Menimbang Ulang Impor Daging Kerbau

Selasa, 27 Juni 2023 - 12:44 WIB
loading...
Menimbang Ulang Impor...
Khudori/Dok Pribadi
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) danKomite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

Dalam tiap kebijakan berlaku rumus plan-do-check. Apa yang direncanakan harus dieksekusi, baru kemudian dievaluasi dan diberi umpan balik. Hasil akhirnya, kebijakan bisa dihentikan, diganti atau diperbaiki. Salah satu kebijakan yang perlu dievaluasi dan ditimbang baik-buruknya adalah impor daging kerbau. Karena sejak digulirkan pada 2016, beleid yang dimaksudkan untuk menurunkan harga daging sapi itu masih jauh dari berhasil. Alih-alih turun, harga daging sapi tetap bertahan tinggi, bahkan terus naik.

Impor daging kerbau dari India diinisiasi 7 tahun lalu. Pemicunya adalah harga daging sapi yang tinggi menjelang dan saat Ramadan 2016 yang jatuh pada Juni. Saat itu harga daging sapi bertengger di angka Rp120 ribu/kg. Daging kerbau dari India yang murah menjadi pilihan, terutama untuk memenuhi target harga daging sapi yang diminta Presiden Jokowi: Rp80 ribu/kg. Agar terkendali, daging dipasarkan di pasar modern.

India merupakan eksportir terbesar kedua daging kerbau dengan lebih dari 20% pangsa pasar dunia untuk 65 negara tujuan ekspor. Asia menerima lebih 80% daging kerbau India, Afrika sekitar 15%. Vietnam dan Malaysia yang tertular penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan dua importir terbesar daging kerbau India dengan 52% pangsa pasar. India memiliki sumber daya ternak luar biasa: 199 juta ekor sapi dan 108 juta ekor kerbau. PMK membuat negara itu tidak bisa optimal meraih nilai lebih dari pasar dunia.

Indonesia masih berjuang mendongkrak populasi, terutama jumlah sapi indukan, dan produksi daging guna memenuhi kebutuhan nasional yang terus meningkat. Sejumlah kebijakan dibuat, seperti membuka impor jeroan sapi dan wajib memasukkan indukan 5% dari setiap impor sapi bakalan. Namun, pelbagai upaya itu belum mendekatkan Indonesia pada pencapaian swasembada daging sapi. Bahkan, ada kecenderungan ketergantungan impor kian tinggi. Pada 2016 dan 2017, porsi impor daging sapi dan kerbau mencapai 35,84%, naik menjadi 39,44% pada 2018 dan turun lagi jadi 37,65% pada 2019.

Jauh-jauh hari Indonesia menargetkan swasembada daging sapi. Saat tanda-tanda tidak tercapai, target swasembada diundur (moving target). Ini terjadi berulang-ulang, seperti sesuatu yang lazim. Kebutuhan untuk mengkaji ulang impor daging kerbau dari India menjadi amat mendesak di tengah tetap tingginya porsi impor. Yang tidak banyak disadari, impor daging kerbau dari India sebenarnya memiliki dampak berantai yang berpotensi akan menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada daging sapi.

Pertama, impor daging kerbau melenceng dari tujuan semula: dari pendorong penurunan harga daging sapi menjadi penopang utama pasokan. Ini bisa dilihat dari porsi impor daging kerbau yang terus naik: dari 39.000 ton pada 2016 jadi 54.000 ton 2017, naik jadi 79.000 ton pada 2018, dan naik lagi pada 2019 jadi 80.000 ton dan 100 ribu ton pada 2022. Ini terjadi karena daging kerbau terbukti gagal jadi faktor pendorong turunnya harga daging sapi. Harga daging sapi masih tetap bertahan tinggi karena ongkos produksi tak mungkin ditekan. Ironisnya, harga daging kerbau pun terkerek di atas Rp80 ribu/kg.

Kedua, kematian mata rantai industri daging sapi. Harga daging kerbau India yang murah, kurang dari setengah harga daging sapi Australia, membuat produk daging sapi domestik sulit bersaing. Bukan hanya peternak, pengusaha yang selama ini bergerak di industri daging sapi bakal terancam gulung tikar. Ada baiknya belajar dari dampak ekonomi yang dialami Filipina dan Malaysia yang sudah lama mengimpor daging kerbau India. Dari 220 peternakan sapi potong teregistrasi di Filipina pada awal 1990-an, saat ini tinggal tujuh. Sabah, Malaysia, diawal 1990-an yang biasa menyembelih sapi tiap 3 minggu berhenti begitu saja dengan masuknya daging India (Naipospos, 2016).Daging kerbau yang rendah berpotensi memukul telak semua mata rantai industri daging sapi.

Ketiga, terpukulnya pelaku industri daging sapi. Hal ini ditandai oleh lebih dari 14 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) yang bangkrut (Tawaf, 2019). Bukan mustahil, satu per satu feedloter lain bakal menyusul. Padahal, industri ini berkontribusi triliunan rupiah selama puluhan tahun pada pembangunan peternakan rakyat perdesaan. Riset “Pasar Daging Sapi dan Daging Kerbau 2017 di Jabodetabek” (APDI, 2017) menemukan penurunan kinerja pemotongan sapi rata-rata 47% sejak ada daging kerbau beku. Akibatnya, komposisi daging yang dijual di pasar berubah drastis (Daud dkk, 2019): semula 58,41% daging sapi segar dan 41,59% daging sapi beku (2015) jadi 33,94% daging sapi segar, 33,26% daging sapi beku, dan 32,80% daging kerbau beku (2019).

Tahun lalu, Indonesia kembali terjangkit PMK setelah bebas lebih 30-an tahun. Sampai saat ini belum ada pengumuman resmi dari pemerintah dari mana virus PMK itu berasal. UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan membolehkan impor dari suatu zona bebas PMK dari sebuah negara yang belum bebas PMK seperti India dan Brasil. Namun, aturan ini menegasikan pentingnya kaidah maximum scurity. Akibat kecerobohan itu, Indonesia kembali terjangkit PMK. Tak ternilai kerugian sosial-ekonomi yang terjadi. Kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama 100 tahun (1887-1986), menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai US$1,66 miliar.

Usaha peternakan rakyat merupakan tulang punggung bangsa dalam penyediaan pangan, khususnya protein hewani. Daging sapi domestik berkontribusi sekitar 60%, susu 20% terhadap konsumsi nasional, ayam dan telur sudah swasembada. Menurut Sensus Pertanian 2013, 98% ternak sapi dikuasai usaha peternakan rakyat di perdesaan, usahanya skala kecil-subsisten-tradisional, terkendala teknologi, dan memperlakukan ternak sebagai rojo koyo. Meskipun demikian, sub-sektor peternakan, khususnya daging sapi potong, memiliki keterkaitan erat terhadap 120 sektor ekonomi lain ke hulu maupun ke hilir dan memiliki daya ungkit tertinggi dari 175 sektor ekonomi lainnya (IRSA, 2009).

Data-data itu menunjukkan, sub-sektor peternakan punya kontribusi besar dalam ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun, peternakan rakyat amat rentan, sehingga perlu proteksi. Tanpa proteksi, bukan mustahil mereka bakal gulung tikar pelan-pelan. Saat itu terjadi, Indonesia harus membuang jauh-jauh cita-cita dan target swasembada daging.
(wur)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1891 seconds (0.1#10.140)