Prof Saldi Isra, Prof Hermawan Sulistyo, dan Fenomena Marcos Jr di Filipina
loading...
A
A
A
Eddy Setyoko
Mantan Pemred Radio Trijaya
AGAK di luar dugaan buat saya, sahabat baik Prof Saldi Isra dalam diskusi di Universitas Pamulang, Jumat 20 Mei 2022, menyinggung mengenai kembalinya trah Marcos di kursi kepresidenan Filipina. Setiap Sabtu, kami, dulu, sering diskusi di Warung Daun Jakarta, antara lain Prof Denny Indrayana, Prof Saldi Isra, Doktor Zainal Arifin Mochtar, Sebastian Salang, dan banyak pakar hukum dan politik lainnya.
Di luar dugaan karena Prof Saldi menyinggung tentang Marcos Jr dimana saya juga merancang diskusi dengan tema “Jatuhnya Orde Baru & Fenomena Marcos Jr di Filipina”, Sabtu 21 Mei 2022, bersama Prof. Hermawan Sulistyo, Romo Benny Sutrisno, Sabastian Salang, dan Sayed Rizal, live dari Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) Radio dan YouTube. Semula saya ragu mengangkat topik tersebut tetapi Prof Saldi “menegaskan”, tidak salah dan perlu.
Prof. Saldi mengingatkan di Filipina dulu tahun 1986 muncul gerakan reformasi berujung pada tergulingnya Presiden Ferdinand Marcos yang memerintah secara otoriter dan korup. Rakyat Filipina bersukacita waktu itu.
Tetapi 34 tahun kemudian Marcos junior atau anak dari mantan Presiden Marcos, hari ini, memenangkan pemilihan presiden di Filipina. Yang hendak diingatkan Prof. Saldi adalah, jika Indonesia tidak hati-hati kejadian di Filipina dapat terjadi juga di Indonesia.
Agar tidak terjadi maka perlu penguatan peran partai politik (parpol) di Indonesia, yaitu dengan cara pemerintah memberikan perhatian penuh jangan sampai parpol dikuasai para oportunis. Menurut Prof Saldi, sudah 24 tahun Indonesia lepas dari rezim orde baru kemudian masuk ke era reformasi tetapi kenyataannya, sulit keluar dari masa transisi.
Hal tersebut karena pemerintah (kita semua) lalai membenahi partai politik sebagai infrastruktur politik yang menggerakkan demokrasi. Sesuai konstitusi di Indonesia untuk mengisi jabatan bupati, wali kota, sampai presiden harus melalui partai politik. Termasuk juga DPR adalah merupakan sekumpulan partai politik.
“Saya orang yang tidak setuju ada pendapat bahwa partai politik tidak perlu menerima dana dari APBN (anggaran pendapatan belanja negara). Justru sampai hari ini saya masih berpendapat pentingnya negara memberikan anggaran kepada partai politik agar dikelola dengan benar,” tegasnya.
Meskipun Prof Saldi hanya menyinggung sedikit tentang Marcos Jr atau Bongbong di Filipina, di penghujung sesi pemaparannya dalam diskusi berjudul “Meneropong Demokrasi Indonesia Pasca 24 Tahun Reformasi”, tetapi jelas ada kegelisahan pada dirinya sebagai mantan mahasiswa yang hidup di era orde baru. Betapa Saldi Isra muda (ketika itu belum doktor) bersemangat, ikut memantau jalannya amandeman UU 45 di awal era reformasi, selalu hadir di sekitar Gedung MPR ketika sidang berlangsung.
Saldi terbang langsung dari Padang, Sumatera Barat berkumpul di Senayan dan diskusi bersama para pakar hukum tata negara junior maupun senior. Pendapatnya banyak ditulis di harian Kompas dan saya memberi ruang bicara di Radio Trijaya FM bersama antara lain Indra Jaya Piliang dan lainnya.
Namun kehadirannya dalam diskusi di Unpam memang dilematis karena posisinya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi tidak dapat leluasa berbicara agar tidak bertabrakan dengan kewenangannya. Mengenai Marcos Jr yang kemudian menjadi Presiden Filipina, menurut Prof Hermawan Sulistyo bisa juga terjadi di Indonesia.
Tetapi karena Cendana (sebutan untuk keluarga mantan Presiden Soeharto yang tinggal di Jalan Cendana, Jakarta Pusat) pelit keluar uang, maka sulit untuk mereka kembali ke Istana tempat ayahnya berkuasa. Bongbong Marcos menggunakan kekayaan bapaknya untuk masuk dunia politik dan pernah terpilih menjadi gubernur, anggota kongres, dan senator, tidak demikian dengan anak-anak Soeharto.
