Kritik Belajar Dari Rumah Bersama Netflix

Selasa, 23 Juni 2020 - 11:14 WIB
Pelibatan Netflix dalam penyediaan konten BDR menimbulkan pertanyaan, karena sebagian besar konten Netflix adalah untuk hiburan, bukan secara khusus sebagai penyedia konten pendidikan. Ilustrasi/Istimewa
Hardly Stefano Pariela, M.KP

Komisioner KPI Pusat

NETFLIX adalah salah satu penyedia layanan konten audio-visual, berpusat California, Amerika Serikat. Didirikan pada 1997, dengan bisnis utama berupa penjualan dan penyewaan DVD dan Blu-ray.

Tahun 2007 mulai merambah media streaming digital, yang terus berkembang hingga saat ini. Sebagai penyedia jasa layanan video on demand (VOD), Netflix memiliki beragam koleksi, baik yang dibeli dari produsen film maupun diproduksi sendiri. (Baca juga: Menyorot Kontroversi Kerja Sama Netflix dan Kemendikbud)

Pada Maret 2020, pelanggan Netflix secara global mencapai 182,9 juta subscriber. Belum ada publikasi resmi jumlah pelanggan Netflix di Indonesia, namun databoks mengutip nakono.com menyebutkan estimasi 907.000 pelanggan Netflix di Indonesia pada tahun 2020. Pihak Netflix sendiri sebagaimana dikutip dari Kompas.com (19/01/2020), menyatakan bahwa Indonesia merupakan pasar yang besar bagi bisnis VOD.



Hingga saat ini, dapat dikatakan Netflix belum leluasa bereskpansi di Indonesia. Telkom Group masih melakukan pemblokiran, sehingga masyarakat pengguna Indohome, Telkomsel maupun wifi.id masih belum dapat menikmati layanan Netflix.

Telkom menyebutkan Netflix belum memenuhi ketentuan penanganan konten yang dinilai bermasalah (kompas.com, 17/01/2020). Di tengah kondisi tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud ) menjalin kemitraan dengan Netflix yang diharapkan dapat mendukung pertumbuhan perfilman Indonesia sampai pada tingkat global. (Baca juga: Uji Materi UU Penyiaran ke MK untuk Kepentingan Nasional Lebih Besar)

Jika menilik tujuan kemitraan ini, diharapkan akan dapat memberi dampak positif bagi industri film di Indonesia. Namun yang patut menjadi pertanyaan, kenapa kemitraan Kemedikbud untuk memajukan perfilman Indonesia hanya dilakukan dengan Netflix?

Perlu dipahami, bahwa Netflix bukanlah satu-satunya penyedia jasa VOD secara streaming digital, yang memungkinkan akses global. Industri hiburan Indonesia saat ini juga sudah membangun layanan VOD melalui internet. Jika tidak ingin dipandang sebagai endorser Netflix, ada baiknya Kemendikbud juga menjalin kemitraan dengan provider layanan VOD lainnya.

Kemendikbud juga perlu memikirkan upaya mencegah dampak negatif dari konten hiburan melalui provider VOD global. Berbeda dengan penyebaran film melalui jaringan bioskop dan televisi terestrial yang harus mendapatkan Surat Tanda Lolos Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF), penetrasi film melalui layanan VOD secara streaming dapat dilakukan secara bebas dengan standar yang audio – visual berdasarkan standar dimana film itu dibuat atau standar dari provider VOD, yang bisa saja berbeda dengan standar yang berlaku di Indonesia. (Baca juga: Sebelum Aturan Jelas, Tak Etis Gandeng Siaran Berbasis Internet)

Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian terkait stanfdar tersebut adalah sensitifitas terkait isu Suku, Agama, Ras, Antar golongan (SARA), muatan kekerasan, dan batasan tampilan seksualitas.Terdapat beberapa film yang pernah dilarang beredar di Indonesia, antara lain: Teeth (2007) mengandung muatan kekerasan secara berlebihan; Noah (2014) dinilai kontroversial dari sudut pandang agama; dan Fifty Shades of Grey (2015) karena isu seksualitas.

Selain STLS, film yang telah tayang di bisokop juga harus memenuhi Standar Program Siaran (SPS) ketika akan ditayangkan melalui stasiun televisi. STLS yang dikeluarkan oleh LSF maupun pemenuhan SPS yang diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada khalayak dari muatan negatif yang terdapat di film. Oleh sebab itu kemendikbud perlu duduk bersama dengan LSF dan KPI untuk merumuskan pengaturan dan pengawasan film yang dapat diakses melalui VOD streaming.

Selain masalah konten, layanan VOD streaming juga memiliki permasalahan terkait penerimaan negara. Dengan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai pasar, provider VOD yang belum berbadan hukum di Indonesia, termasuk Netflix, melakukan kegiatan bisnis dan mendapatkan keuntungan dari Indonesia, selama ini belum pernah membayar pajak.

Terkait permasalahan pajak ini, pada 5 Mei 2020 Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan No 48/2020 yang mengatur tentang pengenaan pajak pertambahan nilai bagi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Pelaku usaha PMSE baik yang berdomisili di Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia berkewajiban memberikan laporan tentang jumlah pembeli barang dan/atau penerima jasa di Indonesia, jumlah pembayaran, serta jumlah PPN yang dipungut maupun disetor.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More