Perkebunan Kelapa Sawit Pasca-Covid-19
loading...
A
A
A
Joko Supriyono
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)
Perkebunan kelapa sawit merupakan rantai utama dari sistem rantai pasok industri minyak sawit Indonesia. Perkebunan kelapa sawit Indonesia yang terdiri atas perkebunan perusahaan (swasta dan BUMN) dan perkebunan rakyat memproduksi 50 juta CPO dan PKO (Gapki, 2019).
Produksi ini digunakan untuk memasok industri hilir (next process) yang diolah menjadi berbagai produk olahan yang selanjutnya masuk ke pasar domestik maupun ekspor.
Kalau kita berbicara keberlanjutan (sustainability) dan keberlangsungan (continuity) industri sawit Indonesia, kita mesti mulai dari rantai hulu ini. Daya saing di sektor hulu akan menentukan daya saing di sektor hilir.
Dengan kata lain, tujuan utamanya adalah daya saing seluruh rantai pasok dari hulu sampai hilir. Ini merupakan keunggulan industri sawit Indonesia, di mana sumber bahan baku dihasilkan di negeri sendiri. Ketahanan industri akan lebih kuat jika kita memiliki bahan baku sendiri dibandingkan jika industri harus mengimpor bahan baku dari negara lain. (Baca: Arab Saudi Putuskan Ibadah Haji Tahun Ini Tetap Berlangsung)
Belum pulih dari kelesuan pasar selama 2018-2019, harapan sebenarnya muncul di awal 2020. Namun, pandemi Covid-19 mengubah keadaan dan pada 2020 pun menjadi kelesuan pasar baru.
Selama pandemi Covid-19 perkebunan kelapa sawit tetap berjalan normal. Penerapan protokol pencegahan Covid-19 dilaksanakan dengan sangat ketat di perkebunan maupun di kompleks perumahan karyawan. Karakteristik pekerjaan di perkebunan sawit memang tidak dilakukan secara bergerombol.
Pekerjaan panen dan rawat sawit dilakukan dengan sistem ancak. Misalnya, setiap pemanen akan mengerjakan panen di areal seluas 4 ha secara sendiri. Demikian juga dengan pekerjaan rawat maupun operasional pabrik pengolahan CPO (minyak sawit mentah).
Pekerjaan-pekerjaan yang berpotensi terjadi kerumunan, seperti bagian administrasi, dikurangi hingga 50% untuk jaga jarak fisik. Lingkungan perkantoran, pabrik, dan perumahan karyawan perkebunan juga dijaga sedemikian rupa sehingga diminimalkan ada pergerakan orang luar yang tidak berkepentingan ke dalam lingkungan perkebunan.
Perkebunan sawit termasuk yang lebih awal mendorong karyawannya tidak mudik selama perayaan Lebaran kemarin. Karyawan yang terpaksa mudik harus terdata rapi untuk diberikan perlakuan yang berbeda. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi penularan. Cara seperti ini dinilai efektif mencegah penularan wabah Covid-19 di perkebunan sawit. Paling tidak, sampai saat ini tidak dilaporkan ada kasus positif Covid-19 di perkebunan sawit. (Baca juga: Jumlah Polisi di Rembang yang Positif Covid-19 Bertambah)
Bagaimana Pasca-Covid-19?
Wabah Covid-19 belum hilang, dan potensi penularan masih tetap ada. Oleh karena itu, cara pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang mau tidak mau harus berubah. Perubahan atau perbaikan dalam pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang tidak semata-mata karena wabah Covid-19, namun lebih karena tuntutan pasar.
Kejadian wabah Covid-19 ini bisa menjadi pemicu agar perkebunan dipaksa berubah lebih cepat. Perkebunan sawit dituntut berubah lebih cepat karena tuntutan daya saing. Produk CPO dan turunan menghadapi situasi pasar yang makin kompetitif dan kompleks.
Kompetitif karena persaingan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan lainnya yang berlomba-lomba merebut pasar di negara konsumen. Semakin kompleks karena perdagangan komoditas minyak nabati telah melibatkan kepentingan politik perdagangan sehingga perdagangan minyak sawit berhadapan dengan berbagai hambatan perdagangan yang diciptakan oleh negara produsen pesaing minyak sawit.