Ferdinan Marcos kaya dan menyimpan hartanya di luar negeri, sehingga ketika digulingkan dan rumahnya digeledah hanya ditemukan sepatu milik istrinya, Imelda Marcos, jumlahnya 3.500 pasang. Diduga kekayaan tersebut menjadi modal Bongbong menapak sampai kursi presiden.
Anak muda Filipina sama dengan di Indonesia, bukan lupa tetapi enggan membaca sejarah siapa Marcos atau Soeharto. Ada mahasiswa Indonesia sekarang mengatakan, ada kebebasan di era orde baru. Ini salah. Kondisi seperti ini, tidak paham sejarah, ditambah era media sosial yang luar biasa dapat membuat rezim lama kembali lagi.
“Pak Harto itu, berdasarkan survei majalah Time, 40 tahun lalu, pernah disebut sebagai sepuluh orang terkaya di dunia. Menurut saya PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) harus membuka berapa sebetulnya kekayaan keluarga Cendana yang menurut Menkeu Sri Mulyani mencapai tiga kali lipat APBN Indonesia. Kalau kita simak dari Tommy Soeharto tempo hari membayar tax amnesty sebesar Rp550 miliar, artinya itu, kan 2,5 persennya dari kekayaan, berarti total kekayaannya mencapai Rp10 triliun. Itu yang dilaporkan. Itu belum digabung dengan kekayaan saudara-saudaranya,” kata Prof Kiki.
“Jadi, sebetulnya, mereka punya duit tapi karena pebisnis dan bukan politisi maka tidak bisa seperti Bongbong. Selain pelit juga kelamaan ngitung untung rugi jika menjadi presiden. Untuk mengganti presiden enggak cukup cuma keluar duit Rp100 miliar tapi minimal Rp5 triliun,” tambah Prof Kiki seraya merinci untuk apa saja uang tersebut.
Tentang gerakan Mei 98, Prof Saldi Isra berkisah, mengapa reformasi di Indonesia muncul? Salah satu penyebabnya adalah karena adanya kemacetan di suprastruktur politik, ketika itu, untuk merespons dan menjawab kebutuhan-kebutuhan ketatanegaraan kita. Sehingga saluran yang mestinya disediakan oleh sistem itu sendiri kemudian, seolah-olah, terhambat dan akhirnya demokrasi ekstra parlementer itu muncul dan memunculkan sebuah era yang disebut era reformasi.
Masih kuat dalam ingatan Prof Saldi, 24 tahun lalu, tugasnya membantu para mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Andalas sehingga cukup dekat dengan mahasiswa. Ia mendengarkan pemikiran-pemikiran mahasiswa tentang kondisi negara pada masa itu. Mahasiswa Universitas Andalas, melalui orasinya, merupakan yang pertama meneriakkan agar Presdien Soeharto diturunkan dari pemerintahan.
Salah satu diskusinya adalah tuntutan terhadap perubahan Undang-Undang Dasar 45 karena hal ini dapat menjadi langkah awal dilakukannya reformasi. Sebab, UUD 45 yang ada dinilai lentur, sehingga mudah ditafsirkan pemegang kekuasaan sesuai dengan kemauannya sendiri, seperti adanya demokrasi terpimpin di masa orde lama, demokrasi Pancasila pada orde baru.
Sementara pelaksanaannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh mereka yang terkuat atau penguasa. Padahal bangunan yang ada dalam konstitusi itu harus bisa menciptakan mekanisme check dan balance.
Sependapat dengan Prof Saldi, Prof Kiki dalam diskusi “Jatuhnya Orde Baru & Fenomena Marcos Jr” di Studio RKN Radio menegaskan, gerakan mahasiswa pada Mei 1998 terjadi karena tidak adanya kebebasan di zaman orde baru. Menurut Prof Kiki, mahasiswa atau akademisi sulit bicara, semua dinding baik di kampus apalagi di luar kampus memiliki telinga.
“Hari Sabtu, seperti sekarang ini, kita bicara politik, membicarakan pemerintah, besok Senin kita sudah nginap di Markas Kodim. Betul-betul tidak bisa apa-apa. Saya kemudian pergi ke Amerika tapi mendengar Pak Harto dipilih kembali, saya pulang, dia harus turun. Sebab kekuasaan yang absolut cenderung disalahgunakan. Bahaya untuk Indonesia ke depan,” ungkap Prof Kiki.
“Tapi saya tidak sependapat jika gerakan mahasiswa 98 disebut gerakan reformasi karena hasilnya hanya mengganti presiden. Wakil Presiden Habibie menggantikan presiden, menteri-menterinya masih yang lama, anggota DPR juga semua anggota lama. Jadi itu gerakan ganti presiden. Juga berbeda dengan gerakan menurunkan Presiden Filipina karena di sana rakyat yang bergerak sehingga disebut People Power, meskipun kasusnya mirip dengan di Indonesia,” jelas Prof Kiki, Sabtu (21/5), yang merekam perjalanan gerakan reformasi yang dilakukannya dalam buku berjudul, Lawan!
