Prof Saldi Isra, Prof Hermawan Sulistyo, dan Fenomena Marcos Jr di Filipina

Senin, 23 Mei 2022 - 06:17 WIB
Eddy Setyoko (kanan) saat semeja dengan beberapa narasumber diskusi. Foto/ist
Eddy Setyoko

Mantan Pemred Radio Trijaya

AGAK di luar dugaan buat saya, sahabat baik Prof Saldi Isra dalam diskusi di Universitas Pamulang, Jumat 20 Mei 2022, menyinggung mengenai kembalinya trah Marcos di kursi kepresidenan Filipina. Setiap Sabtu, kami, dulu, sering diskusi di Warung Daun Jakarta, antara lain Prof Denny Indrayana, Prof Saldi Isra, Doktor Zainal Arifin Mochtar, Sebastian Salang, dan banyak pakar hukum dan politik lainnya.



Di luar dugaan karena Prof Saldi menyinggung tentang Marcos Jr dimana saya juga merancang diskusi dengan tema “Jatuhnya Orde Baru & Fenomena Marcos Jr di Filipina”, Sabtu 21 Mei 2022, bersama Prof. Hermawan Sulistyo, Romo Benny Sutrisno, Sabastian Salang, dan Sayed Rizal, live dari Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) Radio dan YouTube. Semula saya ragu mengangkat topik tersebut tetapi Prof Saldi “menegaskan”, tidak salah dan perlu.

Prof. Saldi mengingatkan di Filipina dulu tahun 1986 muncul gerakan reformasi berujung pada tergulingnya Presiden Ferdinand Marcos yang memerintah secara otoriter dan korup. Rakyat Filipina bersukacita waktu itu.

Tetapi 34 tahun kemudian Marcos junior atau anak dari mantan Presiden Marcos, hari ini, memenangkan pemilihan presiden di Filipina. Yang hendak diingatkan Prof. Saldi adalah, jika Indonesia tidak hati-hati kejadian di Filipina dapat terjadi juga di Indonesia.

Agar tidak terjadi maka perlu penguatan peran partai politik (parpol) di Indonesia, yaitu dengan cara pemerintah memberikan perhatian penuh jangan sampai parpol dikuasai para oportunis. Menurut Prof Saldi, sudah 24 tahun Indonesia lepas dari rezim orde baru kemudian masuk ke era reformasi tetapi kenyataannya, sulit keluar dari masa transisi.

Hal tersebut karena pemerintah (kita semua) lalai membenahi partai politik sebagai infrastruktur politik yang menggerakkan demokrasi. Sesuai konstitusi di Indonesia untuk mengisi jabatan bupati, wali kota, sampai presiden harus melalui partai politik. Termasuk juga DPR adalah merupakan sekumpulan partai politik.

“Saya orang yang tidak setuju ada pendapat bahwa partai politik tidak perlu menerima dana dari APBN (anggaran pendapatan belanja negara). Justru sampai hari ini saya masih berpendapat pentingnya negara memberikan anggaran kepada partai politik agar dikelola dengan benar,” tegasnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More