Menghadapi tantangan seperti ini, perkebunan kelapa sawit hanya punya satu pilihan, yaitu menjadi makin produktif dan efisien. Satu di antara yang menyebabkan minyak sawit unggul hingga saat ini adalah biaya produksinya yang murah karena produktivitas yang tinggi relatif dibanding minyak nabati lain, yaitu minyak sawit 3,94 ton minyak/ha/tahun, dibandingkan dengan minyak kedelai 0,53 ton minyak/ha/tahun, minyak rapeseed 0,79 ton minyak/ha/tahun, dan minyak bunga matahari 0,81 minyak/ha/tahun (Oil World, 2018).
Faktanya, minyak sawit menguasai berbagai pasar konsumen di Eropa, Amerika Serikat, Afrika, maupun Asia karena faktor murah. Buktinya, minyak sawit yang dihajar terus-menerus dengan isu negatif dan regulasi yang memberatkan, penggunaan minyak sawit terus meluas di berbagai penjuru dunia.
Namun, keunggulan komparatif ini tidak akan bisa terlalu lama dipertahankan. Biaya produksi minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Biaya tenaga kerja (perkebunan sawit adalah padat karya) naik hampir 10% setiap tahun karena regulasi pengupahan di Indonesia. (Baca juga: Ombudsman ungkap Tiga Faktor Biaya Rapid Test Dikeluhkan)
Biaya produksi (pupuk, bahan bakar, dan mesin-mesin) juga mengalami kenaikan yang konsisten setiap tahun. Keunggulan dalam produktivitas tidak sejalan dengan kinerja biaya produksi. Biaya produksi minyak sawit di Indonesia berkisar di angka USD500-600/ton. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan biaya produksi 2015 yang berkisar USD355/ton (Laporan Tahunan Perusahaan Publik, 2015).
Jika dibandingkan dengan biaya produksi minyak nabati lain, perkebunan sawit kalah efisien. Sebagai contoh, biaya produksi minyak bunga matahari di Ukraina adalah USD163/ton, biaya produksi minyak rapeseed di Jerman USD234/ton, sedangkan minyak kedelai di Brasil USD -538/ton (James Fry, 2015). Biaya produksi minyak kedelai bisa minus karena memperhitungkan produk pakan (meal product) yang mempunyai nilai jual sehingga biaya produksinya bisa ditutup oleh produk pakan (minyak kedelai adalah produk samping dalam pengolahan biji kedelai).
Sementara harga komoditas di pasar global diprediksi cenderung menurun, paling tidak data selama 20 tahun menunjukkan harga komoditas sawit terus berfluktuasi. Pada 2019 harga sawit pernah mencapai USD494/ton, artinya di bawah biaya produksi. Perkebunan kelapa sawit harus segera menyesuaikan diri dengan situasi dan perkembangan pasar.
Apa yang bisa dilakukan? Mengandalkan sepenuhnya kepada tenaga manusia dalam mengelola perkebunan harus dievaluasi, dan menggantikan dengan teknologi adalah suatu keniscayaan. Kebun sawit akan kalah bersaing jika setiap pekerja panen hanya mampu memanen areal seluas 4 ha, sementara pekerja panen kedelai secara mekanis mampu memanen areal kebun kedelai seluas 80-100 ha.
Tanaman sawit tidak perlu menunggu terlalu lama untuk bisa dipanen walaupun saat ini sawit sudah bisa dipanen umur 20-25 bulan. Keterlambatan mulai panen adalah suatu biaya investasi yang inefisien. Produktivitas tanaman per ha harus dijaga dengan ketat, tidak boleh ada lahan yang tidak termanfaatkan, demikian juga tidak boleh ada tanaman yang tidak berbuah secara maksimal.
Tentu hal ini semua jawabannya adalah riset dan teknologi. Pupuk sebagai faktor produksi yang membutuhkan biaya terbesar harus dibuat makin efektif dan efisien. Selama ini setiap pemupukan diperkirakan 30-40% hilang karena proses yang tidak tepat karena cuaca terlalu kering atau bahkan terlalu basah.