Mantan Pemred Radio Trijaya
AGAK di luar dugaan buat saya, sahabat baik Prof Saldi Isra dalam diskusi di Universitas Pamulang, Jumat 20 Mei 2022, menyinggung mengenai kembalinya trah Marcos di kursi kepresidenan Filipina. Setiap Sabtu, kami, dulu, sering diskusi di Warung Daun Jakarta, antara lain Prof Denny Indrayana, Prof Saldi Isra, Doktor Zainal Arifin Mochtar, Sebastian Salang, dan banyak pakar hukum dan politik lainnya.
Di luar dugaan karena Prof Saldi menyinggung tentang Marcos Jr dimana saya juga merancang diskusi dengan tema “Jatuhnya Orde Baru & Fenomena Marcos Jr di Filipina”, Sabtu 21 Mei 2022, bersama Prof. Hermawan Sulistyo, Romo Benny Sutrisno, Sabastian Salang, dan Sayed Rizal, live dari Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) Radio dan YouTube. Semula saya ragu mengangkat topik tersebut tetapi Prof Saldi “menegaskan”, tidak salah dan perlu.
Prof. Saldi mengingatkan di Filipina dulu tahun 1986 muncul gerakan reformasi berujung pada tergulingnya Presiden Ferdinand Marcos yang memerintah secara otoriter dan korup. Rakyat Filipina bersukacita waktu itu.
Tetapi 34 tahun kemudian Marcos junior atau anak dari mantan Presiden Marcos, hari ini, memenangkan pemilihan presiden di Filipina. Yang hendak diingatkan Prof. Saldi adalah, jika Indonesia tidak hati-hati kejadian di Filipina dapat terjadi juga di Indonesia.
Agar tidak terjadi maka perlu penguatan peran partai politik (parpol) di Indonesia, yaitu dengan cara pemerintah memberikan perhatian penuh jangan sampai parpol dikuasai para oportunis. Menurut Prof Saldi, sudah 24 tahun Indonesia lepas dari rezim orde baru kemudian masuk ke era reformasi tetapi kenyataannya, sulit keluar dari masa transisi.
Hal tersebut karena pemerintah (kita semua) lalai membenahi partai politik sebagai infrastruktur politik yang menggerakkan demokrasi. Sesuai konstitusi di Indonesia untuk mengisi jabatan bupati, wali kota, sampai presiden harus melalui partai politik. Termasuk juga DPR adalah merupakan sekumpulan partai politik.
“Saya orang yang tidak setuju ada pendapat bahwa partai politik tidak perlu menerima dana dari APBN (anggaran pendapatan belanja negara). Justru sampai hari ini saya masih berpendapat pentingnya negara memberikan anggaran kepada partai politik agar dikelola dengan benar,” tegasnya.
Meskipun Prof Saldi hanya menyinggung sedikit tentang Marcos Jr atau Bongbong di Filipina, di penghujung sesi pemaparannya dalam diskusi berjudul “Meneropong Demokrasi Indonesia Pasca 24 Tahun Reformasi”, tetapi jelas ada kegelisahan pada dirinya sebagai mantan mahasiswa yang hidup di era orde baru. Betapa Saldi Isra muda (ketika itu belum doktor) bersemangat, ikut memantau jalannya amandeman UU 45 di awal era reformasi, selalu hadir di sekitar Gedung MPR ketika sidang berlangsung.
Saldi terbang langsung dari Padang, Sumatera Barat berkumpul di Senayan dan diskusi bersama para pakar hukum tata negara junior maupun senior. Pendapatnya banyak ditulis di harian Kompas dan saya memberi ruang bicara di Radio Trijaya FM bersama antara lain Indra Jaya Piliang dan lainnya.
Namun kehadirannya dalam diskusi di Unpam memang dilematis karena posisinya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi tidak dapat leluasa berbicara agar tidak bertabrakan dengan kewenangannya. Mengenai Marcos Jr yang kemudian menjadi Presiden Filipina, menurut Prof Hermawan Sulistyo bisa juga terjadi di Indonesia.
Tetapi karena Cendana (sebutan untuk keluarga mantan Presiden Soeharto yang tinggal di Jalan Cendana, Jakarta Pusat) pelit keluar uang, maka sulit untuk mereka kembali ke Istana tempat ayahnya berkuasa. Bongbong Marcos menggunakan kekayaan bapaknya untuk masuk dunia politik dan pernah terpilih menjadi gubernur, anggota kongres, dan senator, tidak demikian dengan anak-anak Soeharto.
Ferdinan Marcos kaya dan menyimpan hartanya di luar negeri, sehingga ketika digulingkan dan rumahnya digeledah hanya ditemukan sepatu milik istrinya, Imelda Marcos, jumlahnya 3.500 pasang. Diduga kekayaan tersebut menjadi modal Bongbong menapak sampai kursi presiden.
