Ombudsman Ungkap Tiga Faktor Biaya Rapid Test Dikeluhkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Metode skrining awal melalui rapid test secara berbayar telah menimbulkan keresahan. Biayanya berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp1 juta per orang. Di sisi lain, uji tersebut menjadi salah satu syarat wajib bagi mereka yang hendak bepergian ke luar daerah.
(Baca juga: Update Corona 22 Juni 2020: 46.845 Positif, 18.735 Sembuh, dan 2.500 Meninggal)
Sementara itu, pemerintah baru-baru ini telah menaikkan anggaran penanganan Covid-19. Dari semula alokasi dananya sebesar Rp405,1 triliun, kini jumlahnya ditambah lagi menjadi Rp695,2 triliun.
(Baca juga: Rapid Test Berbayar, Ombudsman Curiga Ada Upaya Cari Keuntungan Pribadi)
Anggota Ombudsman RI Laode Ida mempertanyakan sikap pemerintah melihat keresahan publik tersebut. Menurut dia, ada tiga penyebab kenapa masyarakat mulai menyoalkan metode rapid test berbayar.
"Pertama, prosedur birokratis dan memakan waktu sehingga menunggu lama untuk proses tesnya mulai dari daftar hingga hasilnya," ungkapnya saat dihubungi SINDOnews, Senin (22/6/2020).
Selain itu, Laode menilai biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali melakukan uji cepat tersebut cukup mahal. Hal itu menurutnya akan menyulitkan masyarakat yang begitu terdampak di masa pandemi.
"Biaya capai Rp300 ribu hingga sejuta. Itu pun tergantung dari tempatnya di mana dia melakukan rapid test itu. Itu tidak murah bagi masyarakat umum. Jangan bandingkan dengan 'kantong' mereka yang berpunya, kalangan pejabat atau perjalanan dinas dengan biaya pemerintah," terang dia.
Persoalan berikutnya, lanjut Laode, masa berlakunya tes itu hanya untuk satu kali perjalanan. Misalnya, sekali melakukan penerbangan ke luar kota, maka harus melakukan rapid test lagi pada saat balik.
Belum lagi, hasil uji cepat itu tidak menjamin bahwa orang tersebut tetap negatif Covid-19 dan tidak akan terinfeksi selama melakukan perjalanannya. Karena itu dirinya mengaku heran kalau rapid test itu menjadi suatu kewajiban.
"Warga yang kerap mengurus administrasi untuk perjalanan luar kota harus direpotkan dengan jangka waktu rapid test yang berlaku hanya tiga hari. Makanya ini sebetulnya aneh kalau kemudian rapid test yang hasilnya negatif itu merupakan suatu kewajiban," ujarnya.
(Baca juga: Update Corona 22 Juni 2020: 46.845 Positif, 18.735 Sembuh, dan 2.500 Meninggal)
Sementara itu, pemerintah baru-baru ini telah menaikkan anggaran penanganan Covid-19. Dari semula alokasi dananya sebesar Rp405,1 triliun, kini jumlahnya ditambah lagi menjadi Rp695,2 triliun.
(Baca juga: Rapid Test Berbayar, Ombudsman Curiga Ada Upaya Cari Keuntungan Pribadi)
Anggota Ombudsman RI Laode Ida mempertanyakan sikap pemerintah melihat keresahan publik tersebut. Menurut dia, ada tiga penyebab kenapa masyarakat mulai menyoalkan metode rapid test berbayar.
"Pertama, prosedur birokratis dan memakan waktu sehingga menunggu lama untuk proses tesnya mulai dari daftar hingga hasilnya," ungkapnya saat dihubungi SINDOnews, Senin (22/6/2020).
Selain itu, Laode menilai biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali melakukan uji cepat tersebut cukup mahal. Hal itu menurutnya akan menyulitkan masyarakat yang begitu terdampak di masa pandemi.
"Biaya capai Rp300 ribu hingga sejuta. Itu pun tergantung dari tempatnya di mana dia melakukan rapid test itu. Itu tidak murah bagi masyarakat umum. Jangan bandingkan dengan 'kantong' mereka yang berpunya, kalangan pejabat atau perjalanan dinas dengan biaya pemerintah," terang dia.
Persoalan berikutnya, lanjut Laode, masa berlakunya tes itu hanya untuk satu kali perjalanan. Misalnya, sekali melakukan penerbangan ke luar kota, maka harus melakukan rapid test lagi pada saat balik.
Belum lagi, hasil uji cepat itu tidak menjamin bahwa orang tersebut tetap negatif Covid-19 dan tidak akan terinfeksi selama melakukan perjalanannya. Karena itu dirinya mengaku heran kalau rapid test itu menjadi suatu kewajiban.
"Warga yang kerap mengurus administrasi untuk perjalanan luar kota harus direpotkan dengan jangka waktu rapid test yang berlaku hanya tiga hari. Makanya ini sebetulnya aneh kalau kemudian rapid test yang hasilnya negatif itu merupakan suatu kewajiban," ujarnya.
(maf)