Jalan Sepi Nan Terjal Akademisi Publik?
loading...

Sesungguhnya menjadi akademisi publik adalah sebuah panggilan mulia dan bermartabat. Tidak banyak dosen yang mau mendedikasikan diri menjalani peran pengabdian ini. Ilustrasi/Dok. SINDOnews
A
A
A
Surokim dan Moch Imron Rosyidi
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi , FISIB,
Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
SESUNGGUHNYA menjadi akademisi publik adalah sebuah panggilan mulia dan bermartabat. Tidak banyak dosen yang mau mendedikasikan diri menjalani peran pengabdian ini. Tugas utama akademisi ini adalah menjembatani ilmu pengetahuan dengan masyarakat luas, menjadi kaum pencerah masyarakat.
Namun, di tengah realitas akademik di Indonesia, peran ini kian terpinggirkan. Banyak akademisi yang enggan menekuni jalur ini. Salah satunya karena minimnya penghargaan terhadap karya-karya yang disampaikan kepada publik melalui media massa.
Saat ini, karya tulisan dosen di media massa, seperti opini atau artikel, dianggap kurang signifikan dalam sistem penilaian akademik. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) hanya memberikan angka kredit "1" untuk karya semacam itu. Ironisnya, tulisan-tulisan tersebut seringkali memiliki jangkauan yang lebih luas dan berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan.
Daya jangkau tulisan itu di era medsos saat ini bisa menyasar masyarakat pembaca lebih luas. Tulisan di media massa tesebut bisa menjangkau kelas sosial manapun, bisa diakses kapan saja, siapa saja, dimana saja, dengan biaya ekonomis. Sebaliknya, karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal-jurnal sering kali hanya dibaca oleh kalangan terbatas, eksklusif, mahal, dan juga karena akses dan bahasa yang tidak mudah dimengerti semua kalangan.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa kebijakan Dikti kurang memberi perhatian kepada karya-karya yang dapat menjangkau masyarakat umum? Seandainya penghargaan akademik terhadap tulisan di media massa lebih signifikan, maka tentu banyak dosen yang akan lebih terdorong untuk menulis sehingga ilmu yang mereka hasilkan dapat lebih mudah diakses dan terdistribusi lebih luas kepada masyarakat.
Karya kaya hebat hasil riset kampus sejauh ini belum terdiseminasi baik kepada khalayak luas. Kampus dan karyanya seringkali masih terjebat sebagai "menara gading" yang tinggi, tetapi terisolasi, tak bermanfaat dan belum bisa memberi solusi cepat kepada masyarakat dalam menghadapi berbagai problem mutkhir yang cepat.
Kampus, sebagaimana idealnya seharusnya bisa berfungsi sebagai "menara air," yakni menyebarkan manfaat bagi banyak orang. Namun, selama penghargaan terhadap karya-karya yang dapat diakses publik tetap rendah, peran transformasi ini rasanya akan sulit terwujud. Kampus, civitas akademika dan karyanya masih berasyik ria bagaikan katak dalam tempurung, yang engan keluar dari zona nyaman, berkarya untuk dirinya sendiri.
Menurut Rosdiansyah (2024), fungsi seorang cendekiawan adalah menjelaskan hal-hal kompleks kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini merupakan fungsi profetik yang mendekatkan akademisi dengan masyarakat.
Sayangnya, sistem akademik saat ini lebih mengutamakan karya eksklusif yang sulit dijangkau oleh masyarakat umum. Karya kampus masih ekslusif dan banyak tersimpan rai di rak rak laporan riset di perpustakaan dan sebagai koleksi khusus.
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi , FISIB,
Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
SESUNGGUHNYA menjadi akademisi publik adalah sebuah panggilan mulia dan bermartabat. Tidak banyak dosen yang mau mendedikasikan diri menjalani peran pengabdian ini. Tugas utama akademisi ini adalah menjembatani ilmu pengetahuan dengan masyarakat luas, menjadi kaum pencerah masyarakat.
Namun, di tengah realitas akademik di Indonesia, peran ini kian terpinggirkan. Banyak akademisi yang enggan menekuni jalur ini. Salah satunya karena minimnya penghargaan terhadap karya-karya yang disampaikan kepada publik melalui media massa.
Saat ini, karya tulisan dosen di media massa, seperti opini atau artikel, dianggap kurang signifikan dalam sistem penilaian akademik. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) hanya memberikan angka kredit "1" untuk karya semacam itu. Ironisnya, tulisan-tulisan tersebut seringkali memiliki jangkauan yang lebih luas dan berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan.
Daya jangkau tulisan itu di era medsos saat ini bisa menyasar masyarakat pembaca lebih luas. Tulisan di media massa tesebut bisa menjangkau kelas sosial manapun, bisa diakses kapan saja, siapa saja, dimana saja, dengan biaya ekonomis. Sebaliknya, karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal-jurnal sering kali hanya dibaca oleh kalangan terbatas, eksklusif, mahal, dan juga karena akses dan bahasa yang tidak mudah dimengerti semua kalangan.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa kebijakan Dikti kurang memberi perhatian kepada karya-karya yang dapat menjangkau masyarakat umum? Seandainya penghargaan akademik terhadap tulisan di media massa lebih signifikan, maka tentu banyak dosen yang akan lebih terdorong untuk menulis sehingga ilmu yang mereka hasilkan dapat lebih mudah diakses dan terdistribusi lebih luas kepada masyarakat.
Karya kaya hebat hasil riset kampus sejauh ini belum terdiseminasi baik kepada khalayak luas. Kampus dan karyanya seringkali masih terjebat sebagai "menara gading" yang tinggi, tetapi terisolasi, tak bermanfaat dan belum bisa memberi solusi cepat kepada masyarakat dalam menghadapi berbagai problem mutkhir yang cepat.
Kampus, sebagaimana idealnya seharusnya bisa berfungsi sebagai "menara air," yakni menyebarkan manfaat bagi banyak orang. Namun, selama penghargaan terhadap karya-karya yang dapat diakses publik tetap rendah, peran transformasi ini rasanya akan sulit terwujud. Kampus, civitas akademika dan karyanya masih berasyik ria bagaikan katak dalam tempurung, yang engan keluar dari zona nyaman, berkarya untuk dirinya sendiri.
Menurut Rosdiansyah (2024), fungsi seorang cendekiawan adalah menjelaskan hal-hal kompleks kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini merupakan fungsi profetik yang mendekatkan akademisi dengan masyarakat.
Sayangnya, sistem akademik saat ini lebih mengutamakan karya eksklusif yang sulit dijangkau oleh masyarakat umum. Karya kampus masih ekslusif dan banyak tersimpan rai di rak rak laporan riset di perpustakaan dan sebagai koleksi khusus.
Lihat Juga :