Penyakit Mulut dan Kuku serta UU Peternakan
Selasa, 24 Mei 2022 - 08:49 WIB
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
SEKTOR pertanian, khususnya subsektor peternakan, tengah dirundung masalah serius. Belum usai masalah penyakit kulit bernama lumpy skin disease pada sapi-sapi di Riau, kini di Indonesia dipastikan terjadi wabah (outbreak) penyakit mulut dan kuku (food and mouth disease). Wabah PMK bermula di empat kabupaten di Jawa Timur, tetapi kini semakin meluas ke sejumlah provinsi. Oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), PMK dimasukkan sebagai penyakit hewan paling berbahaya dan ada di daftar A. Virus PMK sangat mudah menyebar. Lewat udara mampu menjelajah jarak 200–250 km.
Pemerintah, melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, tengah menangani wabah ini. Respons yang cepat amat penting karena PMK memiliki tingkat penularan tinggi: 90–100%. Bukan saja karena menimpa Provinsi Jawa Timur yang merupakan “lumbung” sapi nasional, jika tak segera ditangani dampak pada ekonomi lokal-nasional akan amat besar. Dari 18 juta ekor populasi sapi nasional pada 2021, 4,938 juta ekor (27,4%) di antaranya ada di Jawa Timur. Selain memukul subsektor peternakan Jawa Timur, implikasi ke ekonomi nasional juga amat serius.
Mengacu pada kasus di Inggris tahun 2001, hanya dua minggu PMK sudah menyebar ke antero Inggris Raya. Jumlah ternak yang dimusnahkan 4,22 juta ekor (domba, sapi, babi, kambing, rusa, dan ternak lain). Kasus ini menurunkan pendapatan usaha ternak hingga 71%, hotel dan restoran 52%, pertanian 58%, perdagangan (pedagang besar dan ritel) 47%, industri manufaktur 42%, transportasi 42%, jasa dan pelayanan 55%, bisnis finansial 23%, dan konstruksi 49% (Tawaf, 2016). Selain itu memangkas pendapatan peternak Rp1 triliun/bulan, ekspor produk peternakan turun Rp 9,45 triliun/tahun, dan menurunkan pendapatan sektor pariwisata Rp 82,5 triliun/tahun (Hutabarat, 2002).
Lewat perjuangan selama 100 tahun (1887–1986), Indonesia meraih status bebas PMK pada 1986. Karena itu, dalam jangka pendek, selain menangani wabah secara serius dan cepat dengan dukungan dana darurat yang memadai, tak kalah penting adalah memastikan dari mana asal PMK. Mengetahui asal virus PMK jadi penting untuk memastikan titik lemah sistem kesehatan hewan nasional kita. Sembari menunggu hasil pelacakan itu, artikel ini hendak mengelaborasi dari sisi regulasi. Artikel tidak akan larut membahas hal teknis PMK dan penanggulangannya, tetapi fokus mencari titik lemah regulasi yang memberi peluang besar masuknya kembali penyakit ganas ini ke RI.
Artikel ini dibangun atas premis bahwa virus PMK kembali membobol wilayah RI lewat––meminjam istilah Menko Polhukam Mahfud MD––"industri hukum". Premis ini merujuk pada perubahan fundamental dalam pengaturan pemasukan (baca: impor) ternak dan produk turunannya, terutama daging sapi, dari pendekatan berbasis negara (country base) ke zona (zone base). Lewat “perselingkuhan” DPR dan pemerintah, pendekatan maximum security di UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (hasil uji materi di Mahkamah Konstitusi) diubah ke minimum security di UU revisi, UU 41/2014.
Perubahan ini secara legalistik patut dipertanyakan. Bukankah pada 27 Agustus 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan Pasal 59 ayat 2 UU 18/2009 yang membolehkan impor dari “wilayah atau zona bebas PMK di suatu negara” dan menggantinya dengan “berasal dari suatu negara bebas PMK”? Bukankah putusan MK final dan mengikat? Mengapa DPR dan pemerintah menganut kembali sistem berbasis zona di UU 41/2014? Mengapa pula Pasal 36C UU 41/2014 yang menganut zone base itu ketika diuji materi di MK oleh penggugat yang sama justru kalah? Mengapa putusan MK berbeda untuk kasus serupa?
Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dicarikan jawabannya kala wabah PMK kembali membobol wilayah NKRI. Apakah ini ada kaitan dengan peristiwa suap yang pernah membuat geger dunia hukum Indonesia, khususnya MK? Sebelum uji materi dibacakan 7 Februari 2017, 12 hari sebelumnya salah satu hakim MK yang menangani perkara, Patrialis Akbar, ditangkap KPK karena menerima suap dari importir daging sapi Basuki Hariman. Kala divonis 8 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama, 4 September 2017, Patrialis terbukti terima suap agar vonis uji materi menguntungkan si importir Basuki.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
SEKTOR pertanian, khususnya subsektor peternakan, tengah dirundung masalah serius. Belum usai masalah penyakit kulit bernama lumpy skin disease pada sapi-sapi di Riau, kini di Indonesia dipastikan terjadi wabah (outbreak) penyakit mulut dan kuku (food and mouth disease). Wabah PMK bermula di empat kabupaten di Jawa Timur, tetapi kini semakin meluas ke sejumlah provinsi. Oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), PMK dimasukkan sebagai penyakit hewan paling berbahaya dan ada di daftar A. Virus PMK sangat mudah menyebar. Lewat udara mampu menjelajah jarak 200–250 km.
Pemerintah, melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, tengah menangani wabah ini. Respons yang cepat amat penting karena PMK memiliki tingkat penularan tinggi: 90–100%. Bukan saja karena menimpa Provinsi Jawa Timur yang merupakan “lumbung” sapi nasional, jika tak segera ditangani dampak pada ekonomi lokal-nasional akan amat besar. Dari 18 juta ekor populasi sapi nasional pada 2021, 4,938 juta ekor (27,4%) di antaranya ada di Jawa Timur. Selain memukul subsektor peternakan Jawa Timur, implikasi ke ekonomi nasional juga amat serius.
Mengacu pada kasus di Inggris tahun 2001, hanya dua minggu PMK sudah menyebar ke antero Inggris Raya. Jumlah ternak yang dimusnahkan 4,22 juta ekor (domba, sapi, babi, kambing, rusa, dan ternak lain). Kasus ini menurunkan pendapatan usaha ternak hingga 71%, hotel dan restoran 52%, pertanian 58%, perdagangan (pedagang besar dan ritel) 47%, industri manufaktur 42%, transportasi 42%, jasa dan pelayanan 55%, bisnis finansial 23%, dan konstruksi 49% (Tawaf, 2016). Selain itu memangkas pendapatan peternak Rp1 triliun/bulan, ekspor produk peternakan turun Rp 9,45 triliun/tahun, dan menurunkan pendapatan sektor pariwisata Rp 82,5 triliun/tahun (Hutabarat, 2002).
Lewat perjuangan selama 100 tahun (1887–1986), Indonesia meraih status bebas PMK pada 1986. Karena itu, dalam jangka pendek, selain menangani wabah secara serius dan cepat dengan dukungan dana darurat yang memadai, tak kalah penting adalah memastikan dari mana asal PMK. Mengetahui asal virus PMK jadi penting untuk memastikan titik lemah sistem kesehatan hewan nasional kita. Sembari menunggu hasil pelacakan itu, artikel ini hendak mengelaborasi dari sisi regulasi. Artikel tidak akan larut membahas hal teknis PMK dan penanggulangannya, tetapi fokus mencari titik lemah regulasi yang memberi peluang besar masuknya kembali penyakit ganas ini ke RI.
Artikel ini dibangun atas premis bahwa virus PMK kembali membobol wilayah RI lewat––meminjam istilah Menko Polhukam Mahfud MD––"industri hukum". Premis ini merujuk pada perubahan fundamental dalam pengaturan pemasukan (baca: impor) ternak dan produk turunannya, terutama daging sapi, dari pendekatan berbasis negara (country base) ke zona (zone base). Lewat “perselingkuhan” DPR dan pemerintah, pendekatan maximum security di UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (hasil uji materi di Mahkamah Konstitusi) diubah ke minimum security di UU revisi, UU 41/2014.
Perubahan ini secara legalistik patut dipertanyakan. Bukankah pada 27 Agustus 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan Pasal 59 ayat 2 UU 18/2009 yang membolehkan impor dari “wilayah atau zona bebas PMK di suatu negara” dan menggantinya dengan “berasal dari suatu negara bebas PMK”? Bukankah putusan MK final dan mengikat? Mengapa DPR dan pemerintah menganut kembali sistem berbasis zona di UU 41/2014? Mengapa pula Pasal 36C UU 41/2014 yang menganut zone base itu ketika diuji materi di MK oleh penggugat yang sama justru kalah? Mengapa putusan MK berbeda untuk kasus serupa?
Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dicarikan jawabannya kala wabah PMK kembali membobol wilayah NKRI. Apakah ini ada kaitan dengan peristiwa suap yang pernah membuat geger dunia hukum Indonesia, khususnya MK? Sebelum uji materi dibacakan 7 Februari 2017, 12 hari sebelumnya salah satu hakim MK yang menangani perkara, Patrialis Akbar, ditangkap KPK karena menerima suap dari importir daging sapi Basuki Hariman. Kala divonis 8 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama, 4 September 2017, Patrialis terbukti terima suap agar vonis uji materi menguntungkan si importir Basuki.
Lihat Juga :
tulis komentar anda