masuk dalam kategori miskin, berpenghasilan pas-pasan, atau karena sakitnya kemudian tidak lagi bisa bekerja seperti seharusnya orang di usianya masih bekerja adalah mereka yang perlu dibantu lewat sistem JKN.

Dari data yang tersedia, dapat dikonfirmasi bahwa JKN masih belum sempurna karena beberapa faktor. Pertama, ada persepsi yang berkembang di tataran pengambil kebijakan saat ini adalah untuk mengejar peningkatan iuran demi menutup defisit JKN.

Padahal, ketika kita bicara iuran kita perlu lebih cermat melihat profil penduduk Indonesia. Data JKN menunjukkan bahwa pengguna terbanyak JKN untuk rawat jalan adalah kelas I dan II.

Namun, sejak 2014 yang terjadi justru penurunan angka admisi rawat inap untuk kelas I dan II. Angka perawatan kelas III meningkat hingga 40%. Ketika diumumkan peningkatan iuran pada 2018 dan 2020 pun reaksi turun kelas menjadi kelas III cepat sekali terjadi.

Bahkan pemerintah daerah yang bertanggung jawab untuk ikut memberi subsidi bagi warganya yang kurang mampu justru memilih mengurangi subsidi. Artinya, ada segmen masyarakat yang memang masuk kelas I atau kelas II, tetapi kemampuan bayar iurannya sangat rentan berubah. Jadi, ketika pemerintah menggunakan sistem pukul rata untuk menaikkan iuran di segala kelas, efeknya sangatlah memberatkan bagi sekelompok masyarakat.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More