Perkebunan kelapa sawit saat ini memang masih mengandalkan sistem kontrol lapangan gaya zaman kolonial, artinya dibutuhkan kehadiran fisik untuk mengontrol lapangan dan memastikan pekerjaan dilaksanakan sesuai rencana. Walaupun teknologi remote sensing maupun teknologi drone sudah mulai dilakukan, namun penggunaannya belum masif dan belum berdampak pada efisiensi dan efektivitas.
Perhitungan dan pengamatan manual sangat membutuhkan tenaga manusia dengan jumlah banyak dengan hasil akurasi yang kurang akibat kesalahan manusia. Sebagai contoh, menghitung jumlah buah dalam setiap pohon untuk pendugaan produksi maupun menghitung pohon yang terserang hama sangat membutuhkan waktu lama dengan tenaga manusia yang mahal dan dengan hasil yang tidak memuaskan.
Perkebunan sawit yang semuanya berlokasi di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, apalagi Papua, kantor pusat pengendalinya hampir semua di Jakarta. Sistem pelaporan pekerjaan juga menjadi unsur biaya yang harus diefisienkan. Pelaporan yang cepat, akurat, dan real time menjadi tuntutan agar proses pengambilan keputusan berjalan dengan cepat dan tepat. Untuk itulah, sudah saatnya digitalisasi harus menjadi alat yang bisa diterapkan di perkebunan sawit. (Lihat videonya: Brtahun-tahun Warga Sebrangi Sungai dengan Seutas Kawat Sling)
Ini semua akan menjadi norma baru dalam pengelolaan perkebunan sawit. Mengurangi pekerjaan manual dan pergerakan manusia yang dalam jangka pendek berpotensi menjadi sarana penularan Covid-19. Namun, jangka panjang, banyak pekerjaan yang berbiaya besar harus segera digantikan dengan pemanfaatan teknologi sehingga lebih efektif, lebih produktif, dan lebih efisien.
Praktik keberlanjutan di perkebunan sawit akan meningkatkan nilai daya saing. Inilah kunci masa depan perkebunan sawit yang memiliki daya saing dan berkelanjutan sehingga menang dalam berkompetisi di pasar global yang kian kompleks.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)
Perkebunan kelapa sawit merupakan rantai utama dari sistem rantai pasok industri minyak sawit Indonesia. Perkebunan kelapa sawit Indonesia yang terdiri atas perkebunan perusahaan (swasta dan BUMN) dan perkebunan rakyat memproduksi 50 juta CPO dan PKO (Gapki, 2019).
Produksi ini digunakan untuk memasok industri hilir (next process) yang diolah menjadi berbagai produk olahan yang selanjutnya masuk ke pasar domestik maupun ekspor.
Kalau kita berbicara keberlanjutan (sustainability) dan keberlangsungan (continuity) industri sawit Indonesia, kita mesti mulai dari rantai hulu ini. Daya saing di sektor hulu akan menentukan daya saing di sektor hilir.
Dengan kata lain, tujuan utamanya adalah daya saing seluruh rantai pasok dari hulu sampai hilir. Ini merupakan keunggulan industri sawit Indonesia, di mana sumber bahan baku dihasilkan di negeri sendiri. Ketahanan industri akan lebih kuat jika kita memiliki bahan baku sendiri dibandingkan jika industri harus mengimpor bahan baku dari negara lain. (Baca: Arab Saudi Putuskan Ibadah Haji Tahun Ini Tetap Berlangsung)
Belum pulih dari kelesuan pasar selama 2018-2019, harapan sebenarnya muncul di awal 2020. Namun, pandemi Covid-19 mengubah keadaan dan pada 2020 pun menjadi kelesuan pasar baru.
Selama pandemi Covid-19 perkebunan kelapa sawit tetap berjalan normal. Penerapan protokol pencegahan Covid-19 dilaksanakan dengan sangat ketat di perkebunan maupun di kompleks perumahan karyawan. Karakteristik pekerjaan di perkebunan sawit memang tidak dilakukan secara bergerombol.
Pekerjaan panen dan rawat sawit dilakukan dengan sistem ancak. Misalnya, setiap pemanen akan mengerjakan panen di areal seluas 4 ha secara sendiri. Demikian juga dengan pekerjaan rawat maupun operasional pabrik pengolahan CPO (minyak sawit mentah).
