Perkebunan Kelapa Sawit Pasca-Covid-19
Selasa, 23 Juni 2020 - 06:41 WIB
Pekerjaan-pekerjaan yang berpotensi terjadi kerumunan, seperti bagian administrasi, dikurangi hingga 50% untuk jaga jarak fisik. Lingkungan perkantoran, pabrik, dan perumahan karyawan perkebunan juga dijaga sedemikian rupa sehingga diminimalkan ada pergerakan orang luar yang tidak berkepentingan ke dalam lingkungan perkebunan.
Perkebunan sawit termasuk yang lebih awal mendorong karyawannya tidak mudik selama perayaan Lebaran kemarin. Karyawan yang terpaksa mudik harus terdata rapi untuk diberikan perlakuan yang berbeda. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi penularan. Cara seperti ini dinilai efektif mencegah penularan wabah Covid-19 di perkebunan sawit. Paling tidak, sampai saat ini tidak dilaporkan ada kasus positif Covid-19 di perkebunan sawit. (Baca juga: Jumlah Polisi di Rembang yang Positif Covid-19 Bertambah)
Bagaimana Pasca-Covid-19?
Wabah Covid-19 belum hilang, dan potensi penularan masih tetap ada. Oleh karena itu, cara pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang mau tidak mau harus berubah. Perubahan atau perbaikan dalam pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang tidak semata-mata karena wabah Covid-19, namun lebih karena tuntutan pasar.
Kejadian wabah Covid-19 ini bisa menjadi pemicu agar perkebunan dipaksa berubah lebih cepat. Perkebunan sawit dituntut berubah lebih cepat karena tuntutan daya saing. Produk CPO dan turunan menghadapi situasi pasar yang makin kompetitif dan kompleks.
Kompetitif karena persaingan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan lainnya yang berlomba-lomba merebut pasar di negara konsumen. Semakin kompleks karena perdagangan komoditas minyak nabati telah melibatkan kepentingan politik perdagangan sehingga perdagangan minyak sawit berhadapan dengan berbagai hambatan perdagangan yang diciptakan oleh negara produsen pesaing minyak sawit.
Menghadapi tantangan seperti ini, perkebunan kelapa sawit hanya punya satu pilihan, yaitu menjadi makin produktif dan efisien. Satu di antara yang menyebabkan minyak sawit unggul hingga saat ini adalah biaya produksinya yang murah karena produktivitas yang tinggi relatif dibanding minyak nabati lain, yaitu minyak sawit 3,94 ton minyak/ha/tahun, dibandingkan dengan minyak kedelai 0,53 ton minyak/ha/tahun, minyak rapeseed 0,79 ton minyak/ha/tahun, dan minyak bunga matahari 0,81 minyak/ha/tahun (Oil World, 2018).
Faktanya, minyak sawit menguasai berbagai pasar konsumen di Eropa, Amerika Serikat, Afrika, maupun Asia karena faktor murah. Buktinya, minyak sawit yang dihajar terus-menerus dengan isu negatif dan regulasi yang memberatkan, penggunaan minyak sawit terus meluas di berbagai penjuru dunia.
Namun, keunggulan komparatif ini tidak akan bisa terlalu lama dipertahankan. Biaya produksi minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Biaya tenaga kerja (perkebunan sawit adalah padat karya) naik hampir 10% setiap tahun karena regulasi pengupahan di Indonesia. (Baca juga: Ombudsman ungkap Tiga Faktor Biaya Rapid Test Dikeluhkan)
Biaya produksi (pupuk, bahan bakar, dan mesin-mesin) juga mengalami kenaikan yang konsisten setiap tahun. Keunggulan dalam produktivitas tidak sejalan dengan kinerja biaya produksi. Biaya produksi minyak sawit di Indonesia berkisar di angka USD500-600/ton. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan biaya produksi 2015 yang berkisar USD355/ton (Laporan Tahunan Perusahaan Publik, 2015).
Perkebunan sawit termasuk yang lebih awal mendorong karyawannya tidak mudik selama perayaan Lebaran kemarin. Karyawan yang terpaksa mudik harus terdata rapi untuk diberikan perlakuan yang berbeda. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi penularan. Cara seperti ini dinilai efektif mencegah penularan wabah Covid-19 di perkebunan sawit. Paling tidak, sampai saat ini tidak dilaporkan ada kasus positif Covid-19 di perkebunan sawit. (Baca juga: Jumlah Polisi di Rembang yang Positif Covid-19 Bertambah)
Bagaimana Pasca-Covid-19?
Wabah Covid-19 belum hilang, dan potensi penularan masih tetap ada. Oleh karena itu, cara pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang mau tidak mau harus berubah. Perubahan atau perbaikan dalam pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang tidak semata-mata karena wabah Covid-19, namun lebih karena tuntutan pasar.
Kejadian wabah Covid-19 ini bisa menjadi pemicu agar perkebunan dipaksa berubah lebih cepat. Perkebunan sawit dituntut berubah lebih cepat karena tuntutan daya saing. Produk CPO dan turunan menghadapi situasi pasar yang makin kompetitif dan kompleks.
Kompetitif karena persaingan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan lainnya yang berlomba-lomba merebut pasar di negara konsumen. Semakin kompleks karena perdagangan komoditas minyak nabati telah melibatkan kepentingan politik perdagangan sehingga perdagangan minyak sawit berhadapan dengan berbagai hambatan perdagangan yang diciptakan oleh negara produsen pesaing minyak sawit.
Menghadapi tantangan seperti ini, perkebunan kelapa sawit hanya punya satu pilihan, yaitu menjadi makin produktif dan efisien. Satu di antara yang menyebabkan minyak sawit unggul hingga saat ini adalah biaya produksinya yang murah karena produktivitas yang tinggi relatif dibanding minyak nabati lain, yaitu minyak sawit 3,94 ton minyak/ha/tahun, dibandingkan dengan minyak kedelai 0,53 ton minyak/ha/tahun, minyak rapeseed 0,79 ton minyak/ha/tahun, dan minyak bunga matahari 0,81 minyak/ha/tahun (Oil World, 2018).
Faktanya, minyak sawit menguasai berbagai pasar konsumen di Eropa, Amerika Serikat, Afrika, maupun Asia karena faktor murah. Buktinya, minyak sawit yang dihajar terus-menerus dengan isu negatif dan regulasi yang memberatkan, penggunaan minyak sawit terus meluas di berbagai penjuru dunia.
Namun, keunggulan komparatif ini tidak akan bisa terlalu lama dipertahankan. Biaya produksi minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Biaya tenaga kerja (perkebunan sawit adalah padat karya) naik hampir 10% setiap tahun karena regulasi pengupahan di Indonesia. (Baca juga: Ombudsman ungkap Tiga Faktor Biaya Rapid Test Dikeluhkan)
Biaya produksi (pupuk, bahan bakar, dan mesin-mesin) juga mengalami kenaikan yang konsisten setiap tahun. Keunggulan dalam produktivitas tidak sejalan dengan kinerja biaya produksi. Biaya produksi minyak sawit di Indonesia berkisar di angka USD500-600/ton. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan biaya produksi 2015 yang berkisar USD355/ton (Laporan Tahunan Perusahaan Publik, 2015).
Lihat Juga :
tulis komentar anda