Anak muda Filipina sama dengan di Indonesia, bukan lupa tetapi enggan membaca sejarah siapa Marcos atau Soeharto. Ada mahasiswa Indonesia sekarang mengatakan, ada kebebasan di era orde baru. Ini salah. Kondisi seperti ini, tidak paham sejarah, ditambah era media sosial yang luar biasa dapat membuat rezim lama kembali lagi.
“Pak Harto itu, berdasarkan survei majalah Time, 40 tahun lalu, pernah disebut sebagai sepuluh orang terkaya di dunia. Menurut saya PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) harus membuka berapa sebetulnya kekayaan keluarga Cendana yang menurut Menkeu Sri Mulyani mencapai tiga kali lipat APBN Indonesia. Kalau kita simak dari Tommy Soeharto tempo hari membayar tax amnesty sebesar Rp550 miliar, artinya itu, kan 2,5 persennya dari kekayaan, berarti total kekayaannya mencapai Rp10 triliun. Itu yang dilaporkan. Itu belum digabung dengan kekayaan saudara-saudaranya,” kata Prof Kiki.
“Jadi, sebetulnya, mereka punya duit tapi karena pebisnis dan bukan politisi maka tidak bisa seperti Bongbong. Selain pelit juga kelamaan ngitung untung rugi jika menjadi presiden. Untuk mengganti presiden enggak cukup cuma keluar duit Rp100 miliar tapi minimal Rp5 triliun,” tambah Prof Kiki seraya merinci untuk apa saja uang tersebut.
Tentang gerakan Mei 98, Prof Saldi Isra berkisah, mengapa reformasi di Indonesia muncul? Salah satu penyebabnya adalah karena adanya kemacetan di suprastruktur politik, ketika itu, untuk merespons dan menjawab kebutuhan-kebutuhan ketatanegaraan kita. Sehingga saluran yang mestinya disediakan oleh sistem itu sendiri kemudian, seolah-olah, terhambat dan akhirnya demokrasi ekstra parlementer itu muncul dan memunculkan sebuah era yang disebut era reformasi.
Masih kuat dalam ingatan Prof Saldi, 24 tahun lalu, tugasnya membantu para mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Andalas sehingga cukup dekat dengan mahasiswa. Ia mendengarkan pemikiran-pemikiran mahasiswa tentang kondisi negara pada masa itu. Mahasiswa Universitas Andalas, melalui orasinya, merupakan yang pertama meneriakkan agar Presdien Soeharto diturunkan dari pemerintahan.
Salah satu diskusinya adalah tuntutan terhadap perubahan Undang-Undang Dasar 45 karena hal ini dapat menjadi langkah awal dilakukannya reformasi. Sebab, UUD 45 yang ada dinilai lentur, sehingga mudah ditafsirkan pemegang kekuasaan sesuai dengan kemauannya sendiri, seperti adanya demokrasi terpimpin di masa orde lama, demokrasi Pancasila pada orde baru.
Sementara pelaksanaannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh mereka yang terkuat atau penguasa. Padahal bangunan yang ada dalam konstitusi itu harus bisa menciptakan mekanisme check dan balance.
Sependapat dengan Prof Saldi, Prof Kiki dalam diskusi “Jatuhnya Orde Baru & Fenomena Marcos Jr” di Studio RKN Radio menegaskan, gerakan mahasiswa pada Mei 1998 terjadi karena tidak adanya kebebasan di zaman orde baru. Menurut Prof Kiki, mahasiswa atau akademisi sulit bicara, semua dinding baik di kampus apalagi di luar kampus memiliki telinga.
“Hari Sabtu, seperti sekarang ini, kita bicara politik, membicarakan pemerintah, besok Senin kita sudah nginap di Markas Kodim. Betul-betul tidak bisa apa-apa. Saya kemudian pergi ke Amerika tapi mendengar Pak Harto dipilih kembali, saya pulang, dia harus turun. Sebab kekuasaan yang absolut cenderung disalahgunakan. Bahaya untuk Indonesia ke depan,” ungkap Prof Kiki.
“Tapi saya tidak sependapat jika gerakan mahasiswa 98 disebut gerakan reformasi karena hasilnya hanya mengganti presiden. Wakil Presiden Habibie menggantikan presiden, menteri-menterinya masih yang lama, anggota DPR juga semua anggota lama. Jadi itu gerakan ganti presiden. Juga berbeda dengan gerakan menurunkan Presiden Filipina karena di sana rakyat yang bergerak sehingga disebut People Power, meskipun kasusnya mirip dengan di Indonesia,” jelas Prof Kiki, Sabtu (21/5), yang merekam perjalanan gerakan reformasi yang dilakukannya dalam buku berjudul, Lawan!
(rca)