Pekerjaan-pekerjaan yang berpotensi terjadi kerumunan, seperti bagian administrasi, dikurangi hingga 50% untuk jaga jarak fisik. Lingkungan perkantoran, pabrik, dan perumahan karyawan perkebunan juga dijaga sedemikian rupa sehingga diminimalkan ada pergerakan orang luar yang tidak berkepentingan ke dalam lingkungan perkebunan.
Perkebunan sawit termasuk yang lebih awal mendorong karyawannya tidak mudik selama perayaan Lebaran kemarin. Karyawan yang terpaksa mudik harus terdata rapi untuk diberikan perlakuan yang berbeda. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi penularan. Cara seperti ini dinilai efektif mencegah penularan wabah Covid-19 di perkebunan sawit. Paling tidak, sampai saat ini tidak dilaporkan ada kasus positif Covid-19 di perkebunan sawit. (Baca juga: Jumlah Polisi di Rembang yang Positif Covid-19 Bertambah)
Bagaimana Pasca-Covid-19?
Wabah Covid-19 belum hilang, dan potensi penularan masih tetap ada. Oleh karena itu, cara pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang mau tidak mau harus berubah. Perubahan atau perbaikan dalam pengelolaan perkebunan sawit di masa mendatang tidak semata-mata karena wabah Covid-19, namun lebih karena tuntutan pasar.
Kejadian wabah Covid-19 ini bisa menjadi pemicu agar perkebunan dipaksa berubah lebih cepat. Perkebunan sawit dituntut berubah lebih cepat karena tuntutan daya saing. Produk CPO dan turunan menghadapi situasi pasar yang makin kompetitif dan kompleks.
Kompetitif karena persaingan dengan minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan lainnya yang berlomba-lomba merebut pasar di negara konsumen. Semakin kompleks karena perdagangan komoditas minyak nabati telah melibatkan kepentingan politik perdagangan sehingga perdagangan minyak sawit berhadapan dengan berbagai hambatan perdagangan yang diciptakan oleh negara produsen pesaing minyak sawit.
Menghadapi tantangan seperti ini, perkebunan kelapa sawit hanya punya satu pilihan, yaitu menjadi makin produktif dan efisien. Satu di antara yang menyebabkan minyak sawit unggul hingga saat ini adalah biaya produksinya yang murah karena produktivitas yang tinggi relatif dibanding minyak nabati lain, yaitu minyak sawit 3,94 ton minyak/ha/tahun, dibandingkan dengan minyak kedelai 0,53 ton minyak/ha/tahun, minyak rapeseed 0,79 ton minyak/ha/tahun, dan minyak bunga matahari 0,81 minyak/ha/tahun (Oil World, 2018).
Faktanya, minyak sawit menguasai berbagai pasar konsumen di Eropa, Amerika Serikat, Afrika, maupun Asia karena faktor murah. Buktinya, minyak sawit yang dihajar terus-menerus dengan isu negatif dan regulasi yang memberatkan, penggunaan minyak sawit terus meluas di berbagai penjuru dunia.
Namun, keunggulan komparatif ini tidak akan bisa terlalu lama dipertahankan. Biaya produksi minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Biaya tenaga kerja (perkebunan sawit adalah padat karya) naik hampir 10% setiap tahun karena regulasi pengupahan di Indonesia. (Baca juga: Ombudsman ungkap Tiga Faktor Biaya Rapid Test Dikeluhkan)
Biaya produksi (pupuk, bahan bakar, dan mesin-mesin) juga mengalami kenaikan yang konsisten setiap tahun. Keunggulan dalam produktivitas tidak sejalan dengan kinerja biaya produksi. Biaya produksi minyak sawit di Indonesia berkisar di angka USD500-600/ton. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan biaya produksi 2015 yang berkisar USD355/ton (Laporan Tahunan Perusahaan Publik, 2015).
Jika dibandingkan dengan biaya produksi minyak nabati lain, perkebunan sawit kalah efisien. Sebagai contoh, biaya produksi minyak bunga matahari di Ukraina adalah USD163/ton, biaya produksi minyak rapeseed di Jerman USD234/ton, sedangkan minyak kedelai di Brasil USD -538/ton (James Fry, 2015). Biaya produksi minyak kedelai bisa minus karena memperhitungkan produk pakan (meal product) yang mempunyai nilai jual sehingga biaya produksinya bisa ditutup oleh produk pakan (minyak kedelai adalah produk samping dalam pengolahan biji kedelai).
Sementara harga komoditas di pasar global diprediksi cenderung menurun, paling tidak data selama 20 tahun menunjukkan harga komoditas sawit terus berfluktuasi. Pada 2019 harga sawit pernah mencapai USD494/ton, artinya di bawah biaya produksi. Perkebunan kelapa sawit harus segera menyesuaikan diri dengan situasi dan perkembangan pasar.
Apa yang bisa dilakukan? Mengandalkan sepenuhnya kepada tenaga manusia dalam mengelola perkebunan harus dievaluasi, dan menggantikan dengan teknologi adalah suatu keniscayaan. Kebun sawit akan kalah bersaing jika setiap pekerja panen hanya mampu memanen areal seluas 4 ha, sementara pekerja panen kedelai secara mekanis mampu memanen areal kebun kedelai seluas 80-100 ha.
Tanaman sawit tidak perlu menunggu terlalu lama untuk bisa dipanen walaupun saat ini sawit sudah bisa dipanen umur 20-25 bulan. Keterlambatan mulai panen adalah suatu biaya investasi yang inefisien. Produktivitas tanaman per ha harus dijaga dengan ketat, tidak boleh ada lahan yang tidak termanfaatkan, demikian juga tidak boleh ada tanaman yang tidak berbuah secara maksimal.
Tentu hal ini semua jawabannya adalah riset dan teknologi. Pupuk sebagai faktor produksi yang membutuhkan biaya terbesar harus dibuat makin efektif dan efisien. Selama ini setiap pemupukan diperkirakan 30-40% hilang karena proses yang tidak tepat karena cuaca terlalu kering atau bahkan terlalu basah.
Perkebunan kelapa sawit saat ini memang masih mengandalkan sistem kontrol lapangan gaya zaman kolonial, artinya dibutuhkan kehadiran fisik untuk mengontrol lapangan dan memastikan pekerjaan dilaksanakan sesuai rencana. Walaupun teknologi remote sensing maupun teknologi drone sudah mulai dilakukan, namun penggunaannya belum masif dan belum berdampak pada efisiensi dan efektivitas.
Perhitungan dan pengamatan manual sangat membutuhkan tenaga manusia dengan jumlah banyak dengan hasil akurasi yang kurang akibat kesalahan manusia. Sebagai contoh, menghitung jumlah buah dalam setiap pohon untuk pendugaan produksi maupun menghitung pohon yang terserang hama sangat membutuhkan waktu lama dengan tenaga manusia yang mahal dan dengan hasil yang tidak memuaskan.
Perkebunan sawit yang semuanya berlokasi di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, apalagi Papua, kantor pusat pengendalinya hampir semua di Jakarta. Sistem pelaporan pekerjaan juga menjadi unsur biaya yang harus diefisienkan. Pelaporan yang cepat, akurat, dan real time menjadi tuntutan agar proses pengambilan keputusan berjalan dengan cepat dan tepat. Untuk itulah, sudah saatnya digitalisasi harus menjadi alat yang bisa diterapkan di perkebunan sawit. (Lihat videonya: Brtahun-tahun Warga Sebrangi Sungai dengan Seutas Kawat Sling)
Ini semua akan menjadi norma baru dalam pengelolaan perkebunan sawit. Mengurangi pekerjaan manual dan pergerakan manusia yang dalam jangka pendek berpotensi menjadi sarana penularan Covid-19. Namun, jangka panjang, banyak pekerjaan yang berbiaya besar harus segera digantikan dengan pemanfaatan teknologi sehingga lebih efektif, lebih produktif, dan lebih efisien.
Praktik keberlanjutan di perkebunan sawit akan meningkatkan nilai daya saing. Inilah kunci masa depan perkebunan sawit yang memiliki daya saing dan berkelanjutan sehingga menang dalam berkompetisi di pasar global yang kian kompleks.
(ysw)